AKHLAK SANTRI ULAMA (Kyai/Guru) & Wali Santri
AKHLAK SANTRI, ULAMA (KYAI/GURU) & WALI SANTRI
Oleh :
DR. H. M. Hamdan Rasyid, MA
Khadim al-Ma’had BAITUL HIKMAH Depok
PONDOK PESANTREN BAITUL
HIKMAH
jL. Curug Taufiq 90 curug
bojongsari
depok
DAFTAR ISI
MUQODDIMAH …………………………………………………
URGENSI AKHLAK
DALAM ISLAM
A. Pengertian Akhlak
B. Akhlak, Etika dan
Moral
C. Akhlak Santri, Ulama
(Kyai/Guru) dan Wali Santri
D.
Karakteristik Akhlak dalam Islam
E. Kedudukan Akhlak dalam Islam
F. Tujuan Mempelajari
& Mengamalkan Ilmu Akhlak
AKHLAK SANTRI
A.
Akhlak Kepada Diri
Sendiri
B. Akhlak Kepada Allah
SWT
C.
Akhlak Kepada
Rasulullah SAW
D.
Akhlak Kepada Orang
Tua
E. Akhlak Kepada Guru
F. Akhlak dalam
Pergaulan dengan Sesama Teman
G.
Akhlak dalam Menuntut
Ilmu
H.
Akhlak Ketika Berada
di Dalam Masjid
I. Akhlak dalam
Mengkomsumsi Makanan dan Minuman
J. Akhlak dalam
Memelihara Barang-barang Miliknya dan Milik Pihak Lain
K.
Akhlak dalam
Perjalanan, Berolah raga dan Berlomba
AKHLAK ULAMA (KYAI/GURU)
AKHLAK WALI SANTRI
MUQODDIMAH
Segala puji bagi Allah SWT yang telah menganugerahkan berbagai keunggulan kepada manusia atas makhluk lainnya dengan ilmu dan amal. Semoga shalawat dan salam semoga tersanjung kepada Rasulullah SAW, Nabi terakhir yang telah membebaskan umat manusia dari kegelapan kufur menuju cahaya iman. Juga kepada para keluarga dan sahabat yang menjadi sumber ilmu dan hikmah (kebijakan/wisdom).
Pada dasarnya, setiap pemeluk agama Islam, baik
laki-laki maupun perempuan (muslim dan muslimah) wajib mempelajari ilmu
pengetahuan, karena ilmu pengetahuan merupakan anugerah Allah SWT yang hanya
diberikan kepada manusia. Kalau sifat kasih sayang, keberanian, kekuatan dsb. dimiliki
oleh manusia dan binatang, maka ilmu pengetahuan hanya dimiliki oleh manusia.Oleh karena itu, berkat ilmu
pengetahuan ini manusia menjadi makhluk yang mulia
sehingga parta malaikat pun diperintahkan oleh Allah SWT untuk sujud
(menghormat) kepada Nabi Adam AS.
Di antara ilmu pengetahun yang wajib dipelajari oleh
setiap muslim adalah sbb. : (1). Ilmu Aqidah, yaitu ilmu pengetahuan
yang bertujuan mengenalkan manusia kepada Allah SWT dan hal-hal yang ghaib,
sehingga mereka memiliki iman yang kokoh. (2). Ilmu Syari’ah yaitu ilmu
pengetahuan yang mengajarkan tentang hukum-hukum dan tatacara beribadah kepada
Allah SWT serta bermu’amalah (berinteraksi) dengan sesama manusia dan makhluk
lainnya. (3). Ilmu Akhlak yang mengajarkan tentang nilai-nilai kebaikan
yang harus diikuti dan diprektekkan, serta nilai-nilai buruk yang harus
dihindari dan ditinggalkan, seperti sifat dermawan dan pelit; pemberani dan
pengecut; tawadlu’ (rendah hati) dan takabbur (sombong); . Dari
Ilmu Akhlak ini akan ditingkatkan menjadi Ilmu Tasawuf, yaitu suatu ilmu yang
bertujuan untuk menjaga kesucian hati manusia; menghindarkan diri dari hal-hal
yang mengotorinya, serta cara-cara yang harus ditempuh untuk membersihkan
kembali hati yang terlanjur kotor karena perbuatan dosa dan maksiat. Seperti
sifat ikhlas, tawakkal, ridla, dan zuhud, menghindari hal-hal yang syubhat dan makruh.(التحرز عن الشبهات والمكروهات). Ilmu-ilmu di atas merupakan
ilmu yang paling mulia dan wajib dipelajari oleh setiap muslim baik laki-laki
maupun perempuan, karena ilmu-ilmu tersebut menjadi wasilah (perantara)
yang akan menghantarkan pemiliknya untuk meraih derajat taqwa, suatu derajat
yang akan menjamin pemiliknya medapatkan karomah (kemulian) di sisi
Allah SWT serta kebahagiaan yang abadi, baik di dunia maupun akhirat.
Dewasa ini
banyak santri yang mengkaji ilmu pengetahuan, namun tidak mampu menghayati dan
mengamalkannya. Hal ini disebabkan karena mereka tidak memperhatikan
syarat-syarat pencarian ilmu dan tidak menempuh metode yang telah digariskan
oleh para ulama terdahulu. Pepatah Arab menyatakan :
وكل من أخطاء الطريق ضل ولا ينال المقصود قل أ و جل
“Barangsiapa salah jalan, maka
akan tersesat dan tidak akan meraih tujuan, baik sedikit maupun banyak”.
Sehubungan dengan hal tersebut,
maka buku ini akan menjelaskan tentang akhlak santri, kyai (guru) dan wali
santri yang antara lain akan menjelaskan tentang metode dalam menggali ilmu
pengetahuan, di samping nilai-nilai spiritual yang harus dimiliki dan diamalkan
baik oleh santri, kyai (guru) maupun para wali santri sehingga membantu
menghantarkan anak-anak kita meraih sukses di dunia dan akhirat.
URGENSI
AKHLAK DALAM ISLAM
A.
Pengertian Akhlak
Ditinjau dari segi bahasa, kata akhlaq berasal dari bahasa
Arab yang merupakan bentuk jamak (plural) dari kata khilqun atau khuluqun, yang
berarti perangai, tabiat, watak dasar, budi pekerti, kebiasaan, tingkah
laku, atau sopan santun.[1]
Secara linguistik (kebahasaan), kata akhlaq merupakan isim jamid atau ghairu
musytaq, yakni kata benda yang tidak mempunyai akar kata, melainkan muncul
begitu saja sehingga tidak bisa ditashrif (non derivatif). Kata akhlak dapat
dijumpai dalam al-Hadits, tetapi tidak disebutkan dalam al-Qur'an. Sebaliknya
bentuk tunggalnya (khuluq), dapat dijumpai di dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
Seperti dalam surat al-Qalam (68) ayat 4:
وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
“Sesungguhnya
engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang luhur”.
Demikian juga dalam surat al-Syu’ara (26) ayat 137 :
اِنْ هٰذَآ اِلَّا خُلُقُ الْاَوَّلِيْنَ
“(Agama Kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang
dahulu”
Kata khuluq pada surat al-Qalam (68) ayat 4 di atas menunjukkan arti budi
pekerti, sedangkan pada surat al-Syu’ara (26) ayat 137 menunjukkan arti adat
kebiasaan. Adapun penggunaan kata akhlaq dan khuluq dalam hadits, antara lain
adalah sabda Rasululah SAW yang diriwayatkan Imam Ahmad sbb. :
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
“Sesungguhnya aku diutus Allah untuk menyempurnakan keluhuran budi pekerti”.
Demikian juga sabda Rasululah SAW yang diriwayatkan Imam al-Turmudzi sbb. :
أكمل المؤمنين إيما نا أحسنهم خلقا
”Orang
mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang mukmin yang paling baik budi
pekertinya"
Sedangkan menurut istilah, para ulama merumuskan berbagai macam definisi,
yang antara lain adalah sbb. :
1.
Menurut Ibnu Maskawih[2]
dalam kitabnya Tahdzib al-Akhlaq :
الأخلاق هي حال النفس داعية لها إلى أفعالها من غير فكر
وروية
"Akhlaq adalah daya kekuatan jiwa yang mendorong seseorang
untuk bersikap, berprilaku dan melakukan suatu perbuatan dengan mudah dan
spontan tanpa dipikirkan dan dipertimbangkan lagi”.[3]
2. Menurut Imam al-Ghazali :
الأخلاق هي عبارة عن هيئة في النفس
راسخة عنها تصدر الأفعال بسهولة ويسر من غيرحاجة إلى فكر وروية فإن كانت الهيئة
بحيث تصدر عنها الأفعال
الجميلة والمحمودة عقلا وشرعا سميت تلك الهيئة خلقا حسنا وإن كان الصادر عنها
الأفعال القبيحة سميت تلك الهيئة خلقا سيئا
”Akhlaq adalah suatu keadaan (sikap) yang
mengakar di dalam jiwa yang darinya muncul berbagai perbuatan dengan mudah dan
gampang, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Jika dari sikap batin
tersebut lahir perbuatan yang baik dan terpuji, maka ia disebut akhlak yang
baik. Dan jika yang lahir dari sikap batin tersebut perbuatan yang tercela,
maka ia disebut akhlak yang buruk”.
Berdasarkan definisi di atas dapat dirumuskan, bahwa
akhlak pada dasarnya adalah sikap batin yang melekat pada diri seseorang yang
secara spontan tercermin dalam sikap, tingkah laku atau perbuatan yang tampak.
Hal ini dapat terjadi karena didasarkan pada watak yang dibawa sejak lahir,
atau boleh jadi karena didasarkan pada latihan dan kebiasaan. Dalam kerangka ini, Nabi Muhammad diutus oleh
Allah sebagai seorang Rasul yang bertugas untuk menyempurnakan budi pekerti
manusia. Sebagaimana telah beliau sabdakan :
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
“Sesungguhnya aku diutus Allah untuk menyempurnakan keluhuran budi pekerti”.
B.
Akhlak, Etika dan Moral
Di samping akhlak kita juga mengenal
istilah etika dan moral. Etika berasal dari bahasa Yunani “Ethos”
yang berarti adat istiadat, kebiasaan baik, moral, atau karakter. Etika merupakan filsafat
moral untuk mendapatkan petunjuk tentang perilaku yang baik, nilai-nilai yang
benar dan aturan-aturan pergaulan yang baik dalam hidup bermasyarakat dan
kehidupan pribadi seseorang. Etika bertujuan agar manusia hidup bermoral baik
dan berkepribadian, sesuai etika atau moral yang dianut oleh kesatuan atau
lingkungan hidupnya.
Etika
atau moral ini menimbulkan kaidah-kaidah atau norma-norma etika yang mencakup
teori nilai tentang hakikat apa yang baik dan apa yang buruk dan teori tentang
perilaku (conduct) tentang perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk.
Moral
berkaitan erat dengan pandangan hidup, agama, atau kepercayaan ataupun adat
kebiasaan masyarakat yang bersangkutan. Bangsa Indonesia mempunyai Pancasila
sebagai dasar dan ideologi negara dan sebagai pandangan hidup serta jati diri
Bangsa Indonesia, sehingga nilai-nilai Pancasila harus menjadi landasan etika atau
moral bangsa kita.
Menurut istilah, etika adalah suatu sistem nilai dan
norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya. Dengan demikian obyek pembahasan etika adalah
kebiasaan-kebiasaan manusia yang terdapat di dalam konvensi atau kesepakatan.
Misalnya kesepakatan nilai dalam
berbusana, etika dalam berbicara dan bergaul dengan orang lain. Dengan kata
lain, makna etika di samping sebagai penilaian terhadap perbuatan seseorang, ia
juga merupakan suatu predikat dari perbuatan-perbuatan seseorang. Oleh karena
itu, etika acapkali dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang menetapkan
ukuran-ukuran atau kaidah-kaidah yang mendasari pemberian tanggapan atau
penilaian terhadap perbuatan-perbuatan.[4]
Etika seringkali
dikaitkan dengan profesi tertentu sehingga disebut Etika Profesi, yaitu suatu
etika moral yang secara khusus diciptakan untuk kebaikan jalannya profesi yang
bersangkutan, karena setiap profesi mempunyai identitas, sifat atau ciri dan
standar profesi sendiri, sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Profesi berbeda
dengan pekerja. Pekerja adalah orang yang melakukan sesuatu kegiatan, dan bertujuan
mencari sumber nafkah guna mendapatkan upah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
sehari-hari. Sedangkan profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi dengan
persyaratan adanya keahlian khusus, serta tersedia wadah untuk memberikan
dukungan kepada penyandang profesi.
Sedangkan
moral berasal dari bahasa latin mores bentuk jama’ dari kata mos
yang berarti adat kebiasaan atau susila. Suatu perbuatan atau tindakan dinilai
bermoral, jika perbuatan atau tindakan tersebut dapat diterima dengan baik dan
wajar oleh kelompok sosial atau lingungan tertentu; atau sesuai dengan ide-ide
atau ukuran-ukuran atau nilai-nilai yang berlaku dalam sebuah kelompok sosial
atau lingkungan tertentu. Moral adalah suatu kelakuan atau tindakan yang sesuai
dengan ukuran-ukuran atau nilai-nilai masyarakat, yang timbul dari hati
seseorang (bukan paksaan dari luar) dan disertai oleh rasa tangung jawab atas
kelakuan atau tindakan tersebut. Dengan
demikian, moral selalu dikaitkan dengan ajaran baik dan buruk yang diterima
oleh masyarakat secara umum.
Dalam sejarah filsafat, terdapat banyak aliran tentang moral atau etika.
Sebagian menyatakan bahwa etika bersandar pada Kebenaran Abadi dan ada pula
yang berpendapat bahwa etika sangat erat berhubungan dengan situasi dan kondisi
suatu lingkungan. Sungguh pun pengertian dan sumber akhlak, etika serta moral
mempunyai perbedaan, namun ketiganya memiliki kesamaan mengenai obyek
pembahasannya, yakni segala sesuatu yang berhubungan dengan nilai baik dan
buruk, serta keindahan dan kejelekan.
Pada dasarnya, konsep akhlak dalam Islam memiliki cakupan yang sangat luas,
karena akhlak berarti agama itu sendiri. Akhlak dalam pengertian ini meliputi
hubungan antara manusia dengan dirinya, dengan Tuhannya, dengan orang lain dan
dengan lingkungannya. Akhlak merupakan cermin dari apa yang ada di dalam jiwa
seseorang. Akhlak yang baik merupakan dorongan keimanan seseorang, karena
keimanan harus ditampilkan dalam perilaku nyata sehari-hari. Oleh karena itu,
akhlak bersifat universal dan abadi, sedangkan moral dan etika bersifat local
dan temporal.
Dalam perkembangannya, akhlak sering dipahami sebagai tabiat atau sifat
manusia serta sopan santun dalam kehidupan sehari-hari, seperti akhlak kepada
orang tua, kepada orang yang lebih muda, kepada guru dan lain-lain. Akhlak
dalam pengertian ini sama dengan moral dan etika pergaulan hidup yang kemudian berkembang menjadi suatu disiplin
ilmu tersendiri.
Sebagai sebuah disiplin tersendiri, ilmu akhlak
mempelajari tentang prilaku hidup yang seharusnya dan tidak seharusnya dijalankan oleh manusia.
Ilmu akhlak kemudian membagi prilaku manusia kepada dua kelompok besar, yakni
prilaku yang terpuji (al-akhlaq al-mahmudah) dan prilaku yang tercela (al-akhlaq
al-madzmumah). Baik atau buruknya suatu akhlak dalam Islam, diukur dengan
nilai-nilai yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadist, sebagai
pedoman hidup umat manusia.
C. Akhlak Santri, Ulama (Kyai/Guru) dan Wali Santri :
Ditinjau dari segi bahasa, kata
”santri” berasal dari bahasa Tamil
(India) ”shastri” yang berarti guru mengaji atau orang yang paham
tentang buku-buku suci, karena kata
shastri merupakan turunan dari kata shastra yang berarti buku-buku suci,
buku-buku agama atau buku-buku ilmu pengetahuan.[5] Dalam perkembangannya di
Indonesia, kata santri bermakna orang yang mempelajari ilmu-ilmu agama,
khususnya yang bermukin di lembaga pendidikan pondok pesantren, sementara sang
guru disebut kyai. Santri juga berarti sekelompok masyarakat muslim yang taat
menjalankan ajaran-ajaran agama Islam, baik dalam bidang aqidah, syari’ah
maupun al-akhlak al-karimah, khususnya dalam beribadah kepada Allah SWT. Lawan
katanya adalah “abangan” (kelompok merah), yaitu sekelompok masyarakat yang
beragama Islam, tetapi tidak atau kurang taat dalam menjalankan ajaran agama
Islam.
Sebagian
ulama berpendapat, bahwa kata “santri” adalah sebuah akronim yang terdiri dari 5
(lima)
huruf yang merupakan singkatan
dari kalimat sbb. :
1. Sin (س)
adalah kepanjangan dari الخَيْرِ سابق yang berarti pelopor kebaikan.
2. Nun (ن)
adalah kepanjangan dari العُلَمَاءِ نَائبُ yang berarti (calon) pengganti
atau penerus ulama.
3. Ta (ت)
adalah kepanjangan dari الْمَعَاصِى تَارِكُ yang berarti orang yang meninggalkan kemaksiatan.
4. Ra(ر) adalah kepanjangan dari اللهِ رِضَى yang berarti (orang yang
mencari) ridho Allah.
5. Ya (ي)
adalah kepanjangan dari اَلْيَقِيْنُ
yang berarti
(orang yang memiliki) keyakinan
(keimanan).
Sementara
itu sebagian
ulama yang lain berpendapat, bahwa kata “santri” adalah sebuah akronim
yang terdiri dari 5 (lima)
huruf yang merupakan singkatan
dari kalimat sbb. :
1. Sin (س)
adalah kepanjangan dari الاخَرةِ سالك الى yang
berarti orang
yang berjalan menuju akhirat sehingga semua aktivitasnya berorientasi untuk
meraih ridla Allah SWT dan kebahagiaan
hidup di dunia serta akhirat.
2. Nun (ن)
adalah kepanjangan dari العُلَمَاءِ نَائبُ عن yang berarti calon pengganti
atau penerus ulama. Oleh karena
itu, santri adalah orang yang siap menggantikan kedudukan para ulama yang
sholih dan cintai Allah SWT, terutama sesudah para ulama wafat.
3.
Ta
(ت) adalah kepanjangan dari الْمَعَاصِى تَائب من yang berarti orang yang bertaubat dari
kemaksiatan. Yakni
santri adalah orang yang ketika terlanjur berbuat dosa, segera menyadari
kesalahannya kemudian segera bertaubat untuk membersihkan diri dari berbagai
kotoran dosa yang dapat menjadi penghalang dalam mendekatkan diri kepada Allah
SWT.
4.
Ra(ر)
adalah kepanjangan dari راغب في الخيراتyang berarti
orang yang senang berbuat baik dengan beribadah kepada Allah SWT dan membantu
sesama manusia.
5.
Ya (ي) adalah kepanjangan dari يرجو رضاالله والسعادة في الدارينyang berarti
orang yang mengharapkan ridla Allah SWT
dan kebahagiaan hidup di dunia serta akhirat.
Sementara
itu sebagian
ulama yang lain berpendapat, bahwa kata “santri” adalah sebuah akronim
yang terdiri dari 5 (lima)
huruf yang merupakan singkatan
dari kalimat sbb. :
1.
Sin (س) adalah kepanjangan dari سا فر الى المعهد لطلب العلم yang berarti (orang
yang) pergi ke pondok pesantren dengan tujuan untuk mencari ilmu.
2.
Nun (ن) adalah kepanjangan dari نَال كثيرا من
العلم والحكمة yang berarti (orang yang) meraih ilmu dan hukmah yang banyak.
3.
Ta (ت) adalah kepanjangan dari على منهج اهل
السنة والجماعة تمسك دين الاسلام yang berarti (orang
yang) berpegang teguh terhadap ajaran-ajaran agama Islam menurut faham Ahlus Sunnah
wal Jamaah.
4.
Ra(ر)
adalah kepanjangan dari رجع الى بلده للدعوة yang
berarti (orang yang) kembali ke daerahnya untuk melaksanakan kegiatan dakwah di
tengah-tengah masyarakatnya.
5.
Ya (ي) adalah
kepanjangan dari يؤسس معهدا مباركا لنشر
العلم وتربية كوادير العلماءyang berarti (orang
yang) mendirikan pondok pesantren yang penuh berkah untuk menyebar luaskan ilmu
pengetahuan dan mendidik para kader ulama dengan niat ikhlas semata-mata mengharapkan
ridla Allah SWT dan kebahagiaan hidup di
dunia serta akhirat.
Berdasarkan urian di atas dapat disimpulkan, bahwa yang
dimaksud “Akhlak Santri, Kyai (Guru) dan Wali Santri” adalah; akhlak yang
seharusnya difahami, dihayati, dimiliki dan diamalkan oleh para santri, kyai
(guru) dan wali santri dalam kehidupan sehari-hari, terutama para santri yang
sedang dalam proses tholab al-ilmi (mencari ilmu pengetahuan) di lembaga
pendidikan Islam Pondok Pesantren. Pada dasarnya Akhlak Santri, Kyai (Guru) dan Wali
Santri adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Akhlak Islam yang bersumber pada
Al-Qur’an dan al-Hadist, sebagai pedoman hidup umat manusia, khususnya dalam
menentuan nilai-nilai baik dan nilai-nilai
buruk terhadap prilaku manusia.
D. Karakteristik Akhlak dalam Islam :
Pada dasarnya, konsep akhlak dalam Islam –yang menjadi
rujukan akhlak santri, kyai (guru) dan wali santri-- memiliki cakupan yang
sangat luas, karena akhlak berarti agama itu sendiri. Di antara ciri-ciri khas
atau karakteristik akhlak Islam yang
membedakan dengan moral dan etika adalah sbb. :
1.
Bersumber dari wahyu
al-Qur’an dan al-Sunnah. Akhlak Islam
bersumber dari wahyu al-Qur’an dan al-Sunnah yang memiliki kebenaran mutlak dan
berlaku sepanjang masa, dimana saja dan kapan saja. Hal ini berbeda dengan
moral dan etika yang bersumber dari adat istiadat suatu masyarakat yang
bersifat relatif dan boleh jadi berbeda standartnya antara satu masyarakat
dengan masyarakat lainnya.
2.
Berhubungan erat
dengan aspek Aqidah dan Syari’ah. Akhlak dalam
Islam tidak berdiri berdiri, tetapi berhubungan erat dengan aspek aqidah
(keimanan) dan syari’ah (hukum-hukum Islam yang bersifat praktis, baik dalam
bidang ibadah, mu’amalah, jinayah maupun lainnya).
3.
Bersifat Universal. Akhlak dalam Islam, bersih dan bebas dari tendensi (kecenderungan)
rasialisme. Apa
yang berlaku bagi umat Islam berlaku pula bagi non muslim. Mencuri hukumnya haram, baik terhadap harta orang muslim maupun harta non
muslim. Zina hukumnya haram, baik terhadap orang Islam maupun non muslim.
Seorang muslim dan non muslim sama-sama berhak mendapatkan keadilan di depan
pengadilan.
4.
Bersifat Komprehensif
(menyeluruh). Akhlak dalam Islam mencakup
akhlak terhadap diri sendiri; hubungan dengan Allah SWT; dengan sesama manusia
dan alam lingkungan. Hal ini berbeda dengan moral dan etika yang hanya menekankan
hubungan baik dengan sesama manusia dan lingkungannya. Dalam pandangan
masyarakat Barat, mengkonsumsi minuman keras, berjudi dan berzina tidaklah melanggar
moral dan etika, sepanjang hal itu dilakukan atas dasar suka sama suka, bukan
paksaan (perkosaan). Sebaliknya, dalam pandangan Islam, perbuatan tersebut
selain melanggar hukum (syari’ah), juga tidak sesuai bahkan bertentangan
dengan al-akhlak al-karimah.
5.
Bersifat Tawazun (keseimbangan). Islam menghendaki
agar umatnya tidak melampaui batas dalam segala hal. Keseimbangan merupakan sifat dasar ajaran Islam, baik keseimbangan antara
jasmani dan rohani; keseimbangan antara hubungan dengan Allah (hablun min
Allah) dan hubungan sesama manusia (hablun min al-nas); maupun
keseimbangan antara urusan dunia dengan akherat. Keseimbangan mencakup hak dan
kewajiban, tidak boleh memberikan kepada individu hak–hak yang berlebihan yang
mengakibatkan kebebasan tanpa batas, juga tidak boleh memberikan kewajiban
kepada individu yang berlebihan sehingga sangat memberatkan. Keseimbangan dan
keserasian, merupakan sifat dasar akhlak dalam Islam.
6. Sesuai dengan Fitrah. Islam datang dengan membawa ajaran yang sesuai dengan fitrah manusia, karena agama Islam datang dari Allah, sedangkan manusia dengan segala macam fitrahnya juga diciptakan oleh Allah SWT. Oleh karena itu, sangat mustahil jika ajaran-ajaran agama Islam bertentangan dengan fitrah manusia. Islam mengakui eksistensi manusia apa adanya dengan segala dorongan kejiwaannya, kecenderungan fitrahnya; Islam menghaluskan fitrah dan memelihara kemuliaan manusia dengan hukum–hukum dan ketentuan-ketentuannya. Jika manusia melampui hukum–hukum dan ketentuan-ketentuan Allah SWT, maka dapat dipastikan mereka akan terjerumus ke dalam lembah yang hina. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat Attin (QS. 95) : 45 :
لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ
ثُمَّ رَدَدْنٰهُ اَسْفَلَ سَافِلِيْنَۙ
“Sesungguhnya Kami
telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik – baiknya kemudian Kami
kembalikan dia ke tempat serendah – rendahnya”.
Pada dasarnya, semua manusia dilahirkan dalam keadaan
fitrah, yaitu bersih dan cenderung kepada hal-hal yang baik, sebagaimana
diungkapkan oleh hadits Nabi SAW:
ما من مولود الا يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو
ينصرانه أو يمجسانه
"Tiap-tiap
anak dilahirkan dalam keadaan suci (Islam). Maka
ibu-bapaknya lah yang menjadikannya beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi".
Dalam konteks
inilah, ketika Rasulullah SAW ditanya mengenai apakah kebaikan itu ? Beliau
menjawab sbb. :
استفت قلبك البر ما اطمأنت إليه النفس واطمأن إليه القلب
والإثم ما حاك فى النفس وترد د فى الصدور
“Tanyakanlah
kepada hatimu! Kebaikan adalah sesuatu yang menentramkan jiwa dan menenangkan
hati, sedang dosa (keburukan) ialah sesuatu yang mengacaukan jiwa dan menimbulkan
kebimbangan di dalam hati”.
Kecenderungan manusia kepada kebaikan ini terbukti
dengan adanya persamaan konsep-konsep pokok moral pada setiap peradaban.
Misalnya, semua peradaban manusia sejak zaman dahulu menganggap hubungan seks
dengan sesama anggota keluarga (incest) adalah sesuatu yang buruk. Demikian
pula mengenai kebohongan, kesombongan, sikap pengecut, iri hati, dan lain-lain.
Sebaliknya, semua peradaban dunia memandang kejujuran, sikap tawadlu’ (low profile),
dan ksatria sebagai suatu sikap yang baik. Akan tetapi, ketika
berhubungan dengan lingkungan, norma-norma moral kemudian berinteraksi dengan
ruang dan waktunya masing-masing. Masyarakat di Eropa dewasa ini mungkin
memandang bahwa hubungan seks di luar nikah adalah sesuatu yang lumrah adanya.
Demikian pula hubungan antara orang tua dengan anak. Oleh sebab itu, moral atau
akhlak harus memiliki suatu rujukan yang bersifat universal dan abadi. Rujukan
yang universal dan abadi tersebut adalah agama Islam yang sesuai dengan fitrah
manusia. Sebagaimana difirmankan dalam surat ar-Rum ayat 30 :
فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ
فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ
اللّٰهِ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا
يَعْلَمُوْنَۙ
“Maka hadapkanlah wajahmu
dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
Yang dimaksud Fitrah Allah adalah ciptaan
Allah. Manusia diciptakan oleh Allah SWT memiliki naluri beragama, yaitu agama
tauhid. Oleh karena itu, kalau ada manusia tidak beragama tauhid,
maka hal itu tidaklah wajar. Mereka yang tidak beragama tauhid itu hanyalah
lantaran pengaruh lingkungan.
Dengan demikian, fungsi agama (Islam) dalam konteks
ini adalah untuk memelihara fitrah yang telah digariskan oleh Allah SWT di
dalam
diri manusia supaya tidak menyimpang karena adanya interaksi dengan ruang dan waktu.
7. Bersifat positif dan optimis. Islam mengajarkan, bahwa kehidupan adalah sebuah anugerah Allah yang harus diisi dengan amal shaleh. Oleh karena itu, manusia harus mengaktualisasikan dan memanfaatkan segala macam potensi yang dianugerahkan oleh Allah SWT untuk melakukan amal kebaikan yang bermanfaat bagi dirinya, keluarganya dan masyarakat luas, dengan penuh keyakinan dan optimisme, serta melawan pesimisme (keputusasaan), kemalasan dan segala bentuk penyebab kelemahan. Rasulullah SAW berpesan kepada umatnya agar bekerja keras untuk memakmurkan kehidupan sampai detik terakhir usia dunia. Beliau bersabda : “Jika kiamat telah (hampir) terjadi sedangkan di tangan salah seorang di antara kamu sekalian ada anak pohon yang ingin ditanamnya, maka hendaklah dia menanamnya hingga kiamat benar-benar terjadi”
Islam mencela sikap frustasi,
pasif dan apatis. Oleh karena itu, kita harus tetap tegar dalam berjuang
menghadapi kerusakan sosial, dekadansi moral dan segala bentuk ketidak adilan.
Rasulullah SAW telah memberikan petunjuk kepada kita, bila kita melihat
kemungkaran kita wajib memberantasnya dengan tangan (kekuasaan). Bila tidak
mampu dengan tangan maka dengan lisan, jika tidak mampu dengan lisan maka dengan
hati, dan ini adalah selemah–lemahnya iman. Umat Islam pantang putus asa.
Sebagaimana telah difirmankan dalam surat Yusuf QS. 12 : 87 :
ولا تيأسوا من رحمة
الله إنا لم ييأس أحد من رحمة الله إلا الكفار.
”Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah,
sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah kecuali umat kafir”.
E. Kedudukan Akhlak
dalam Islam :
Akhlak mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam
Islam. Bahkan tujuan utama terutusnya Rasulullah SAW kepada seluruh manusia dan
jin adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (al-akhlak al-karimah).
Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih :
انما بعثت لاتمم
مكارم الاخلاق
“Sesunguhnya aku diutus (oleh Allah SWT) untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia”
Bahkan, akhlak merupakan pondasi sekaligus puncak dari
keimanan dan keislaman seseorang. Hadratus Syeh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari
dalam kitabnya Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim menyatakan, bahwa pada
hakikatnya, orang yang tidak beradab (berakhlak) adalah orang yang tidak
beriman dan tidak bertegang teguh pada syari’at agama Islam. Beliau mengutip
ucapan sebagian ulama sbb. :
وقال بعضهم التوحيد يوجب الايمان
فمن لا ايمان له لاتوحيد له. والايمان يوجب الشريعة فمن لاشريعة له لا ايمان له ولا توحيد له. و الشريعة توجب الاد ب. فمن لااد ب له لاشريعة له لا ايمان له ولا توحيد له.
“Sebagian ulama berkata; ‘Tauhid (mengesakan Allah SWT) mengharuskan
adanya iman. Barangsiapa tidak beriman, maka tidak ada tauhid baginya. Iman
mengharuskan adanya syari’at. Barangsiapa tidak memiliki (mengamalkan)
syari’at, maka tidak ada iman dan tauhid baginya. Syari’at mengharuskan adanya
adab (akhlak). Oleh karena itu, barangsiapa tidak berhias diri dengan adab
(akhlak), maka pada hakikatnya ia tidak mengamalkan syari’at, juga tidak
memiliki iman dan tauhid”.[6]
F. Tujuan Mempelajari
& Mengamalkan Ilmu Akhlak :
Di antara tujuan mempelajari dan mengamalkan Ilmu Akhlak bagi
para santri, kyai (guru) dan wali santri adalah sbb. :
1. Agar
para santri, kyai (guru) dan wali santri menjadi orang-orang yang bertaqwa
kepada Allah SWT (al-muttaqin). Berbeda dengan moral dan etika yang
hanya mengatur hubungan sosial antar sesama manusia, akhlak dalam Islam, selain
mengatur hubungan sosial (hablun min al-nas); juga mengatur hubungan
manusia dengan Allah SWT (hablun min Allah), bahkan terhadap diri
sendiri dan makhluk lain di sekelilingnya, termasuk flora dan fauna. Dengan
mempelajari dan mengamalkan ilmu akhlak Islam secara utuh dan sempurna, maka
diharapkan para santri, kyai (guru) dan wali santri menjadi orang-orang yang
bertaqwa kepada Allah SWT (al-muttaqin) yang selalu berusaha
melaksanakan seluruh perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-larangan-Nya,
karena mereka yaqin dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT melihat dan
memperhatikan hati, ucapan dan amal perbuatan setiap manusia. Dengan menjadi
orang-orang yang bertaqwa kepada Allah SWT (al-muttaqin), maka dapat
dipastikan para santri, kyai (guru) dan wali santri akan meraih berbagai
kemudahan hidup, termasuk dalam mendapatkan ilmu pengetahuan dan meraih rizki
dari jalan yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Sebagaimana telah difirmankan
dalam surat al-Thalaq ayat 2- 3 :
ذٰلِكُمْ يُوْعَظُ بِهٖ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ
بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ ەۗ وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ
مَخْرَجًا ۙ
”Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan
baginya jalan keluar dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya”.
Demikian juga difirmankan dalam surat al-Thalaq ayat 4 :
وَاُولَاتُ الْاَحْمَالِ اَجَلُهُنَّ اَنْ
يَّضَعْنَ حَمْلَهُنَّۗ وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مِنْ اَمْرِهٖ
يُسْرًا
وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ
”Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya
Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”.
2.
Agar
para santri, kyai (guru) dan wali santri dapat menjalani hidup dengan damai,
tenang dan harmonis. Dengan mempelajari dan mengamalkan ilmu akhlak dalam Islam
secara utuh dan sempurna, maka diharapkan para santri, kyai (guru) dan wali
santri berhias diri dengan al-akhlak al-karimah sehingga memiliki hati
yang suci dan jiwa yang bersih yang tercermin dalam bentuk ucapan dan perbuatan
yang terpuji. Kata-kata yang meluncur dari lidahnya selalu jujur dan benar
serta memberikan kesejukan dan kedamaian bagi orang-orang yang ada di
sekelilingnya. Mereka selalu berusaha menghindari kata-kata bohong, tidak benar
dan kasar atau kata-kata yang menimbulkan ketersinggungan atau sakit hati orang
lain. Mereka selalu berusaha untuk bersikap dan berprilaku yang baik dan
terpuji. Mereka selalu berusaha mendamaikan orang-orang yang sedang bermusuhan,
bukan sebaliknya mengompori orang-orang yang damai agar bermusuhan dengan
menyebarkan fitnah dan berita hoax. Mereka saling menyayangi dan menghormati;
saling tolong menolong dan bantu membantu sesuai dengan perintah Allah SWT dan
Rasulullah SAW. Dengan cara demikan, dapat dipastikan para santri, kyai (guru)
dan wali santri dapat menjalani hidup di dalam pondok pesantren dengan damai,
tenang dan harmonis, penuh dengan kasih sayang. Mereka saling mengingatkan
dalam kebenaran dan kesabaran, menahan emosi serta saling memaafkan jika
terjadi kesalahan.
3.
Agar
para santri meraih ilmu yang bermanfaat, para kyai (guru) meraih pahala yang
mengalir dari ilmu yang ditransformasikan kepada para santrinya; dan para wali
santri memiliki anak sholeh yang sealalu mendokan kepada kedua orang
tuanya. Dengan mempelajari dan
mengamalkan ilmu akhlak dalam Islam secara utuh dan sempurna, maka diharapkan
para santri, kyai (guru) dan wali santri meneladani akhlak Rasulullah SAW, para
sahabat, tabi’in dan para al-salaf al-shalih sehingga para santri akan
meraih ilmu yang bermanfaat serta meraih sukses dalam melaksanakan dakwah di
tengah-tengah masyarakat. Jika para santri berhias diri dengan al-akhlak
al-karimah maka kehadlirannya dapat diterima oleh masyarakat sekelilingnya.
Jika masyarakat merasa senang dengan kehadliran santri, maka mereka bersedia
mendengarkan dan mengamalkan ilmu yang diajarkan atau materi yang didakwahkan
oleh santri tersebut, sehingga ilmunya bemanfaat bagi masyarakat sekitarnya.
Sebaliknya jika santri berakhlak tercela, maka masyarakat akan bersikap anti
pati sehingga tidak akan mau mendengarkan apalagi mengamalkan materi dakawah
yang disampaikan oleh santri tersebut. Sebagaimana dikatakan oleh Syeh Muhammad
Syakir :
يا بني إذا لم تزين علمك بكرم اخلاقك كان علمك اضر عليك من جهلك فان الجاهل
معذور بجهله ولاعذر للعالم اذا لم يتجمل بمحاسن الشيم
”Wahai anakku. Jika engkau tidak menghiasi ilmumu dengan akhlak yang mulia, maka ilmumu lebih berbahaya bagimu dibanding dengan kebodohanmu. Karena orang yang bodoh (jika berbuat salah) masih bisa dimaklumi karena kebodohannya. Akan tetapi orang yang pandai jika tidak berhias diri dengan akhlak yang terpuji, tidak akan dimaafkan”.
BAB 2
AKHLAK SANTRI
AKHLAK KEPADA DIRI
SENDIRI
AKHLAK SANTRI
AKHLAK KEPADA DIRI
SENDIRI
Berbeda dengan etika atau moral di luar Islam
yang hanya mengatur atau menekankan etika social (hubungan seseorang dengan orang
lain dalam kehidupan bermasyarakat), akhlak dalam Islam memiliki spektrum )ruang lingkup pembahasan) yang sangat luas.
Selain mengatur hubungan antar sesama manusia dalam kehidupan masyarakat (علاقة الانسان للغير في الحياة الاجتماعية ),
akhlak dalam Islam juga mengatur hubungan manusia kepada Allah SWT, Dzat Yang Maha Pencipta dan Pengatur kehidupan
manusia dan alam semesta(علاقة الانسان لله) serta hubungan manusia dengan dirinya sendiri
(علاقة الانسان لنفسه).
Pada dasarnya, akhlak manusia terhadap diri sendiri adalah sifat yang
melekat dalam diri seseorang yang mencerminkan komitmen dan tanggung jawabnya
terhadap keselamatan, kebaikan, dan kemuliaan dirinya yang bertujuan untuk
mewujudkan hal-hal sbb. :
1. Memelihara agama (حفظ الدين), yaitu komitmen seseorang untuk melaksanakan seluruh
ajaran agama Islam yang diyakini kebenarannya, baik dalam bidang aqidah,
syari’ah maupun akhlak dan tasawuf. Hal ini dapat terjadi, jika dalam dirinya
telah tertanam kewajiban untuk melaksanakan shalat, berpuasa, membayar zakat,
menunaikan ibadah haji dsb serta meninggalkan perbuatan dosa seperti ghibah,
namimah dan menebar fitnah. Dengan demikian dia akan merasa bersalah atau
merasa berdosa jika meninggalkan perintah agama atau melakukan perbuatan
maksiat yang dilarang oleh agama, karena menyadari bahwa hal itu akan
mendatangkan murka dan ‘adzab Allah SWT. Sebagaimana difirmankan dalam
surat An-Nisa’ ayat 59 :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ
“Wahai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu”
2.
Memelihara jiwa
(حفظ النفس),
yaitu komitmen seseorang untuk melindungi jiwanya dari hal-hal yang
membahayakan (ضرر) dengan mencampakkan dirinya pada kerusakan
(kebinasaan), melukai diri sendiri, usaha pembunuhan atau bunuh diri.
Sebagaimana difirmankan dalam surat al-Baqarah ayat 195 :
وَاَنْفِقُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَاَحْسِنُوْا ۛ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ
“Dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat
baiklah, karena sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.
Juga firman-Nya dalam surat al-Nisa’
ayat 29 :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا
Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu.
3.
Memelihara
akal (حفظ العقل),
yaitu komitmen seseorang untuk memanfaatkan akal yang telah dianugerahkan oleh
Allah SWT untuk berpikir logic dan ilmiah; mengali dan mengembangkan ilmu
pengetahuan setinggi mungkin serta melindunginya dari hal-hal yang membahayakan
(ضرر) seperti
minuman keras, narkoba dan zat-zat adiktif lainnya. Sebagaimana difirmankan
dalam surat al-Maidah ayat 90 -
91 :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ(90)إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ(91)
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan
permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi
itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; Maka berhentilah
kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”.
4.
Memelihara
keturunan (حفظ النسل),
yaitu komitmen seseorang untuk memelihara keturunan dengan cara menghindari
pezinaan. Karena, selain merupakan perbuatan keji yang dimurkai Allah SWT dan
menimbulkan berbagai macam penyakit kelamin seperti HIV AIDS, zina juga menjadi
penyebab lahirnya anak-anak atau keturunan yang lahir dengan cara haram,
meskipun mereka tidak ikut memikul beben dosa akibat perbuatan orang tuanya.
Oleh karena itu, Allah SWT secara tegas mengharamkan perbuatan zina sehingga
wajib dihindari. Sebagaimana difirmankan dalam surat al-Isra’ ayat 32 :
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا
“Dan
janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buruk”.
5.
Memelihara
harta atau properti (حفظ المال), yaitu komitmen seseorang untuk memelihara harta atau properti yang telah dianugerahkan Allah SWT kepadanya dengan cara
membelanjakan atau memanfaat harta benda di jalan yang benar sesuai dengan
petunjuk-Nya, tidak merusaknya, juga tidak tabdzir atau berfoya-foya.
Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Furqon ayat 67 :
وَالَّذِيْنَ اِذَآ اَنْفَقُوْا لَمْ يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُوْا وَكَانَ بَيْنَ ذٰلِكَ قَوَامً
“Dan
orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan
tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang
demikian”.
Akhlak
manusia terhadap diri sendiri (علاقة
الانسان لنفسه), tercermin
pada sifat-sifat positif sbb.
1. Shidiq, yakni jujur dan
benar baik dalam pikiran, ucapan maupun perbuatan. Umat Islam khususnya para
santri harus menghiasi diri dengan kejujuran, karena jujur merupakan sifat yang
akan memperkokoh dan menjamin integritas kepribadian seseorang, baik sebagai
makhluk individu maupun makhluk sosial. Di antara contoh kongkret dari sifat al-shidqu
adalah bersatunya ucapan dengan perbuatan sehingga perbuatan tidak berbeda
apalagi bertentangan dengan ucapan. Jika berjanji maka akan dipenuhi, tidak
diingkari. Seseorang yang tidak jujur, maka akan terjermus dalam kemaksiatan,
kemunafikan, bahkan akan terjerumus ke dalam neraka jahannam. Na’udzu Billahi dan
dzalik. Sebagaimana telah disabdakan oleh Rasululah SAW dalam hadits shahih
yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dari sahabat Abdullah
ibn Mas’ud RA. :
ان الصد ق يهدي الى البر وان البر يهدي الى الجنة وان الرجل
ليصد ق حتى يكتب عند الله صد يقا وان
الكذب يهدي الى الفجوروان الفجور يهدي الى النا روان الرجل ليكذب حتى يكتب عند الله كذابا (متفق عليه)
“Sesungguhnya kejujuran akan menunjukkan
kepada kebaikan. Dan sesungguhnya kebaikan akan menunjukkan kepada surga. Jika
seseorang bersikap jujur, maka akan ditulis di sisi Allah sebagai orang yang
sangat jujur. Dan sesungguhnya
kebohongan akan menunjukkan kepada kejahatan. Dan sesungguhnya kejahatan akan
menunjukkan kepada neraka. Jika seseorang bersikap pembohong, maka akan ditulis
di sisi Allah sebagai orang yang sangat pembohong”. (Hadits disepakati oleh Imam ala-Bukhari dan Imam
Muslim).[1]
2.
Amanah, yakni dapat dipercaya. Umat Islam khususnya para santri
harus bersifat amanah atau memiliki integritas moral sehingga tidak menipu,
tidak berkhianat, tidak menyalah-gunaan jabatan dan kekuasaan serta selalu
berusaha mengemban tugas yang dibebankan kepadanya dengan sebaik-baiknya dan
sejujur-jujurnya. Sebagaimana sifat al-shidqu (jujur), al-amanah juga
merupakan sifat yang akan memperkokoh dan menjamin integritas kepribadian
seseorang, baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial. Kedua sifat ini
harus dimiliki oleh setiap orang yang beragama Islam karena merupakan kunci
kesuksesan seseorang dalam hidup bermasyarakat. Jika sesorang menghiasi dirinya
dengan kedua sifat ini, dapat dipastikan hidupnya akan sukses. Sebaliknya, jika
mengabaikan kedua sifat ini, pasti hidupnya akan gagal. Sehubungan dengan itu,
Allah SWT telah memerintahkan ummat Islam untuk melaksanakan amanat dengan
baik. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Nisa’ ayat 58 :
۞ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا
“Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh
kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya
Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.
3. Tawadlu’ (rendah hati). Umat Islam khususnya para santri harus bersifat tawadlu’ atau rendah hati, sehingga semakin banyak
ilmunya, semakin tinggi pangkat dan kedudukannya, semakin banyak harta dan pengaruhnya
akan semakin bersikap tawadlu’ karena menyadari, bahwa semua yang
dimiliki adalah karunia sekaligus amanah dari Allah SWT sehingga wajib disyukuri
bukan untuk disombongkan. Sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Sulaiman ketika
beliau berhasil memindahkan singgasana Ratu Bilqis dari Yaman ke Palestina. Hal ini dikisahkan dalam surat an-Naml ayat 40 :
قَالَ الَّذِيْ عِنْدَهٗ عِلْمٌ مِّنَ الْكِتٰبِ اَنَا۠ اٰتِيْكَ بِهٖ قَبْلَ اَنْ يَّرْتَدَّ اِلَيْكَ طَرْفُكَۗ فَلَمَّا رَاٰهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهٗ قَالَ هٰذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّيْۗ لِيَبْلُوَنِيْٓ ءَاَشْكُرُ اَمْ اَكْفُرُۗ وَمَنْ شَكَرَ فَاِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ رَبِّيْ غَنِيٌّ كَرِيْمٌ
“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab (Taurat dan Zabur)
"Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip".
Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun
berkata: "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk menguji aku apakah aku
bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur,
maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri. Dan
barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha
Mulia".
Bahkan Rasulullah SAW pun diperintahkan oleh
Allah SWT agar bersikap tawadlu’ (rendah hati) kepada orang-orang
beriman yang mengikuti beliau. Sebagaimana difirmankan dalam surat al-Syu’ara
ayat 215 :
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ ۚ
“Dan
rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, Yaitu orang-orang
yang beriman”.
Para santri harus
bersikap rendah hati, karena sikap rendah hati merupakan cermin dari
sifat-sifat orang yang bertaqwa kepada Allah SWT. Para santri tidak boleh
menyombongkan diri dengan ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya, karena
kesombongan merupakan watak dari syetan yang menolak perintah Allah SWT untuk
bersujud (menghormati) Nabi Adam AS. Selain itu, para santri tidak boleh bersikap
sombong karena mereka tidak akan tahu nasibnya di akhirat kelak, apakah
termasuk orang yang beruntung dengan menjadi penghuni surga, atau termasuk
orang yang celaka karena menjadi penghuni neraka, na’udzu billahi min dzalik.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah ibn
Abbas, Said ibn Jubair, Amr ibn Dinar, Sufyan ibn al-Humaid, Rasulullah SAW
mengkisahkan bahwa pada suatu hari Nabi Musa AS berpidato di hadapan kaumnya
dari Bani Israil. Nabi Musa
mengajak mereka untuk mensyukuri ni’mat dan karunia Allah SWT dengan
melaksanakan seluruh perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Untaian
kalimat-kalimat dakwah yang disampaikan oleh Nabi Musa kepada kaumnya tersebut
begitu memukau dan menyejukkan hati mereka. Sesudah menyampaikan dakwah, ada
salah seorang kaum Bani Israil bertanya kepada beliau; “Wahai Nabi Musa AS,
siapakah hamba Allah SWT yang paling pintar di muka bumi ini? Maka Nabi Musa
pun menjawab; “Aku lah orangnya yang paling pintar di antara hamba Allah di
muka bumi”.
Jawaban itu wajar saja.Karena pada zaman itu hanya Nabi Musa yang
berhasil membawa Bani Isra’il kepada hidayah ilahi. Dialah yang telah
menaklukkan Raja Fir’aun dengan segala kekuasaan dan kesombongannya.Dia juga
telah menaklukkan para tukang sihir istana sehingga mereka mengikuti agama Nabi
Musa.Ia juga telah dikaruniai nikmat terbesar sebagai Rasul-Nya yaitu nikmat
berupa kesempatan berbicara langsung dengan Allah. Selain itu, beliau juga
telah berhasil membongkar rahasia tentang pembunuhan yang kejam.
Baru saja Nabi Musa mengingat kelebihan dan jasa dirinya atas kaumnya
itu, datanglah wahyu Allah berupa teguran atas tindakan yang tak sepatutnya
dilakukannya.Allah memperingatkannya bahwa seluas apapun ilmu pengetahuannya,
itu semua niscaya hanyalah karunia pemberian Allah semata. Dan, tidak menutup
kemungkinan bahwa ada hamba-Nya yang lain yang dianugerahi pengetahuan melebihi
apa yang diberikan pada Nabi Musa.
Untuk lebih menekankan peringatan-Nya ini, Allah juga memerintahkan Nabi
Musa untuk menemui hamba-Nya yang lain, di suatu tempat yang dalam Al-Qur’an
disebut “bertemunya dua lautan”.Mendapat perintah itu, Nabi Musa bertanya, “Ya
Allah, siapakah hamba-Mu itu? Dan bagaimana aku bisa menemuinya?” Allah
menjawab dengan wahyu-Nya, “bawalah seekor ikan yang kau letakkan dalam sebuah
keranjang.Di mana pun ikan itu mulai menghilang, maka di sekitar situ lah
tempat tinggal orang tersebut”.
Setelah mendapat kejelasan, Nabi Musa segera menyiapkan bekal
perjalanannya. Ia juga mengajak serta salah seorang pengikutnya yang paling
setia dan dipercaya, Yusya’ bin Nun. Sebagai orang yang bertugas memastikan
kelengkapan dan kelancaran perjalanan Nabi Musa, Yusya’ dipesani oleh Nabi
Musa, agar dia memberitahu kepada Nabi Musa begitu ikan yang dibawanya
menghilang.
Singkat cerita, ketika keduanya beristirahat di suatu tempat di dekat
batu besar, di saat itulah ikan yang tadinya sudah mati, tiba-tiba hidup,
bergerak-gerak, lalu meloncat dan mengarah ke lautan.
Setelah Yusya’ bin Nun melaporkan kejadian ini kepada Nabi Musa, Nabi
Musa pun berkata, “inilah tempat yang kita cari”. Tak lama kemudian, ia pun
menyambung, “aku mencium bau manusia. Pasti di sinilah kita akan menemui hamba
Allah itu.”
Ternyata hamba Allah itu adalah seorang laki-laki tua yang kurus
badannya, tetapi wajah dan sorot matanya menampakkan cahaya kenabian yang
terpancar ke hadapan Nabi Musa. Setelah mengulukkan salam, ternyata orang
tersebut sudah mengetahui seluk-beluk identitas Nabi Musa, seperti namanya dan
statusnya sebagai pemimpin Bani Israil. Nabi Musa mulanya heran akan hal ini.
Namun ia segera menyadari bahwa orang ini mungkin memang orang yang dimaksudkan
oleh Allah. Karenanya, ia segera saja mengemukakan, “tujuanku kemari adlah
untuk memenuhi perintah berguru kepadamu, apakah engkau berkenan mengajariku ilmu-ilmu
yang sudah dianugerahkan Allah kepadamu?
Lalu laki-laki yang kemudian diketahui bernama Khidir itu berkata,
“Wahai Musa, sesungguhnya engkau tidak akan sanggup bersabar diri
bersamaku.Allah telah mengajariku ilmu pengetahuan tentang sesuatu yang ghaib,
yang engkau sendiri belum diajari oleh-Nya.Tetapi, jika engkau memang ingin
belajar bersmaku, syaratnya, jangan sekali-kali menanyakan tentang sesuatu yang
aku lakukan, kecuali akan aku jelaskan sendiri kepadamu”.Setelah syarat ini
disepakati, Nabi Musa mulai mengikuti perjalanan dan segala gerak-gerik Khidir
AS.
Ketika keduanya menyusuri tepi pantai, Nabi Khidir mengatakan, “wahai
Musa, ketahuilah sesungguhnya perbandingan dan perumpamaan ilmu Allah dengan
ilmu manusia adalah ibarat seluruh air di lautan dan sedikit air yang membasahi
kakimu sebagai karunia-Nya kepada manusia.Dan kelak, manusia akan dimintai
pertanggungjawaban akan ilmunya kelak”.
Setelah itu, Nabi Khidir naik ke atas perahu dan justru merusak dinding
perahu itu. Melihat perbuatan yang janggal itu, Nabi Musa spontan menegurnya,
“apakah engkau hendak merugikan orang lain dan menenggelamkan perahu ini dan
awaknya?”. Nabi Khidir hanya menjawab, “bukankah sudah ku katakana bahwa jangan
menanyakan sesuatu hingga aku menjelaskannya sendiri?”.
Setelah meminta maaf, Nabi Musa kembali mengikuti perjalanan Khidir AS. Hingga
ketika mereka sampai di suatu perkampungan, lalu bertemu dengan anak kecil di
kampong tersebut, Khhidir AS justru mencekik bocah itu hhingga mati di
tangannya sendiri.Nabi Musa yang kaget melihat itu kontan bereaksi, “mengapa
engkau membunuh anak tak berdosa ini, bukankah kau sudah melakukan
kemungkaran”.Namun, Nabi Khidir hanya menjawab sebagaimana pada kesempatan
sebelumnya.
Lalu keduanya meneruskan perjalanan sampai ketika mencapai suatu daerah
yang penduduknya tak mau menghormati keduanya selayaknya tamu.Tetapi, ketika
keduanya melihat suatu dinding rumah yang hamper rusak, Nabi Khidir justru
memperbaikinya hingga tegak kembali.Nabi Musa yang keheranan kkembali bertanya,
“kenapa engkau memperbaiki rumah itu, padahal pemiliknya sama sekali tak
menghargai kita”.Nabi Khidir yang sudah merasa cukup hanya menanggapi,
“sepertinya ini menjadi perpisahan antara aku dan engkau, karena engkau telah
berkali-kali melanggar kesepakatan dan syarat yang sudah ditentukan tadi. Namun
sebelum berpisah, akan aku jelaskan alasan-alasan kenapa aku mengerjakan
hal-hal yang ku lakukan tadi.
Pertama, tindakanku merusak kapal, itu karena aku tahu bahwa di pulau
seberang, tempat para nelayan akan berlabuh, ada seorang penguasa yang akan
merampas kapal-kapal di sana. Dengan merusaknya, maka penguasa itu jadi tak
berminat mengambil kapal itu, dan pemilik kapal bisa memperbaikinya kembali
tanpa ia harus kehilangan kapal. Sedangkan anak kecil yang aku bunuh tadi, ia
adalah anak yang ketika dewasa kelak akan menjadi seorang yang ingkar dan
durhaka kepada Allah dan orang tuanya. Dengan membunuhnya, aku justru
menyelamatkan nasibnya dari siksa Allah di akhirat kelak.Yang terakhir, tembok
rumah yang aku perbaiki tadi, di bawahnya terdapat harta benda orang tua yang
diwariskan kepada anak yatim pemilik sesungguhnya dari rumah tersebut.Kalau
sampai dinding rumah itu rubuh dan lalu ketahuan di bawahnya terdapat harta
peninggalan, niscaya harta itu akan diambil lebih dulu oleh walinya dan
penduduk kampong itu, tanpa pernah sampai kepada si anak yang berhak
mewarisinya”.
Bersikap rendah hati (tawadlu’),
bukan berarti bersikap rendah diri (minder) dengan takut menyampaikan pendapat
dan aspirasi; takut berpakaian yang bagus dsb.Imam Abu Hanifah
mengajarkan, sebagai orang yang berilmu,
para santri harus tampil dengan pakaian yang bagus dan rapi, agar tidak
direndahkan orang lain. Demikian juga, para santri harus berani menyampaikan
pendapat dan aspirasi serta menghadapi siapa pun,dengan tetap menjaga sopan
santun dan al-akhlak al-karimah.
4.
Menjaga kehormatan diri (al-‘iffah). Para santri harus menjaga kehormatan diri (al-‘iffah)
dengan tidak bersikap thama’ terhadap harta atau kedudukan orang lain.
ومن وجد لذة العلم والعمل به قلما يرغب فيما
عند الناس
“Barangsiapa merasakan kelezatan ilmu dan
mengamalkannya, dapat dipastikan bahwa dia tidak akan silau atau memiliki
keinginan(thama’) terhadap harta atau
jabatan orang lain”
Oleh karena itu
para santri harus memiliki sikap mandiri dan menerima serta menikmati anugerah
Allah SWT apa adanya (bersikap qonaah). Jangan membiasakan diri
meminta-minta atau mengemis, karena agama Islam sangat mencela orang yang
berprofesi sebagai pengemis, serta menghargai orang yang bekerja untuk mencari
nafkah secara halal, baik dengan bertani, berdagang, menjadi karyawan, buruh
dsb. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat Al-Baqarah ayat 273 :
“(Berinfaqlah)
kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak
dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang
kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya. Mereka tidak
meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu
nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui”.
Firman Allah SWT di atas, memuji para sahabat Rasul yang tidak
mau “menjadi pengemis”, meskipun mereka miskin karena tidak bisa berdagang
lantaran sedang berperang membela agama Allah SWT melawan orang-orang kafir. Berhubung
mereka tidak mau “menjadi pengemis”, maka masyarakat menyangka mereka adalah
orang-orang kaya yang berkecukupan, padahal sebenarnya mereka adalah
orang-orang miskin.
Demikian juga sabda Rasulullah SAW
dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari sahabat Hakim
ibn Hizam RA. :
-اليد العليا خير من اليد
السفلى، فاليد العليا هي المنفقة واليد السفلى هي السائلة (رواه البخاري عن حكيم
بن حزام)
"Tangan di atas adalah lebih baik dari pada tangan di bawah.
Tangan di atas ialah tangan yang memberi dan tangan di bawah ialah tangan yang
meminta"
Demikian
juga sabda Rasulullah SAW dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam
Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah RA.
-لأن يأخذ أحدكم
حبله ثم يغدو فيحتطب فيبيع فيأكل ويتصدق خير له من أن يسأل الناس (رواه البخاري
ومسلم عن أبي هريرة)
"Sungguh jika salah seorang di antara kamu pada waktu
pagi-pagi buta mengambil tali kemudian mencari kayu bakar dan menjualnya
sehingga ia memperoleh makanan secukupnya dan bersedekah, maka hal itu lebih
baik baginya dari pada meminta-minta kepada manusia".
Demikian juga sabda Rasulullah SAW dalam hadits shahih yang
diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Ibnu Umar RA.
لا تزا ل المسئلة
بأحدكم حتى يلقى الله وليس في وجهه مزعة لحم (رواه البخاري ومسلم عن ابن عمر)
"Mengemis (meminta-minta) itu senantiasa merupakan cacat bagi
seseorang di antara kamu sehingga dia menemui Allah di hari kiamat tanpa
sepotong daging yang melekat di mukanya".
Demikian juga sabda Rasulullah SAW dalam hadits shahih yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dari sahabat Abdullah ibn Adi :
-أن رجلين اخبرا أنهما
أتيا النبي صلى الله عليه وسلم يسألانه الصدقة فقلب فيهما البصر فرأى هما جلدين
فقال: إن شئتما أعطيتكما، ولاحظ فيها لغني ولا لقوي مكتسب (رواه أحمد وأبو داود عن
عبد الله بن عدي بن ألخيا)
"Ada dua orang sahabat yang datang kepada Rasulullah SAW
untuk meminta sedekah. Setelah
Rasulullah SAW memperhatikan keadaan mereka, ternyata keduanya bertubuh kekar
(kuat). Maka beliau bersabda: Kalau kamu
berdua meminta, saya akan memberi, tetapi ketahuliah bahwa orang-orang kaya dan
mampu berusaha (kuat) tidaklah berhak menerimanya".
Pernah salah seorang penduduk
Madinah (kaum Anshor) datang meminta sedekah kepada Nabi. Beliau bertanya:
Apakah anda mempunyai sesuatu benda di rumah? Orang Anshor itu menjawab: Saya
hanya mempunyai sehelai tikar yang sebagian saya jadikan alas dan sebagian
lainnya saya jadikan selimut, serta sebuah mangkok tempat air minum. Bawalah
padaku, perintah Nabi. Setelah orang Anshor itu kembali kepada Rasulullah SAW
dengan membawa barang-barang yang dimiliki, beliau melelang barang-barang
tersebut kepada para sahabat, dan laku dua dirham. Kemudian beliau menyerahkan
uang dua dirham tersebut kepada pemiliknya sambil berkata: Pergunakanlah satu
dirham untuk membeli makananmu dan satu dirham lagi belikan sebuah kampak, dan
bawalah padaku!. Setelah pemuda itu menyerahkan kampaknya kepada Rasulullah,
maka beliau memasang tangkainya kemudian menyerahkannya kepada pemuda itu
sambil bersabda; Pergilah mencari kayu bakar, dan juallah! Dua minggu kemudian
kembalilah melapor padaku!. Dengan patuh pemuda itu keluar dan demikianlah, dua
minggu kemudian dia kembali menghadap Nabi melaporkan bahwa dia telah berhasil
menerima keuntungan 10 dirham. Lima dirham di antaranya telah dibelikan pakaian,
sedang sisanya dipergunakan untuk persediaan membeli makanan mereka sekeluarga.
Mendengar laporan itu Nabi bersabda: Bukankah itu lebih baik bagimu dari pada
meminta-minta yang menjadikan cacat hitam di mukamu ketika menghadap Allah di
hari kiamat nanti?". Hadits Riwayat Abu Daud.
5.
Bersifat Wara’. Para santri
harus bersifat wara’, yaitu bersikap hati-hati agar tidak mengkonsumsi makanan dan minuman yang
haram atau diperoleh dengan cara yang tidak halal seperti mencuri, menipu,
korupsi dsb. Demikian juga pakaian, kendaraan, tempat tinggal dsb. Seseorang
yang bersifat wara’ insya Allah hatinya akan bersinar sehingga mudah
menangkap ilmu dari Allah SWT serta doa yang dipanjatkan akan mudah diijabah
oleh Allah SWT. Sebaiknya seseorang yang suka mengkomsi makanan atau minuman
yang haram, atau memakai pakaian dan menggunakan barang-barang yang haram atau
diperoleh secara tidak halal, maka hatinya akan gelap gulita sehingga sulit
menangkap ilmu Allah SWT, bahkan doa-doanya pun tidak akan dijabah. Sebagai
telah difirmankan dalam surat al-Baqarah ayat
188 :
وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ࣖ
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang
lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada
harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”.
Demikian juga dijelaskan oleh
hadits shahih yang diriwayatkan Imam Muslim dari sahabat Abu Hurairah :
إن الله طيب لا يقبل إلا طيبا وإن
الله أمر المؤمنين بما أمر به المرسلين. فقال تعالى ياأيهاالرسل كلوا من الطيبات
واعملوا صالحا وقال تعالى ياأيهاالذين آمنوا كلوا من طيبات مارزقناكم ثم ذكر الرجل
يطيل السفر أشعث أغبر يمد يديه قائلا يا رب يا رب ومطعمه حرام ومشربه حرام وملبسه
حرام وغدي بالحرام فأنى يستجاب
"Sesungguhnya Allah adalah Dzat
Yang Maha Suci, yang tidak akan menerima, kecuali sesuatu yang suci. Dan
sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang yang beriman dengan apa yang
diperintahkan kepada para rasul-Nya. Maka Allah SWT berfirman; 'Wahai para
rasul, makanlah kamu dari sesuatu yang baik dan beramallah yang baik'. Dan
Allah pun berfirman; 'Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rizki yang
baik yang telah Kami anugerahkan kepada kalian'. Kemudian Rasul mengkisahkan
seorang laki-laki yang sudah lama sekali berdo'a memohon sesuatu kepada Allah.
Begitu lamanya berdo'a sampai rambunya acak-acakan (tidak rapi), pakaiannya
kotor terkena debu. Akan tetapi, bagaimana mungkin doanya dikabulkan kalau
makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan sejak kecil diberi
makanan yang haram".[2]
Makanan dan
minuman yang dikonsumsi manusia juga akan mempengaruhi kehidupannya di alam
akhirat. Jika halal dan thayyib, maka akan mengantarkan manusia ke
surga. Sebaliknya, jika bersumber dari atau diperoleh dengan cara yang haram,
maka akan mengantarkannya ke dalam neraka. Sebagimana disabdakan Rasulullah
dalam hadits hasan :
كل لحم نبت من حرام فالنار أولى به
"Setiap daging (manusia) yang tumbuh dari (makanan dan
minuman) yang haram, maka lebih berhak untuk masuk neraka" (HR. Imam Tirmidzi dari Ka'ab ibn
'Ajazah). [3]
Para santri juga harus menghindari makanan dan minuman yang syubhat (belum jelas halal atau haram), karena seseorang yang terjerumus dalam
hal-hal yang syubhat pasti akan terjerumus dalam hal-hal yang haram. Sebagaimana telah disabdakan Rasulullah SAW dalam
hadits shahih yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu
Abdillah Nu'man Ibnu Basyir RA.
عن أبي عبد الله النعمان بن بشير رضي الله عنهما
قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : إن الحلال بين وإن الحرام بين
وبينهما أمور مشتبهات لايعلمهن كثير من النا س فمن اتقى الشبهات فقد استبرأ لدينه
وعرضه ومن وقع في الشبهات وقع في الحرام كالراعي يرعى حول الحمى يوشك أن يرتع فيه
ألا وإن لكل ملك حمى ألا وإن حمى الله محارمه ألا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح
الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله. ألا وهي القلب. (رواه البخاري ومسلم)
"Dari sahabat Abu Abdillah Nu'man ibn al-Basyir
RA. beliau berkata, bahwa beliau mendengar Rasulullah SAW bersabda;
'Sesungguhnya sesuatu yang halal itu sudah jelas. Demikian pula, sesuatu yang
haram juga sudah jelas. Akan tetapi, di antara yang halal dan yang haram itu
terdapat sesuatu yang samar (syubhat) yang tidak banyak diketahui oleh umat
manusia. Barangsiapa menjaga diri dari hal-hal yang syubhat, maka berarti ia
telah membersihkan agama dan kehormatannya. Sebaliknya barangsiapa terjatuh
dalam sesuatu yang syubhat, maka ia pasti akan terjatuh pada sesuatu yang haram.
Seperti pengembala yang mengembalakan hewan ternak di sekitar tanah larangan,
maka dapat dipastikan hewan ternak tersebut memasuki tanah larangan. Ingat,
bahwa sesungguhnya setiap raja mempunyai larangan. Ingat, bahwa sesungguhnya
larangan Allah adalah hal-hal yang telah diharamkan. Ingat, sesungguhnya di
dalam jasad manusia terdapat segumpal daging, yang jika baik maka seluruh
anggota badannya menjadi baik. Sebaliknya, jika segumpal daging tersebut buruk,
maka seluruh anggota badan menjadi buruk. Ingat, segumpal daging tersebut
adalah hati. (H.R. Imam Bukhari dan Imam Muslim).[4]
6. Rajin dan Bersungguh-sungguh dalam Belajar
Para
santri harus bersungguh-sungguh dalam belajar secara istiqomah (kontinu/
terus-menerus). Hal ini antara lain dilakukan dengan mengulang-ulang pelajaran
(tikrar) agar memiliki pemahaman yang lebih mantap sehingga tidak mudah
melupakan ilmu pengetahuan yang telah dipelajari. Sebagaimanadifirmankandalam surat al-Ankabut
ayat 69 :
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ
“Dan Orang-orang yang mencari keridhaan Kami, niscaya Kami tunjukkan mereka kepada jalan-jalan Kami” (Surat 29, Al-Ankabut 69).
Pepatah Arab mengatakan :
من طلب شيئا وجد وجد، ومن قرع الباب ولج ولج.
“Barangsiapa sungguh-sungguh dalam mencari
sesuatu pastilah ketemu dan barangsiapa mengetuk pintu bertubi-tubi, pasti
dapat memasuki”.
Pepatah lain mengatakan :
بقدرما تتعنى تنال ما تتمنى
“Sesuai
dengan kadar usahamu, engkau akan meraih cita-citamu”
Imam al-Syafi’i telah menggubah syi’ir sbb. :
تمـنيت أن تمسى فـقيها
مناظـرا بغـير
عناء والجـنون فنون
وليس اكتساب المال دون
مشقة تحملها
فالعلم كـيف يكون؟
Engkau mengidam-idamkan dirimu menjadi seorang ahli fiqh yang pandai
berargumentasi, tetapi engkau tidak mau berpayah-payah belajar.Maka (hal itu
adalah suatu kegilaan, karena) gila itu sangat banyak bentuknya.
Kalau untuk
mencari harta benda saja harus berpayah-payah dan penuh derita, apalagi untuk
meraih ilmu pengetahuan”
7. Bersikap Sabar dan Istiqomah
Para santri hendaknya bersikap sabar dan
istiqomah untuk belajar di sebuah lembaga pendidikan (pondok pesantren) hingga
menamatkan pendidikannya. Juga istiqomah dalam mengkaji satu disiplin ilmu,
sehingga tidak berpindah ke disiplin ilmu lainnya sebelum menguasai disiplin
ilmu yang pertama. Dengan berpindah-pindah tempat belajar, maka akan mengganggu
konsentrasi belajar, membuang-buang waktu, biaya, tenaga dan pikiran, bahkan
menyakiti para guru yang ditinggalkannya.
Para santri juga harus bersikap sabar dalam
menghadapi berbagai macam ujian hidup.Kesuksesan sebuah cita-cita sangat
bergantung pada kesabaran dalam menghadapi ujian.
8. Rajin Bangun Malam
Para santri hendaknya rajin bangun malam
untuk melaksanakan shalat tahajjud, berdizkir dan berdo’a. Karena pada
sepertiga malam terakhir Allah SWT menurunkan rahmat-Nya dan merupakan waktu
yang paling mustajab untuk berdoa. Jika para santri rajin melaksanakan
tahajjud, maka Allah SWT akan mengangkat derajatnya hingga meraih derajat yang
terpuji. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Isra’ ayat 79 :
وَمِنَ الَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهٖ نَافِلَةً لَّكَۖ عَسٰٓى اَنْ يَّبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُوْدًا
“Dan pada sebahagian malam hari bershalat tahajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuj”i.
Imam al-Syafi’i membagi waktu malam hari
menjadi tiga bagian. Sepertiga malam untuk tidur (istirahat); sepertiga malam
untuk mengkaji ilmu atau mengajar; sepertiga malam untuk ibadah (tahajjud). Agar
mudah bangun malam, maka hendaklah para santri mengurangi konsumsi makanan.
Selain itu, para santri juga harus
menghindari akhlak tercela (al-akhlak al-madzmumah) yang bersemayam di
dalam dirinya. Di antaranya adalah sbb. :
1.
Pembohong. Bohong
adalah menyampaikan informasi yang tidak sesuai atau tidak cocok dengan
kejadian yang sebenarnya. Apabila kita ingin menjadi manusia yang sukses, maka
pertama-tama yang harus kita lakukan adalah menjauhi kebohongan serta berpegang
teguh pada kejujuran. Jika seseorang suka berdusta maka ia akan terjerumus pada
kemunafikan sehingga layak disebut sebagai orang munafik.
2.
Munafik. Yaitu
orang yang lahiriahnya berbeda batiniahnya. Performen lahiriahnya tampak bagus
tetapi hatinya busuk, sehingga banyak orang yang tertipu. Sifat munafik sangat tercela, sehingga Al-Qur’an menyebutkan, bahwa orang-orang
munafik itu kelak berada di neraka paling bawah. Pada masa Rasulullah SAW, orang-orang
munafik sangat merepotkan karena mengganggu perjuangan beliau. Secara lahiriah
mereka menampakkan seperti seorang muslim yang taat kepada Nabi, tetapi pada
kenyataannya mereka berusaha merusak dan menghancurkan perjuangan beliau dari
dalam. Rasulullah dalam hadistnya menyebutkan bahwa di antara ciri-ciri orang
munafik adalah apabila berbicara, suka
berbohong; apabila berjanji, suka menginkari, dan apabila diberi amanah
(dipercaya), suka berkhianat.
أية المنافق ثلاث إذا حدث كذب وإذا وعد أخلف وإذا اؤتمن خان
“Ciri-ciri orang munafiq itu ada tiga; jika berbicara bohong,
jika berjanji mengingkari, dan jika diberi amanat berkhianat”.
3.
Bermuka dua. Di antara bentuk lain dari sifat munafiq adalah bermuka
dua, yaitu ketika bertemu seseorang dia memujinya, tetapi di belakangnya ia
menjelek-jelekkan bahkan mencaci makinya. Sebagaiman disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukahri dan Imam Muslim dari sahabat Abu Hurairah RA.
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم : وتجدون شر الناس ذاالوجهين الذي يأتي هؤلاء بوجه
وهؤلاء بوجه
"Dan
engkau akan menjumpai sejahat-jahat manusia adalah orang yang bermuka dua. Dia
menghadapi suatu kelompok dengan satu muka dan menghadapi kelompok yang lain
dengan muka yang lain pula".
Demikian juga ucapan sahabat Abdullah ibnu Umar yang
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari :
وعن
محمد بن زيد أن أناسا قالوا لجده عبد الله بن عمر رضي الله عنهما : إنا ندخل
سلاطيننا فنقول لهم بخلاف ما نتكلم إذا خرجنا من عندهم. قال : كنا نعد هذا نفاقا
على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم.
"Dari Muhammad ibn
Zaid bahwa ada sekelompok orang yang bertanya kepada kakeknya, yakni sahabat
Abdullah ibn Umar RA.: Sesungguhnya kami, jika
menghadap para pejabat kami akan mengatakan sesuatu yang berbeda dengan apa
yang kami bicarakan ketika kami telah keluar dari ruangan mereka. Sahabat Ibnu
Umar berkata; Menurut hemat kami, perbuatan tersebut pada masa Rasulullah SAW
dinilai sebagai perbuatan munafiq"
4.
Egois, yaitu sifat yang hanya mementingkan diri sendiri dan
sama sekali tidak memperdulikan penderitaan orang lain, terutama penderitaan
yang dialami oleh umat Islam. Orang seperti ini pada hakikatnya tidak layak
dikelompokkan sebagai bagian dari umat Islam. Sebagaimana telah disabdakan oleh
Rasulullah SAW :
من لم يهتم بأمر
المسلمين فليس منهم
“Barangsiapa tidak memperdulikan nasib ummat Islam, maka ia tidak termasuk golongan mereka”.
5. Konsumtif dan berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi makanan dan minuman, karena hal itu sangat
berpotensi menambah berat badan dan kegemukan (obesitas) sehingga mudah
mengantuk dan malas beribadah serta belajar, bahkan berpotensi menimbulkan
berbagai macam penyakit.
Demikian juga berfoya-foya dalam membelanjakan dan mempergunakan harta sehingga mubaddzir. Bentuk
lain dari sifat tabdzir adalah membuang sisa-sisa makanan yang tidak
habis karena terlalu banyak dalam memasak atau mengambil makanan melebihi kebutuhan.
Sifat tabdzir dinilai oleh Allah SWT sebagai sifat dan prilaku syaitan.
Mereka dengan gampang membuang-membuang makanan, padahal di tempat lain banyak
orang yang kelaparan karena tidak memiliki bahan makanan. Sebagaimana telah
difirmankan Allah dalam surat al-Isra’ ayat 26 – 27 :
Referensi: https://tafsirweb.com/37728-quran-surat-al-isra-ayat-26-27.html
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya para pemboros adalah teman syetan dan syetan sangat ingkar kepada Allah”.
6. Pelit (bakhil) dalam membayar zakat, infak dan sedekah serta dalam membantu kaum yang
lemah. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat Ali Imran ayat 180:
وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ بِمَآ اٰتٰىهُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖ هُوَ خَيْرًا لَّهُمْ ۗ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَّهُمْ ۗ سَيُطَوَّقُوْنَ مَا بَخِلُوْا بِهٖ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۗ وَلِلّٰهِ مِيْرَاثُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ ࣖ
“Janganlah sekali-kali orang-orang yang pelit (bakhil) dengan harta yang Allah telah anugerahkan kepada mereka menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya pada hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) dilangit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
7. Takabbur (sombong),
yaitu suatu sifat buruk yang bersemayam dalam diri seseorang karena merasa
bahwa dirinya adalah orang hebat atau merasa memiliki keunggulan-keunggulan di
atas orang lain. Sifat ini bisa muncul karena berbagai faktor.
Bisa jadi karena merasa berasal dari keturunan orang-orang yang terhormat, bisa
jadi karena merasa kaya, pandai, mempunyai pangkat dan kedudukan yang tinggi
dsb. Takabbur atau sombong merupakan sifat buruk yang dibenci oleh Allah SWT. Sebagaimana
telah difirmankan dalam surat Al-Isra’ ayat 37 :
وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۚ اِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْاَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُوْلًا
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu tidak akan mampu menembus bumi dan tidak akan mampu mencapai puncak gunung”.
Takabbur
terbagi menjadi 3 (tiga) macam;
yaitu (1). Takabbur kepada Allah SWT, yang tercermin dalam sikap menolak
untuk beribadah serta tidak mau memperdulikan ajaran-ajaran-Nya. (2). Takabbur
kepada Rasulullah SAW yang tercermin dalam sikap menolak untuk mematuhi
ajaran-ajarannya serta mengikuti sunnah-sunnahnya. (3). Takabbur kepada
sesama manusia yang tercermin dalam sikap dan prilaku yang menganggap dirinya
lebih hebat dari orang lain.
Untuk menghilangkan
atau mengurangi sifat takabbur (sombong) yang bersemayam di dalam hati
serta menumbuh kembangkan sifat tawadlu’, dapat dilakukan dengan
beberapa cara sbb. :
a.
Menanamkan kesadaran dalam dirinya bahwa manusia pada mulanya tercipta dari
sperma (air mani) yang menjijikkan dan sama sekali tidak berharga,
kemudian pada akhir kehidupannya, sesudah wafat akan
menjadi bangkai yang lama kelamaan membusuk dan baunya sangat menyengat sehingga tidak ada seorang pun yang mau mendekati apalagi menemaninya, meskipun istri atau suami dan anak-anaknya. (الانسان اوله نطفة واخره جيفة).
b.
Menanamkan kesadaran dalam dirinya, bahwa semua kelebihan yang dimilikinya, baik berupa wajah yang tampak atau
cantik, harta benda yang melimpah ruah, ilmu pengetahuan dan gelar atau
prestasi akademiki, pangkat, jabatan dsb. adalah karunia atau anugerah dari Allah SWT yang wajib disyukuri, bukan untuk disombongkan; sekaligus juga amanah yang kelak akan dimintakan pertanggung-jawaban.
c.
Memandang orang lain dengan kelebihannya serta memandang diri sendiri
dengan kekurangannya. Di antara nasehat Sulthan al-Auliya’ al-Syeh Abdul Qadir
al-Jilani kepada para muridnya adalah sbb. ”Jika engkau bertemu orang yang
berilmu (ulama), maka engkau harus merasa bahwa orang tersebut lebih baik dari
pada dirimu. Karena beliau beribadah didasarkan pada ilmu, sedangkan engkau
beribadah hanya ikut-ikutan tanpa ilmu. Jika engkau bertemu orang yang bodoh,
engkau harus merasa bahwa orang tersebut lebih baik dari pada dirimu. Dia
berbuat maksiat dan dosa karena kebodohannya. Sedangkan engkau sudah berilmu,
tapi masih berbuat maksiat dan dosa. Jika engkau bertemu orang yang lebih tua,
maka engkau harus merasa bahwa orang tersebut lebih baik dari pada dirimu. Karena
beliau sudah banyak amal ibadahnya, sedangkan engkau masih muda sehingga belum
banyak beribadah. Jika engkau bertemu orang yang lebih muda, maka engkau harus
merasa bahwa orang tersebut lebih baik dari pada dirimu. Karena dia masih muda
sehingga belum banyak dosanya, sedangkan engkau sudah tua sehingga sudah banyak
berbuat dosa dan maksiat.
d.
Menanamkan kesadaran dalam dirinya, bahwa sifat takabbur (sombong) dapat
menyebabkan penolakan terhadap kebenaran, bahkan penolakan terhadap perintah Allah
SWT. Iblis menolak perintah Allah untuk bersujud (menghormat) kepada Adam,
karena sifat sombong. Iblis yang diciptakan dari api merasa lebih baik dari pada
Adam yang diciptakan dari tanah. Akibatnya Allah SWT membencinya dan mengusirnya
dari surga. Sebagaimana difirmankan dalam surat
al-A’raf 12 – 13 :
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ ۖ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ(12)قَالَ فَاهْبِطْ مِنْهَا فَمَا يَكُوْنُ لَكَ اَنْ تَتَكَبَّرَ فِيْهَا فَاخْرُجْ اِنَّكَ مِنَ الصّٰغِرِيْنَ(13)
0Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu aku menyuruhmu?" Iblis menjawab "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah". Allah berfirman: "Turunlah kamu dari surge, karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya. Maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina".
8.
Hasad (Iri Hati atau Dengki) adalah sifat atau rasa tidak senang atas kenikmatan
yang diperoleh orang lain, baik berupa harta, jabatan, pangkat, kesehatan
maupun yang lain, kemudian dia ingin atau berusaha menghilangkan kenikmatan
tersebut dari orang lain tersebut, baik dengan maksud supaya kenikmatan itu
berpindah kepadanya atau tidak. Hasad adalah termasuk akhlak yang tercela (al-akhlaq
al-madzmumah), bahkan sangat berbahaya karena dapat mencelakakan orang
lain. Seseorang yang hasad kepada orang lain akan berusaha menghilangkan
kenikmatan yang diperoleh orang tersebut dengan berbagai cara, termasuk
mencelakakan bahkan membunuhnya.
Pada hakikatnya, seseorang yang bersifat hasad adalah orang yang kurang beriman karena dia
tidak rela terhadap kehendak dan ketentuan Allah SWT yang menganugerahkan
kenikmatan kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya. Oleh karena itu, untuk
meredam sifat hasad yang bersemayam dalam diri manusia, diperlukan
peningkatan dan penguatan iman sehingga dia menyadari bahwa kenikmatan adalah
anugerah dari Allah SWT yang diberikan kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya.
Perlu ditanamkan juga bahwa sifat hasad itu akan menggerogoti pahala
amal kebaikan, bagaikan api yang melahap kayu bakar.
AKHLAK KEPADA ALLAH SWT
Akhlak merupakan cermin dari apa yang ada di dalam jiwa
seseorang. Akhlak yang baik merupakan dorongan keimanan seseorang, karena
keimanan harus ditampilkan dalam perilaku nyata sehari-hari. Sebagaimana telah
disebutkan di atas, bahwa pada dasarnya konsep akhlak dalam Islam memiliki
cakupan yang sangat luas, karena akhlak berarti agama itu sendiri. Akhlak dalam
pengertian ini meliputi berbagai dimensi sbb. : (1). Akhlak manusia kepada
Allah SWT. (2). Akhlak manusia kepada diri sendiri. (3). Akhlak manusia kepada
pihak lain, baik kepada sesama manusia maupun alam sesemesta, termasuk flora
dan fauna yang ada di lingkungannya.
Akhlak manusia kepada Allah SWT bertitik tolak dari sebuah
keimanan (keyakinan, pengakuan dan kesadaran) bahwa tiada Tuhan selain Allah
SWT (لااله الا الله). Dia adalah Dzat Yang Memiliki sifat-sifat yang terpuji dan maha sempurna
(الصفات الكمالية), baik dalam bentuk sifat-sifat yang agung
(الجلال) maupun sifat-sifat yang indah الجمال)). Dia adalah
Dzat Yang Maha Pencipta, yang menciptakan alam semesta; langit dan bumi beserta
seluruh isinya. Dia-lah Dzat Yang Menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya. Sebagaimana difirmankan dalam surat al-Tin (95) ayat 4 :
لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”
Allah SWT telah menganugerahkan berbagai macam
ni’mat kepada manusia. Di antarnya adalah fisik yang indah dan sempurna. Dia
telah memberikan mata untuk memandang, lidah untuk berbicara, telinga untuk
mendengar, serta berbagai organ tubuh lain yang sangat kompleks di dalam diri manusia.
Dia juga telah memberikan berbagai macam daya rohaniah kepada manusia, baik dalam
bentuk ruh, akal, qalbu maupun nafsu. Dengan berbagai daya jasmani dan rohani
tersebut memungkinkan manusia berkemauan, berfikir, belajar dan melakukan
berbagai aktivitas yang sangat diperlukan dan sangat bermanfaat bagi
kehidupannya, baik di dunia maupun di akhirat. Allah SWT menganugerahkan berbagai potensi tersebut kepada manusia dimaksudkan agar mereka bersyukur kepada-Nya. Sebagaimana
difirmankan dalam surat Surat al-Nahl ayat 78 :
وَاللّٰهُ اَخْرَجَكُمْ مِّنْۢ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْـًٔاۙ وَّجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.
Kata-kata “agar kamu bersyukur” yang
disebutkan oleh Allah setelah Allah menjelaskan tentang penciptaan manusia
dengan segala kelengkapannya itu, dapat diartikan bahwa potensi jasmani (panca
indera) dan potensi rohani (hati sanubari dan naluri) tersebut harus
dipergunakan dengan baik untuk menuntut ilmu serta mengolah alam dan isinya.[5] Allah
SWT yang telah menganugerahkan berbagai macam tersebut sebagai bentuk kasih
sayang-Nya kepada manusia, tentu sangat mampu mncabutnya jika Dia marah karena
manusia tidak pandai bersyukur kepada-Nya.
Allah SWT adalah Dzat yang menghidupkan dan
mematikan manusia serta makhluk lainnya. Dia-lah Dzat yang menyediakan semua bahan
dan sarana kehidupan yang dibutuhkan oleh manusia, baik berupa udara,
tumbuh-tumbuhan, hewan, air, pakaian, maupun berbagai material yang diperlukan
untuk membangun rumah dsb. Semuanya diperuntukan bagi manusia dan tunduk kepada
kemauan mereka. Sebagaimana difirmankan dalam surat al-Jasiyah ayat 13 :
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَّا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا مِّنْهُ ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
“Dan Dia (Allah SWT) telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari pada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”.
Allah SWT juga telah memuliakan manusia dengan berbagai potensi jasmani
dan rohani di atas, serta menganugerahkan berbagai kelebihan dibanding makhluk
lainnya. Demikian juga Allah SWT telah memberikan berbagai alat transportasi di
daratan dan lautan sehingga memudahkan mereka mengangkut berbagai bahan
makanan, minuman, material bangunan serta berbagai benda yang diperlukan dalam
kehidupan sehari-hari dari satu tempat ke tempat lainnya. Sebagaimana telah
difirmankan dalam surat al-Isra’ ayat 70 :
۞ وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا ࣖ
“Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam (manusia), dan Kami (memudahkan bagi mereka) pengangkutan-pengangkutan mereka di daratan dan di lautan (untuk memperoleh penghidupan). Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.
Berhubung Allah SWT telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
terbaik, lengkap dengan berbagai potensi jasmani dan rohani yang sangat
diperlukan dalam hidupnya; menganugerahkan berbagai kelebihan dibanding makhluk
lainnya; menjamin semua kebutuhan dan rizkinya, maka manusia wajib berakhlak
yang baik kepada Allah SWT dengan beriman dan bertaqwa kepada-Nya.
Pengertian taqwa adalah menjaga diri dari
perbuatan dosa dengan melaksanakan semua perintah Allah dan meninggalkan
larangan-larangan-Nya (التقوى هو امتثال
اوامر الله واجتناب نواهيه). Menurut Muhammad Usman Najati, pengertian taqwa
adalah; "Menjaga diri dari amarah dan adzab Allah dengan menjauhi
perbuatan maksiat dan melaksanakan tata aturan yang telah digariskan al-Qur'an
dan dijelaskan Rasulullah SAW." Dengan
kata lain, taqwa adalah melaksanakan perintah-perintah Allah dan
menjauhi larangan-larangan-Nya.[6]
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat
disimpulkan, bahwa essensi taqwa adalah pemeliharaan, penguasaan dan
pengendalian diri dari nafsu-nafsu jahat (nafsu ammarah) yang bersemayam
dalam diri manusia sehingga ia bersedia melaksanakan perintah-perintah Allah
dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Dengan demikian, al-muttaqin adalah
orang-orang yang melaksanakan nilai-nilai baik dan menjauhi nilai-nilai buruk.
Seperti suka menolong, menahan amarah, suka memberi maaf kepada orang lain,
menepati janji, sabar, suka kepada kebaikan dan kebenaran, benci kepada
kejahatan dan kebohongan, dan sebagainya. Sebaliknya, orang-orang yang tidak taqwa
adalah orang-orang yang suka berbuat buruk, berdusta, bersikap dlalim, amoral
dan sebagainya.
Bentuk kongkret akhlak manusia kepada Allah
SWT, terutama bagi para santri, kyai (guru) dan wali santri adalah sbb. :
1.
Beriman kepada Allah SWT dengan meyakini, mengakui dan menyadari bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Keimanan ini
diekspressikan dalam bentuk mengucapkan dua kalimat syahadat (اشهد ان لااله الا الله واشهد ان محمدا رسول الله) yang selalu
diulang-ulang dalam shalat, ketika membaca tahiyyat awal dan akhir.
2.
Beriman kepada kitab suci al-Qur’an dengan meyakini, mengakui dan menyadari bahwa
kitab suci al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang diwahyukan kepada Rasulullah
SAW yang berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia sepanjang masa agar meraih
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
3.
Meyakini
bahwa pada hakikatnya, kebaikan adalah sesuatu yang dipihkan oleh Allah SWT
kepada kita, bukan sesuatu yang kita pilih untuk diri kita. Oleh karena itu,
janganlah hawa nafsu dan syahwat kita menghalang-halangi untuk taat dan
berbakti kepada Allah SWT.[7]
4.
Beribadah
kepada-Nya, karena tujuan Allah SWT dalam menciptaan manusia adalah agar mereka
mengabdi dan beribadah kepada-Nya. Sebagaimana difirmankan dalam surat
al-Dzariyat (51) ayat 56 :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”
Beribadah
kepada Allah SWT tidak terbatas dalam bentuk melaksanakan shalat, puasa, membayar zakat
dan menunaikan ibadah haji. Akan tetapi pengertian ibadah sangat luas sekali, meliputi
seluruh ucapan, perbuatan dan pikiran yang baik yang sesuai dengan petunjuk
al-Qur’an dan al-Sunnah, baik dalam bentuk ibadah mahdlah, ibadah
social, bermu’amalah (berinteraksi) dengan sesama manusia dan makhluk
lainnya dengan cara yang baik, maupun dalam bentuk melangsungkan pernikahan dan
membangun keluarga sakinah mawaddah wa rahmah dengan niat melaksanakan
perintah Allah SWT dan mengikuti sunnah Rasulullah SAW dsb. Sungguh pun demikian,
akhlak para santri kepada Allah SWT yang paling utama adalah diekspessikan
dalam bentuk sbb. :
a). Melaksanakan shalat fardlu tepat waktu secara berjamaah di dalam
masjid dengan khusyu’ dan tadlarru’. Karena melaksanakan shalat
dengan berjamaah lebih utama dari pada shalat sendirian dengan kelipatan pahala
mencapai 27 (dua puluh tujuh) kali. Sebagaimana telah disabdakan oleh
Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Imam Muslim dari sahabat Abdullah bin Umar:
صَلاَةُ
الْجَماَعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً
(مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
"Shalat berjamaah lebih utama dari pada shalat sendirian, dengan
kelipatan pahala dua puluh tujuh derajat".[8]
Demikian juaga sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sahabat Abu Hurairah :
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ
فَيُحْتَطَبُ ثُمَّ آمُرَ باِلصَّلاَةِ فَيُؤْذَنُ لَهاَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً
فَيَؤُمَّ النَّاسَ ثُمَّ اُخاَلِفَ إِلىَ رِجاَلٍ فَأُحْرِقَ عَلَيْهِمْ
بُيُوْتَهُمْ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
"Demi Allah yang menguasai diriku, sungguh aku telah berniat
menyuruh seseorang untuk mengumpulkan kayu bakar (untuk membakar rumah
orang-orang mukmin yang tidak mau melaksanakan shalat berjamaah). Kemudian aku
menyuruh seseorang untuk mengumandangkan adzan dan menjadi imam shalat. Setelah
itu aku akan melakukan inspeksi ke rumah orang-orang pria dan membakar rumah
mereka (yang tidak melaksanakan shalat berjamaah)".[9]
b. Melaksanakan ibadah puasa pada
bulan suci Ramadlan. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Baqarah (2) ayat 183 :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
c. Memperbanyak ibadah sunnah
seperti shalat rawatib (qobliyah & ba’diyah), shalat tahajjud, shalat
dhuha, puasa pada hari Senin dan Kamis, puasa pada hari-hari terang bulan (ayyam
al-bid, setiap tanggal 13&14 bulan Qomariyah). Di antara hikmah dan manfaat melaksanakan berbagai ibadah
sunnah tersebut adalah sbb. (1). Menambah pahala (2). Menambal ibadah fardlu yang
masih kurang atau tertinggal (3). Semakin mendekatkan diri para santri kepada
Allah SWT sehingga lebih mudah meraih cinta-Nya (4). Meraih ilmu ladunny
yang langsung dianugerahkan oleh Allah SWT kepada para santri. (5). Meraih derajat sebagai wali (kekasih)
Allah SWT. Sebagaimana telah disabdakan
oleh Nabi Muhammad SAW.
dalam hadis qudsi yang
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari sahabat Abu Hurairah RA. :
صحيح البخاري - (ج 20 / ص
158)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ
آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ
مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ
بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي
يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا
وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا
"Barangsiapa menyakiti wali-Ku, maka ia benar-benar
menyatakan peperangan dengan-Ku. Tidak ada yang lebih mendekatkan seorang hamba
kepada-Ku yang sebanding dengan menunaikan semua kewajiban yang Kuperintahkan
dan senantiasa mendekati-Ku dengan perbuatan-perbuatan sunnah hingga Aku
mencintainya. Dan jika Aku telah mencintainya, maka aku menjadi pendengaran,
penglihatan, lidah, hati, tangan, dan kakinya. Ia mendengar melalui Aku, ia
melihat melalui Aku, ia berbicara melalui Aku, dan berjalan melalui Aku".[10]
d. Memperbanyak membaca al-Qur’an. Di antara hikmah
dan manfaat membaca ayat-ayat suci al-Qur’an adalah mendekatkan diri kita
kepada Allah SWT sehingga hati kita akan merasa tenang dan terhindar dari
kegelisahan; terbukanya hati dan pikiran sehingga memudahkan untuk meraih imu
yang bermanfaat; membuka pintu-pintu rizki yang halal sehingga insya Allah
semua kebutuhan hidup terpenuhi; menambah pahala, karena membaca al-Qur’an
merupakan salah satu bentuk amal sholeh; serta menjadikan al-Qur’an sebagai
syafa’at (penolong) pada hari kiamat. Sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam hadits shahih yang diriwayatkan Imam Muslim dari sahabat Abu Umamah
RA. :
اقرؤا القران فانه يأتي يوم القيامة شفيعا لأصحابه
“Bacalah al-Qur’an, karena sesungguhnya al-Qur’an akan datang
pada hari kiamat untuk memberi syafa’at (pertolongan) kepada orang-orang yang
membaca (dan yang mengamalkannya)”.[11]
Demikian juga sabda Rasulullah SAW dalam
hadits shahih yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dari sahabat Utsman ibn ‘Affan
RA. :
خيركم من تعلم
القران وعلمه
“Sebaik-baik
kalian adalah orang yang belajar dan mengajar al-Qur’an”[12]
e. Memperbanyak berdzikir dan berdoa kepada Allah SWT. Kata Dzikir, berasal dari
bahasa Arab : ذَكَرَ -
يَذْكُرُ - ذِكْرًا yang berarti; mengingat sesuatu di dalam
hati atau menyebutnya dengan lidah.[13] Dengan demikian, kata الذكر memiliki persamaan arti dengan kata الحفظ
yang berarti mengingat atau menghafal. Hanya saja, kata الحفظ berkonotasi menyimpan ingatan, sedangkan kata
الذكر berkonotasi mengungkapkan
atau menghadirkan ingatan. Menurut
al-Raghib al-Asfahani, kata dzikir
terkadang diartikan sebagai "suatu keadaan jiwa yang dengan keadaan
tersebut memungkinkan bagi manusia untuk mengingat-ingat pengetahuan yang telah
dimilikinya"; dan terkadang diartikan sebagai "hadirnya sesuatu di
dalam hati atau ucapan".[14] Sedangkan pengertian "Dzikr" adalah menyebut Allah atau
mengingat kebesaran dan keagungan-Nya atau mensyukuri segala ni'mat-Nya dengan
penuh kesadaran disertai pengakuan terhadap kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya
serta berjanji akan mematuhi segenap perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.[15] Sedangkan berdoa artinya memohon sesuatu
kepada Allah SWT.
Para santri, kyai (guru) dan wali santri
sangat dianjurkan untuk membanyak berdzikir dan berdoa kepada Allah SWT agar
selalu diingat oleh Allah SWT sehingga diberikan berbagai kemudahan dalam
hidup, terutama dalam meraih ilmu yang bermanfaat di dunia dan di akhirat.
Sebagaimana difirmankan dalam surat al-Baqarah ayat 152 :
فَاذْكُرُوْنِيْٓ اَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا لِيْ وَلَا تَكْفُرُوْنِ ࣖ
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula)
kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari
(nikmat)-Ku.
Demikian juga firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 186 :
وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ
“Dan
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa
apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran”.
5.
Menjauhi berbagai macam perbuatan maksiat atau dosa, seperti mencuri, berzina,
mengkonsumsi minuman keras dan narkoba. Berbagai perbuatan maksiat atau dosa tersebut
menimbulkan murka-Nya dan menjauhkan pelakunya dari rahmat-Nya, sehingga menyebabkan
hatinya gelap gulita dan tidak mampu menangkap ilmu dari-Nya, karena ilmu
adalah cahaya Allah yang tidak akan diberikan kepada orang yang durhaka
kepada-Nya. Sebagaimana telah difirmankan
al-Muthaffifin ayat 14 :
كَلَّا بَلْ ۜرَانَ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ مَّا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
“Sekali-kali tidak (demikian). Sebenarnya apa yang selalu mereka
usahakan itu menutupi hati mereka”.
Demikian juga ucapan Imam Syafi’i
yang sangat terkenal di kalangan para santri pondok pesantren salafiyah :
شكوت الى
وكيع سوء حفظي : فأرشد ني الى ترك المعاصي
وأخبرني بأن
العلم نور : ونور الله لا يعطى لعاصي
”(Suatu ketika) aku mengeluhkan keburukan hafalanku
kepada guruku, Syeh Waki’. Kemudian beliau memberikan petunjuk kepadaku agar
aku meninggalkan perbuatan maksiat. Beliau juga menginformasikan kepadaku,
bahwa ilmu adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang
yang suka berbuat maksiat”.
6.
Ikhlas,
baik dalam melaksanakan ibadah mahdlah kepada Allah SWT maupun dalam
membantu sesama umat manusia (kerja sosial). Karena ikhlas merupakan syarat mutlak diterimanya suatu
ibadah atau amal perbuatan seseorang. Sebagaimana telah dijelaskan oleh hadits
shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari sahabat Umar Ibn
Khatab :
إنما اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا
لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ
فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا
يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.
“Sesungguhnya
setiap amal perbuatan itu (akan dibalas oleh Allah SWT) sesuai dengan niat, dan
setiap manusia akan memperoleh balasan amal perbuatan sesuai dengan niatnya
masing-masing. Barangsiapa berhijrah (dari Makkah ke Madinah) semata-mata
bertujuan untuk mencari ridha Allah dan Rasul-Nya, maka akan diterima (sebagai
amal ibadah kepada Allah dan Rasul). Tetapi barangsiapa berhijrah semata-mata
untuk memperoleh harta atau menikahi wanita, maka ia tidak memperoleh pahala
apa-apa (karena hijrahnya tidak bernilai ibadah)”.
7. Syukur dalam memperoleh anugerah nikmat dari Allah
SWT. Umat Islam,
khususnya para santri wajib bersyukur atas
nikmat yang dianugerahkan oleh Allah SWT. Seorang
hamba yang
tidak
pandai
bersyukur,
alias mengkufuri nikmat, sejatinya adalah orang-orang sombong yang pantas dimasukkan ke dalam api neraka,
karena Allah SWT telah
memerintahkan para hambaNya
untuk mengingat-Nya dan
bersyukur atas nikmat-nikmatNya. Sebagaimana difirmankan dalam
surat al-Baqarah ayat 152 :
فَاذْكُرُوْنِيْٓ اَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا لِيْ وَلَا تَكْفُرُوْنِ ࣖ
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku
ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu
mengingkari (nikmat)-Ku.
Prof. Dr. Syaih Mohammad Ali Ash-Shabuni dalam menafsirkan ayat di atas menyatakan; “Ingatlah
kalian kepada-Ku dengan ibadah
dan taat, niscaya
Aku akan mengingat kalian dengan cara
memberi pahala dan ampunan. Sedangkan
maksud firman Allah SWT,” bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku”,
bermakna: “Bersyukurlah kalian atas nikmat-nikmat yang telah Aku berikan
kepadamu dan jangan mengingkarinya dengan melakukan dosa dan maksiyat.
Berdasarkan ayat di atas,
mak bersyukur atas
nikmat Allah merupakan
kewajiban setiap muslim. Namun, seorang
muslim harus memahami
bagaimana cara merefleksikan rasa syukur secara benar. Betapa banyak orang
merefleksikan rasa syukurnya dengan cara-cara yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip syukur itu sendiri. Misalnya, ada orang yang mewujudkan rasa syukurnya dengan
cara mabuk-mabukkan, pesta pora, pergi ke tempat-tempat maksiyat,
bernyanyi-nyanyi hingga melupakan kewajibannya, dan seterusnya.
Adapula yang merefleksikan rasa syukurnya dengan
cara menyediakan sesaji dan persembahan kepada pohon
dan tempat-tempat keramat. Refleksi
syukur seperti ini jelas-jelas bertentangan dengan prinsip Islam.
Imam Ibnu Katsir menyatakan bahwa syukur harus direfleksikan dengan cara
beribadah dan memupuk ketaatan kepada Allah SWT serta meninggalkan perbuatan maksiyat. Pendapat senada juga dikemukakan oleh
Imam ‘Ali Al-Shabuni. Ibadah dan taat kepada Allah SWT serta meninggalkan larangan-larangan-Nya
adalah perwujudan rasa syukur
yang sebenarnya. Seseorang yang selalu taat kepada Allah SWT
dengan menjalankan seluruh aturan-aturanNya dan sunnah Nabinya
pada hakekatnya adalah orang-orang yang senantiasa bersyukur kepada-Ny. Sebaliknya, orang
yang menolak melaksanakan syari’at
Islam, adalah termasuk orang-orang yang ingkar terhadap
nikmat yang dianugerahkan Allah kepadanya.
8.
Sabar ketika tertimpa musibah (cobaan/ujian). Secara literal, sabar adalah habsu al-nafs ‘an al-jaza’
(menahan diri dari keluh kesah (ketidak sabaran).[16] Setiap orang
pasti akan diuji oleh Allah SWT dengan berbagai macam ujian. Sebagaimana telah
difirmankan dalam surat al-Baqarah ayat 155 – 156 :
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ(155)اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ ۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ(156)
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah
berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila
ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi
raaji'uun"
Apabila seseorang mampu menahan diri dari keluh kesah, kegelisahan,
dan kegundahan akibat berbagai macam ujian dan cobaan, maka ia tergolong
orang-orang yang sabar. Sebaliknya, tatkala
seseorang suka mengeluh,
mengaduh, dan selalu merasa
jengah serta khawatir atas berbagai
macam musibah, maka ia
bukanlah termasuk bagian orang-orang yang sabar. Jamaluddin al-Qasimi menyatakan, “Barangsiapa yang tetap tegak bertahan
sehingga dapat menundukkan hawa nafsunya secara terus-menerus, orang tersebut termasuk golongan orang yang sabar.”[Al-Qasimi, Mau’idlaat al- Mukminiiin].
Kesabaran merupakan perhiasan hati yang sangat agung dan mulia.
Kesabaran akan menjadikan seseorang bersifat qana’ah,
mulia dan dihormati oleh siapapun. Selain itu, kesabaran juga merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh seseorang agar mendapatkan keberhasilan dan kemenangan. Sebaliknya, sifat tergesa-gesa, gelisah dan berlebihan
akan menjatuhkan seseorang ke dalam kegagalan dan kemurkaan Allah SWT. Sebagaimana difirmankan dalam surat Hud ayat 115 :
وَاصْبِرْ فَاِنَّ اللّٰهَ لَا يُضِيْعُ اَجْرَ الْمُحْسِنِيْنَ
“Dan
bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang
yang berbuat baik”.
Demikian juga
firman-Nya dalam surat Ali Imran ayat 200 :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اصْبِرُوْا وَصَابِرُوْا وَرَابِطُوْاۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ࣖ
“Hai orang-orang yang beriman, berlakulah
sabar dan perkuat kesabaran diantara sesama kalian, dan bersiagalah
kalian serta bertaqwalah
kepada Allah, supaya kalian memperoleh kemenangan.”[Ali Imran:200]
Kesabaran yang dimaksud pada ayat di
atas adalah kesabaran dalam menghadapi segala bentuk kesulitan dan
penderitaan tatkala menjalankan perintah Allah SWT. Kesabaran dalam menunut ilmu
harus diwujudkan dengan cara menjalankan seluruh proses, dimulai dengan niat
yang ikhlas, semangat yang kuat, kemudian mempersiapkan strategi belajar yang
tepat, melengkapi diri dengan berbagai sarana dan prasarana yang memadai, serta
mentaati instruksi-instruksi para
pendidik. Selanjutnya, ia menyerahkan hasilnya kepada Allah SWT.
Kesabaran dalam bekerja harus direfleksikan dengan cara mengorganisasikan segala sesuatu yang bisa menunjang keberhasilan pekerjaannya.
Ia mempersiapkan seluruh potensi dirinya untuk meraih rizki yang halal, dan berserah diri kepada Allah atas semua hasil yang
diterimanya. Kesabaran dalam
berdakwah harus diwujudkan
dengan cara berjalan sesuai
dengan manhaj dakwah
Rasulullah SAW
walaupun jalan itu terasa sulit, panjang, berliku
dan
penuh
dengan
cobaan
dan
musibah. Selanjutnya, ia membuat rencana-rencana program yang terarah,
realistis, dan jelas. Seorang da’i juga harus kreatif dalam menciptakan uslub-uslub yang sesuai dengan kondisi dan fakta yang ada, yang
secara logis akan mengantarkan kepada
keberhasilan. Ia juga selalu mencari dan menciptakan cara-cara baru yang bisa mempermudah akses dakwahnya di
tengah-tengah masyarakat. Atas dasar itu, kesabaran harus diwujudkan dengan
cara mempersiapkan diri menghadapi segala macam kesulitan dan derita dalam
menjalankan seluruh perintah Allah swt.
Secara umum, kesabaran dibagi menjadi 2 (dua) macam. Pertama, kesabaran
dalam menghadapi cobaan yang bersifat fisik. Kedua, kesabaran dalam menghadapi cobaan yang bersifat
non fisik. Kesabaran dalam menghadapi
cobaan yang bersifat fisik adalah tabah dalam memikul tugas-tugas yang berat, tabah dalam menghadapi kemiskinan, cacat, atau menderita rasa sakit (akibat penyakit maupun
siksaan).
Kesabaran dalam
menghadapi cobaan yang bersifat non fisik terbagi menjadi beberapa hal. Di
antaranya adalah sbb. :
a.
Sabar
dalam menahan hawa nafsu dan kecenderungan seksual. Kesabaran semacam ini disebut dengan ‘iffah.’
b.
Sabar dalam
menghadapi musibah, kesulitan, dan bencana tanpa ada keluh kesah, mengumpat, rasa kesal dan sebagainya. Kesabaran semacam ini sering dianggap sebagai bentuk kesabaran secara umum.
c.
Sabar dalam
bentuk menahan diri dari kehidupan mewah pada waktu sedang kaya.
d.
Sabar dalam
bentuk menahan diri dari sifat pengecut di medan peperangan
yang dalam akhlak Islam disebut syaja’ah (keberanian),. Lawan kata dari sifat syaja’ah adalah al-jubun
(pengecut).
e.
Sabar dalam
bentuk menahan diri dari marah dalam menghadapi musuh atau orang yang berbeda
pendapat, yang disebut tasamuh (toleran).
f.
Sabar dalam
bentuk menahan diri untuk tidak menyampaikan suatu ‘aib atau rahasia –baik rahasia diri sendiri, orang lain dan negara-- kepada pihak lain, yang disebut kitman al-sirr.
g.
Sabar dalam
bentuk menahan diri dari kenikmatan dan kesenangan dunia untuk memperoleh
kesenangan akherat, yang disebut zuhud.
h.
Sabar dalam
bentuk menahan diri dari pola hidup
yang berlebih-lebihan (berfoya-foya),
dan merasa puas dengan kehidupan yang sederhana sesuai dengan kemampuan, yang disebut qana’ah.
9.
Tawakkal. Ditinjau dari
segi bahasa, kata tawakkal berasal dari kata wakkala –
yawakkilu – taukiilan – wa tawakkalan (وكل – يوكل – توكيلا - وتوكلا) yang berarti mewakilkan. Sedangkan pengertian tawakkal
dalam ajaran agama Islam adalah; “Menyerahkan semua kejadian yang telah, sedang
dan akan terjadi pada diri kita kepada Allah SWT, karena yakin dan percaya
bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Mencipta dan Mengatur hidup dan mati manusia
dengan penuh hikmah, kebijaksanaan dan kasih saying. Sikap tawakkal ini
dilakukan sesudah melakukan usaha secara
maksimal”.
Definisi di atas menunjukkan, bahwa bertawakkal kepada Allah SWT bukan berarti bersikap pasif dan apatis tanpa
melakukan sesuatu usaha dan aktivitas apapun, melainkan tetap berusaha secara maksimal dan bekerja
dengan baik, tetapi menyerahkan hasilnya kepada Allah SWT. Dengan
demikian tidak benar asumsi sementara orang yang menyatakan, bahwa sikap tawakkal telah menjadikan
umat Islam malas belajar, bekerja dan berusaha, sehingga mereka mengalami
kebodohan kemiskinan dan keterbelakangan.
Jika ada sebagian masyarakat yang memahami
sikap tawakkal adalah menyerahkan semua persoalan kepada Allah SWT.
tanpa melakukan usaha sama sekali, maka perlu diluruskan, karena pemahaman tersebut sama sekali tidak benar dan bertentangan
dengan ajaran agama Islam yang memerintahkan pemeluknya bersungguh-sunggguh memperjuangkan
tegaknya ajaran agama Islam yang dikenal dengan istilah jihad (الجهاد); bersungguh-bersungguh dalam menggali dan mengembangkan ilmu
pengetahun dengan rajin belajar, melakukan penelitian dan analisa yang dikenal
dengan istilah ijtihad (الاجتهاد); serta berusaha dan bekerja keras untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT yang dikenal dengan istilah mujahadah (المجاهدة); Ketiga istilah tersebut berasal dari akar kata yang sama
yakni al-juhdu (الجهد); yang
berarti usaha dengan sungguh-sungguh. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat
al-Ankabut ayat 69 :
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ ࣖ
“Dan
orang-orang yang bersungguh-sungguh (mencari keridhaan) Kami, pasti (benar-
benar) akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan sesungguhnya
Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.
Jangankan mencari ilmu yang sulit, hal-hal yang mudah saja
tidak akan berhasil jika tidak diusahakan dan dikerjakan. Sebagai contoh, nasi
dan lauk pauk yang sudah dihidangkan di meja makan, tidak akan menghilangkan
rasa lapar jika tidak dimakannya. Air mineral yang sudah
dihidangkan di atas meja, tidak akan menghilangkan rasa haus dan dahaga jika
tidak diminumnya. Oleh karena itu Allah SWT memerintahkan semua manusia untuk mencari rizki di muka bumi ini,
tidak boleh berpangku tangan. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Jum’ah ayat 10 :
فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى الْاَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ وَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Apabila
telah selesai menunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah
karunia (rizki) Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya, supaya kamu
beruntung”.
Demikian juga Rasulullah memerintahkan umatnya yang sakit untuk
berobat agar sembuh dari sakitnya. Jika sudah berobat ternyata tidak tertolong
dan akhinya meninggal dunia, maka harus menerima kenyataan dengan penuh keimanan
bahwa Allah SWT. telah mentakdirkan kematiannya pada saat itu. Akan tetapi tidak
boleh membiarkannya tanpa berobat dengan alasan tawakkal kepada Allah.
Sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh imam Ahmad bin Hambal, al-Hakim dkk dari sahabat Usamah
sebagai berikut:
تداووا
يا عباد الله فإن الله لم يضع داء الا وضع له دواء الا الهرم
“Berobatlah
kamu sekalian wahai para hamba Allah, karena sesungguhnya Allah tidak
menurunkan penyakit, melainkan pasti menyediakan obatnya, kecuali satu penyakit
yakni penyakit pikun”.
Demikian juga Rasulullah saw memerintahkan umatnya untuk menyimpan
harta benda di tempat yang aman serta menjaganya dari kerusakan dan pencurian.
Oleh karena itu beliau memarahi seorang sahabat yang meninggalkan ontanya di
tengah jalan tanpa diikat, dengan alasan bertawakkal kepada Allah. Kemudian beliau memerintahkan sahabat
tersebut untuk mengikat ontanya, sesudah itu baru bertawakkal kepada Allah swt.
Seluruh ajaran agama Islam yang
bersumber dari Al-Qur'an dan al-Hadits, baik yang berupa perintah dan anjuran
maupun yang berupa larangan untuk mengerjakan sesuatu, pasti mengandung dampak
positif serta menghindarkan dampak negatif bagi pelakunya serta bagi orang
lain, baik di dunia maupun di akherat. Tawakkal sebagai salah satu ajaran Islam
yang diperintahkan oleh Allah SWT. kepada para hamba-Nya yang beriman pasti
mengandung dampak positif serta menghindarkan dampak negatif.
Di antara dampak positif tawakkal
adalah sbb. :
a.
Meningkatkan keimanan kepada Allah
SWT. Dengan bertawakkal kepada Allah serta menyerahkan persoalan dan
permasalahan yang kita hadapi kepada-Nya, maka berarti kita yakin dan percaya
bahwa Allah SWT adalah Dzat yang berkuasa untuk memberikan keputusan yang
terbaik kepada kita dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Allah SWT adalah
Dzat yang mencipta dan mengatur hidup serta mati manusia dengan penuh hikmah, kebijaksanaan
dan kasih sayang. Sebaliknya, jika kita tadak bertawakkal, maka berarti kita
tidak atau kurang beriman kepada-Nya. Karena salah satu ciri orang yang
benar-benar beiman adalah orang yang bertawakkal kepada Allah SWT. Sebagaimana
telah difirmankan dalam surat al-Anfal ayat 2 :
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اٰيٰتُهٗ زَادَتْهُمْ اِيْمَانًا وَّعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَۙ
“Sesungguhnya
orang-orang yang benar-benar beriman ialah; mereka yang apabila disebutkan
sifat-sifat Allah, maka gemetarlah hati mereka, apabila dibacakan kepada mereka
ayat-ayat-Nya, maka bertambahlah iman mereka, dan kepada Allah-lah mereka
bertawakkal”.
Bahkan
Allah SWT. telah menjadikan tawakkal sebagai salah satu syarat beriman
kepada-Nya. Dengan demikian seseorang yang mengaku beriman tetapi tidak bertawakkal,
maka pada hakekatnya ia belum beriman, karena tawakkal merupakan salah satu
konsekuensi logis dari keimanan kita kepada AllahSWT. Sebagaimana telah
difirmankan dalam surat al-Maidah ayat 23 :
قَالَ رَجُلَانِ مِنَ الَّذِيْنَ يَخَافُوْنَ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوْا عَلَيْهِمُ الْبَابَۚ فَاِذَا دَخَلْتُمُوْهُ فَاِنَّكُمْ غٰلِبُوْنَ ەۙ وَعَلَى اللّٰهِ فَتَوَكَّلُوْٓا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ
“Dan hanya
kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang
beriman”.
b.
Menumbuh-kembangkan jiwa pemberani
dan optimism. Seseorang yang bertawakkal kepada Allah SWT, maka dapat dipastikan
bahwa ia adalah seorang pemberani. Ia berani memperjuangkan kebenaran, karena tidak
merasa takut terancam kedudukannya atau menghadapi kesulitan hidup. Ia juga
tidak takut mati, jika harus berperang melawan musuh-musuh Islam, karena yakin
bahwa kematiannya tidak ditentukan oleh peperangan dan perjuangan, tetapi
semata-mata ditetapkan oleh Allah SWT. Sekalipun berada dalam benteng yang
dikelillingi pagar besi baja, kalau sudah tiba masa kematiannya, maka seseorang
tidak akan mampu menghindarinya. Sebaliknya, walaupun seseorang ikut berperang
atau naik pesawat terbang yang mengalami kecelakaan, kalau belum tiba masa
kematiannya, maka ia tidak akan mati. Oleh karena itu sebagai orang yang
beriman kita harus bertawakkal kepada Allah sehingga kita mempunyai keberanian
untuk memperjuangkan kebenaran, tanpa dibayang-bayangi rasa takut mati,
terancam kedudukan serta kesulitan hidup. Karena kita yakin bahwa nasib kita tidak
berada di tangan atasan kita dan musuh-musuh kebenaran, tatapi semata-mata berada
dalam kekuasaan Allah SWT. Sepanjang kita beriman dan bertawakkal kepada-Nya,
maka tidak perlu ada yang ditakutkan. Karena Allah telah berjanji akan
memberikan kecukupan dalam segala hal kepada orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Thalak ayat 3 :
وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗ ۗاِنَّ اللّٰهَ بَالِغُ اَمْرِهٖۗ قَدْ جَعَلَ اللّٰهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
“Barang
siapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Allah akan mencukupi semua kebutuhannya”.
c. Memberikan
ketenaangan batin. Jika seseorang sudah berusaha semaksimal mungkin, bekerja secara
profesional, kemudian bertawakkal dan menyerahkan hasilnya kepada Allah SWT.,
maka batinnya akan selalu tenang dan tenteram. Demikian juga jika seseorang
telah menyimpan hartanya di tempat yang aman serta menjaganya dari kerusakan
dan pencurian, kemudian ia bertawakkal kepada Allah, maka batinnya akan selalu
tenang dan tenteram. Karena ia yakin dan percaya bahwa Allah akan menjaganya
dan memberikan sesuatu yang terbaik, bermanfaat dan penuh hikmah kepadanya.
Sebagaimana janji Allah dalam surat al-Ahdzab ayat 3 :
وَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗوَكَفٰى بِاللّٰهِ وَكِيْلًا
“Bertawakkal-lah kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai wakil”.
d. Menghilangkan
stress dan frustasi. Dengan selalu bertawakkal kepada Allah, maka seseorang yang gagal
dalam mencapai cita-cita dan keinginannya, seperti gagal dalam bercinta, gagal
dalam memperoleh kejujuran, gagal dalam menduduki suatu jabatan, gagal dalam
berbisnis dan sebagainya, atau kehilangan sesuatu yang disenanginya, atau
ditinggal mati oleh seseorang yang sangat dicintai, atau tertimpa musibah yang
lain, maka ia tidak akan stress dan frustasi. Karena ia yakin bahwa semua yang
terjadi adalah atas kehendak Allah SWT yang pasti banyak hikmah dan manfaatnya.
Sebaliknya jika ia sukses dalam mencapai sesuatu, ia tidak akan sombong dan
lupa diri, karena menyadari bahwa walaupun memiliki kecerdasan yang tinggi,
menguasai sains dan teknologi, mampu memprediksi segala sesuatu yang akan
terjadi, tapi tanpa pertolongan Allah SWT. semuanya itu tidak akan mempunyai
arti apa-apa. Oleh karena itu semua orang mukmin harus bertawakkal kepada Allah
SWT. dengan menghayati dan mengamalkan makna Kalimat Hauqalah (LA HAULA
WALA KUWWATA ILLA BILLAH AL-‘ALIYYI AL-ADZIM) yang berarti tiada daya untuk
melakukan sesuatu kebaikan, dan tiada kekuatan untuk menghindari kejahatan,
kecuali dengan pertolongan Allah Dzat Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Dengan tawakkal
tersebut maka seseorang tidak akan frustasi karena gagal dalam mencapai
sesuatu, serta tidak akan sombong jika sukses dalam meraih prestasi.
Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Hadid ayat 23 :
لِّكَيْلَا تَأْسَوْا عَلٰى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوْا بِمَآ اٰتٰىكُمْ ۗوَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۙ
“(Kami jelaskan
yang demikian itu) supaya kamu jangan frustasi (berduka cita) dalam menghadapi
kegagalan, serta jangan lupa diri (terlalu gembira) dalam menghadapi kesuksesan
yang diberikan oleh Allah kepadamu. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong lagi membanggakan diri”.
e. Menumbuh-kembangkan
sifat dermawan. Seseorang yang benar-benar bertawakkal kepada Allah SWT
pasti bersifat dermawan. Karena ia tidak akan takut kekurangan rizki. Ia yakin
dengan sepenuh hati, bahwa Allah tidak akan menelantarkannya. Allah akan selalu
memberikan rizki yang cukup untuk diri dan keluarganya. Allah akan mengganti
setiap harta yang disedekahkan kepada para fakir miskin dan atau untuk
kepentingan perjuangan agama Islam, dengan balasan yang berlipat ganda, baik di
dunia maupun di akherat. Oleh karena itu jika seorang mukmin bersifat pelit
hingga tidak mau bersedekah dan bahkan tidak mau membayar zakat karena takut
jatuh miskin, maka pada hakekatnya ia tidak (belum) bertawakkal kepada
Allah SWT. Jika ia bertawakkal pasti tidak akan pelit karena yakin bahwa
Allah akan menjamin hidupnya dan mengganti sedekahnya dengan balasan yang
berlipat ganda. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Baqarah ayat 261 :
مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
“Perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah, adalah serupa dengan sebutir benih yang meumbuhkan tujuh bulir, pada
tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa saja
yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
Sebaliknya,
seseorang yang tidak atau kurang bertawakkal kepada Allah SWT pasti akan
merasakan dampak negatif. Antara lain adalah sbb. :
a.
Berjiwa kerdil dan penakut. Seorang
yang tidak bertawakkal kepada Allah SWT akan berjiwa kerdil dan penakut. Oleh
karena itu, ia tidak berani memperjuangkan kebenaran karena takut menghadapi
kesulitan hidup. Tidak berani berkompetinsi secara sportif karena takut kalah.
Tidak berani berdagang karena takut rugi dan sebagainya.
b.
Suka meminta bantuan kepada dukun. Sebagai
akibat dari jiwa kerdil dan penakut, maka seseorang tidak memiliki rasa percaya
diri. Akibatnya bisa terjemurus pada praktek perdukunan atau mendatangi dukun
serta meminta bantuan kepada jin dan setan utnuk menghadapi berbagai problem
kehidupan. Padahal mendatangi dukun yang meminta bantuan kepada jin dan setan
adalah haram karena dapat menjerumuskan kepada kemusyrikan.
c.
Bersifat hasad (iri hati/dengki). Jika
seseorang tidak bertawakkal dan menyerahkan semua kejadian kepada Allah SWT,
maka ia akan mudah terserang penyakit hasad ketika melihat orang lain
yang dianggap rivalnya memperoleh kesuksesan. Sehingga ia melakukan sesuatu
yang dapat merugikan rival tersebut.
d.
Bersikap takabbur dan mudah frustasi.
Jika seseorang yang tidak bertawakkal kepada Allah SWT. meraih
sukses, maka akan bersikap sombong (takabbur) dan lupa diri, karena
merasa bahwa kesuksesan tersebut semata-mata karena kehebatan dirinya.
Sebaliknya jika gagal, ia akan mudah frustasi. Sebagai pelariannya ia akan
terjerumus mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang, bahkan terkadang
sampai melakukan bunuh diri. Di samping itu, orang yang tidak bertawakkal
kepada Allah akan bersifat pelit, karena takut jatuh miskin.
AKHLAK KEPADA RASULULLAH SAW
Selain wajib berakhlak mulia kepada Allah SWT, umat Islam juga
wajib berakhkak mulia kepada Rasulullah SAW, karena beliau adalah kekasih Allah
yang diutus untuk menyampaikan risalah-Nya kepada umat manusia agar mereka
menjalani hidup dan kehidupan sesuai petunjuk-Nya sehingga meraih kebahagiaan
hidup yang hakiki, baik di dunia maupun di akhirat (السعادة
في الدارين). Beliau-lah yang mengenalkan kita kepada Allah SWT. Beliau-lah
yang mengajarkan hukum-hukum Islam kepada kita, baik hukum-hukum tentang ibadah, mu’amalah, munakahah
maupun jinayah. Beliau-lah yang mendidik kita agar berakhlak mulia, baik kepada
Allah, diri sendiri maupun kepada orang lain, bahkan flora, fauna serta alam di
sekeliling kita.
Di antara bentuk nyata akhlak mulia kepada Rasulullah SAW adalah sebagai berikut :
1.
Meyakini dengan sepenuh hati (beriman) bahwa Nabi Muhammad SAW adalah
utusan Allah SWT. kepada seluruh manusia dan jin untuk menebarkan rahmat bagi
alam semesta. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Fath ayat 29 :
مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللّٰهِ ۗوَالَّذِيْنَ مَعَهٗٓ اَشِدَّاۤءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاۤءُ بَيْنَهُمْ تَرٰىهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَّبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانًا ۖ سِيْمَاهُمْ فِيْ وُجُوْهِهِمْ مِّنْ اَثَرِ السُّجُوْدِ ۗذٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ ۖوَمَثَلُهُمْ فِى الْاِنْجِيْلِۚ كَزَرْعٍ اَخْرَجَ شَطْـَٔهٗ فَاٰزَرَهٗ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوٰى عَلٰى سُوْقِهٖ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيْظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ ۗوَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ مِنْهُمْ مَّغْفِرَةً وَّاَجْرًا عَظِيْمًا ࣖ
“Muhammad itu adalah
utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras (tegas) terhadap
orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka”.
Demikian
juga firman-Nya dalam surat al-Anbiya’ ayat 107 :
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ
“Dan
tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam”
2.
Meyakini
dengan sepenuh hati (beriman) bahwa semua informasi (al-Qur’an & al-Hadits) yang disampaikan oleh beliau adalah pasti benar, karena berasal dari wahyu Allah SWT. Sebagaimana telah
difirmankan dalam surat an-Najm ayat 3 – 4 :
$tBur ß,ÏÜZt Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd wÎ) ÖÓórur 4Óyrqã ÇÍÈ
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu
(Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
3.
Mentaati beliau dengan melaksanakan semua perintahnya, menjauhi larangan-larangannya serta mengikuti dan menghidupkan sunnah-sunnahnya. Hal ini merupakan bukti nyata keincintaan manusia kepada Allah SWT, Dzat
yang menganugerahkan berbagai macam keni’matan kepada
manusia. Sebagaimana difirmankan dalam surat Ali Imrah ayat 31 :
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“Katakanlah
(wahai Muhammad): ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”.
Demikian
juga firman-Nya dalam surat an-Nisa’ ayat 59 :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ
“Wahai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
4.
Tidak membantah
apalagi menentang keputusan Rasulullah SAW. karena meyakini bahwa keputusan
beliau pasti benar karena beliau selalu mendapat bimbingan dan pengawasan dari
Allah SWT. Barangsiapa membantah apalagi menentang keputusan Rasulullah SAW,
kemudian tidak segera bertaubat dan kembali ke jalan yang benar, maka tempatnya
adalah di neraka Jahannam. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat an-Nisa’
ayat 115 :
وَاِنْ مِّنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ اِلَّا لَيُؤْمِنَنَّ بِهٖ قَبْلَ مَوْتِهٖ ۚوَيَوْمَ الْقِيٰمَةِ يَكُوْنُ عَلَيْهِمْ شَهِيْدًاۚ
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, maka Kami
biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
5.
Menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai contoh teladan dalam seluruh
aspek kehidupan, karena Allah SWT telah merekomendasikan kepada orang-orang
yang beriman agar mencontoh sikap dan prilaku beliau. Sebagaimana telah
difiramkan dalam surat al-Ahzab ayat 21 :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ
“Sesungguhnya telah ada
pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah”.
6.
Memperbanyak membaca shalawat
dan salam sebagai ekpsresi dari rasa cinta
(mahabbah) kepada
Rasulullah SAW. Jangankan kita umat yang sangat mengharapkan
syafaat (pertolongan) beliau pada hari kiamat kelak, Allah SWT Dzat yang
menciptakan beliau dan para malaikat yang tidak mempunyai dosa saja selalu
membaca shalawat kepada beliau. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat
al-Ahzab ayat 56 :
اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat
untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan
ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”
Bershalawat artinya: kalau dari Allah berarti memberi
rahmat: dari Malaikat berarti memintakan ampunan dan kalau dari orang-orang
mukmin berarti berdoa supaya diberi rahmat seperti dengan perkataan: Allahuma
shalli ‘ala Sayyidina Muhammad. Sedangkan mengucapkan salam, adalah ucapan seperti:
Assalamu'alaika ayyuhan Nabi artinya: semoga keselamatan tercurah
kepadamu wahai Nabi. Seseoang yang rajin bershalawat, maka akan dibalas berlipat-lipat
oleh Allah SWT, bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW mendapatkan syafa’at
7.
Tidak berbicara
dengan suara keras, melebihi suara Rasulullah SAW padahal
beliau adalah manusia yang paling halus. Jika kita berbicara dengan suara keras
apalagi berteriak-teriak di hadapan beliau atau makam beliau, maka hal itu
berpotensi menghapuskan pahala amal ibadah yang telah kita lakukan. Sebagaimana
difirmankan dalam surat al-Hujurat ayat 2 :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَرْفَعُوْٓا اَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوْا لَهٗ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ اَنْ تَحْبَطَ اَعْمَالُكُمْ وَاَنْتُمْ لَا تَشْعُرُوْنَ
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi,
dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana
kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus
(pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari”.
8.
Menghormati dan
memuliakan ahlul bait (keluarga) Nabi Muhammad SAW, baik para istri (umahat
al-mukminin), para putra dan putri maupun para cucu keturunan beliau yang
dikenal dengan sebutan habib (habaib) atau sayyid, karena mereka
adalah orang-orang yang disucikan oleh Allah SWT. Sebagaimana telah difirmankan
dalam surat al-Ahzab ayat 33 :
وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْاُوْلٰى وَاَقِمْنَ الصَّلٰوةَ وَاٰتِيْنَ الزَّكٰوةَ وَاَطِعْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ اَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا
“Sesungguhnya
Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya”.
خيركم من تعلم
القران وعلمه
“Sebaik-baik
kalian adalah orang yang belajar dan mengajar al-Qur’an”[12]
e. Memperbanyak berdzikir dan berdoa kepada Allah SWT. Kata Dzikir, berasal dari
bahasa Arab : ذَكَرَ -
يَذْكُرُ - ذِكْرًا yang berarti; mengingat sesuatu di dalam
hati atau menyebutnya dengan lidah.[13] Dengan demikian, kata الذكر memiliki persamaan arti dengan kata الحفظ
yang berarti mengingat atau menghafal. Hanya saja, kata الحفظ berkonotasi menyimpan ingatan, sedangkan kata
الذكر berkonotasi mengungkapkan
atau menghadirkan ingatan. Menurut
al-Raghib al-Asfahani, kata dzikir
terkadang diartikan sebagai "suatu keadaan jiwa yang dengan keadaan
tersebut memungkinkan bagi manusia untuk mengingat-ingat pengetahuan yang telah
dimilikinya"; dan terkadang diartikan sebagai "hadirnya sesuatu di
dalam hati atau ucapan".[14] Sedangkan pengertian "Dzikr" adalah menyebut Allah atau
mengingat kebesaran dan keagungan-Nya atau mensyukuri segala ni'mat-Nya dengan
penuh kesadaran disertai pengakuan terhadap kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya
serta berjanji akan mematuhi segenap perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.[15] Sedangkan berdoa artinya memohon sesuatu
kepada Allah SWT.
Para santri, kyai (guru) dan wali santri
sangat dianjurkan untuk membanyak berdzikir dan berdoa kepada Allah SWT agar
selalu diingat oleh Allah SWT sehingga diberikan berbagai kemudahan dalam
hidup, terutama dalam meraih ilmu yang bermanfaat di dunia dan di akhirat.
Sebagaimana difirmankan dalam surat al-Baqarah ayat 152 :
فَاذْكُرُوْنِيْٓ اَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا لِيْ وَلَا تَكْفُرُوْنِ ࣖ
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.
Demikian juga firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 186 :
وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”.
5.
Menjauhi berbagai macam perbuatan maksiat atau dosa, seperti mencuri, berzina,
mengkonsumsi minuman keras dan narkoba. Berbagai perbuatan maksiat atau dosa tersebut
menimbulkan murka-Nya dan menjauhkan pelakunya dari rahmat-Nya, sehingga menyebabkan
hatinya gelap gulita dan tidak mampu menangkap ilmu dari-Nya, karena ilmu
adalah cahaya Allah yang tidak akan diberikan kepada orang yang durhaka
kepada-Nya. Sebagaimana telah difirmankan
al-Muthaffifin ayat 14 :
كَلَّا بَلْ ۜرَانَ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ مَّا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
“Sekali-kali tidak (demikian). Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka”.
Demikian juga ucapan Imam Syafi’i
yang sangat terkenal di kalangan para santri pondok pesantren salafiyah :
شكوت الى
وكيع سوء حفظي : فأرشد ني الى ترك المعاصي
وأخبرني بأن
العلم نور : ونور الله لا يعطى لعاصي
”(Suatu ketika) aku mengeluhkan keburukan hafalanku
kepada guruku, Syeh Waki’. Kemudian beliau memberikan petunjuk kepadaku agar
aku meninggalkan perbuatan maksiat. Beliau juga menginformasikan kepadaku,
bahwa ilmu adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang
yang suka berbuat maksiat”.
6.
Ikhlas,
baik dalam melaksanakan ibadah mahdlah kepada Allah SWT maupun dalam
membantu sesama umat manusia (kerja sosial). Karena ikhlas merupakan syarat mutlak diterimanya suatu
ibadah atau amal perbuatan seseorang. Sebagaimana telah dijelaskan oleh hadits
shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari sahabat Umar Ibn
Khatab :
إنما اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا
لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ
فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا
يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.
“Sesungguhnya
setiap amal perbuatan itu (akan dibalas oleh Allah SWT) sesuai dengan niat, dan
setiap manusia akan memperoleh balasan amal perbuatan sesuai dengan niatnya
masing-masing. Barangsiapa berhijrah (dari Makkah ke Madinah) semata-mata
bertujuan untuk mencari ridha Allah dan Rasul-Nya, maka akan diterima (sebagai
amal ibadah kepada Allah dan Rasul). Tetapi barangsiapa berhijrah semata-mata
untuk memperoleh harta atau menikahi wanita, maka ia tidak memperoleh pahala
apa-apa (karena hijrahnya tidak bernilai ibadah)”.
7. Syukur dalam memperoleh anugerah nikmat dari Allah
SWT. Umat Islam,
khususnya para santri wajib bersyukur atas
nikmat yang dianugerahkan oleh Allah SWT. Seorang
hamba yang
tidak
pandai
bersyukur,
alias mengkufuri nikmat, sejatinya adalah orang-orang sombong yang pantas dimasukkan ke dalam api neraka,
karena Allah SWT telah
memerintahkan para hambaNya
untuk mengingat-Nya dan
bersyukur atas nikmat-nikmatNya. Sebagaimana difirmankan dalam
surat al-Baqarah ayat 152 :
فَاذْكُرُوْنِيْٓ اَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا لِيْ وَلَا تَكْفُرُوْنِ ࣖ
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.
Prof. Dr. Syaih Mohammad Ali Ash-Shabuni dalam menafsirkan ayat di atas menyatakan; “Ingatlah
kalian kepada-Ku dengan ibadah
dan taat, niscaya
Aku akan mengingat kalian dengan cara
memberi pahala dan ampunan. Sedangkan
maksud firman Allah SWT,” bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku”,
bermakna: “Bersyukurlah kalian atas nikmat-nikmat yang telah Aku berikan
kepadamu dan jangan mengingkarinya dengan melakukan dosa dan maksiyat.
Berdasarkan ayat di atas,
mak bersyukur atas
nikmat Allah merupakan
kewajiban setiap muslim. Namun, seorang
muslim harus memahami
bagaimana cara merefleksikan rasa syukur secara benar. Betapa banyak orang
merefleksikan rasa syukurnya dengan cara-cara yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip syukur itu sendiri. Misalnya, ada orang yang mewujudkan rasa syukurnya dengan
cara mabuk-mabukkan, pesta pora, pergi ke tempat-tempat maksiyat,
bernyanyi-nyanyi hingga melupakan kewajibannya, dan seterusnya.
Adapula yang merefleksikan rasa syukurnya dengan
cara menyediakan sesaji dan persembahan kepada pohon
dan tempat-tempat keramat. Refleksi
syukur seperti ini jelas-jelas bertentangan dengan prinsip Islam.
Imam Ibnu Katsir menyatakan bahwa syukur harus direfleksikan dengan cara
beribadah dan memupuk ketaatan kepada Allah SWT serta meninggalkan perbuatan maksiyat. Pendapat senada juga dikemukakan oleh
Imam ‘Ali Al-Shabuni. Ibadah dan taat kepada Allah SWT serta meninggalkan larangan-larangan-Nya
adalah perwujudan rasa syukur
yang sebenarnya. Seseorang yang selalu taat kepada Allah SWT
dengan menjalankan seluruh aturan-aturanNya dan sunnah Nabinya
pada hakekatnya adalah orang-orang yang senantiasa bersyukur kepada-Ny. Sebaliknya, orang
yang menolak melaksanakan syari’at
Islam, adalah termasuk orang-orang yang ingkar terhadap
nikmat yang dianugerahkan Allah kepadanya.
8.
Sabar ketika tertimpa musibah (cobaan/ujian). Secara literal, sabar adalah habsu al-nafs ‘an al-jaza’
(menahan diri dari keluh kesah (ketidak sabaran).[16] Setiap orang
pasti akan diuji oleh Allah SWT dengan berbagai macam ujian. Sebagaimana telah
difirmankan dalam surat al-Baqarah ayat 155 – 156 :
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ(155)اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ ۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ(156)
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun"
Apabila seseorang mampu menahan diri dari keluh kesah, kegelisahan,
dan kegundahan akibat berbagai macam ujian dan cobaan, maka ia tergolong
orang-orang yang sabar. Sebaliknya, tatkala
seseorang suka mengeluh,
mengaduh, dan selalu merasa
jengah serta khawatir atas berbagai
macam musibah, maka ia
bukanlah termasuk bagian orang-orang yang sabar. Jamaluddin al-Qasimi menyatakan, “Barangsiapa yang tetap tegak bertahan
sehingga dapat menundukkan hawa nafsunya secara terus-menerus, orang tersebut termasuk golongan orang yang sabar.”[Al-Qasimi, Mau’idlaat al- Mukminiiin].
Kesabaran merupakan perhiasan hati yang sangat agung dan mulia.
Kesabaran akan menjadikan seseorang bersifat qana’ah,
mulia dan dihormati oleh siapapun. Selain itu, kesabaran juga merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh seseorang agar mendapatkan keberhasilan dan kemenangan. Sebaliknya, sifat tergesa-gesa, gelisah dan berlebihan
akan menjatuhkan seseorang ke dalam kegagalan dan kemurkaan Allah SWT. Sebagaimana difirmankan dalam surat Hud ayat 115 :
وَاصْبِرْ فَاِنَّ اللّٰهَ لَا يُضِيْعُ اَجْرَ الْمُحْسِنِيْنَ
“Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik”.
Demikian juga
firman-Nya dalam surat Ali Imran ayat 200 :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اصْبِرُوْا وَصَابِرُوْا وَرَابِطُوْاۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ࣖ
“Hai orang-orang yang beriman, berlakulah
sabar dan perkuat kesabaran diantara sesama kalian, dan bersiagalah
kalian serta bertaqwalah
kepada Allah, supaya kalian memperoleh kemenangan.”[Ali Imran:200]
Kesabaran yang dimaksud pada ayat di
atas adalah kesabaran dalam menghadapi segala bentuk kesulitan dan
penderitaan tatkala menjalankan perintah Allah SWT. Kesabaran dalam menunut ilmu
harus diwujudkan dengan cara menjalankan seluruh proses, dimulai dengan niat
yang ikhlas, semangat yang kuat, kemudian mempersiapkan strategi belajar yang
tepat, melengkapi diri dengan berbagai sarana dan prasarana yang memadai, serta
mentaati instruksi-instruksi para
pendidik. Selanjutnya, ia menyerahkan hasilnya kepada Allah SWT.
Kesabaran dalam bekerja harus direfleksikan dengan cara mengorganisasikan segala sesuatu yang bisa menunjang keberhasilan pekerjaannya.
Ia mempersiapkan seluruh potensi dirinya untuk meraih rizki yang halal, dan berserah diri kepada Allah atas semua hasil yang
diterimanya. Kesabaran dalam
berdakwah harus diwujudkan
dengan cara berjalan sesuai
dengan manhaj dakwah
Rasulullah SAW
walaupun jalan itu terasa sulit, panjang, berliku
dan
penuh
dengan
cobaan
dan
musibah. Selanjutnya, ia membuat rencana-rencana program yang terarah,
realistis, dan jelas. Seorang da’i juga harus kreatif dalam menciptakan uslub-uslub yang sesuai dengan kondisi dan fakta yang ada, yang
secara logis akan mengantarkan kepada
keberhasilan. Ia juga selalu mencari dan menciptakan cara-cara baru yang bisa mempermudah akses dakwahnya di
tengah-tengah masyarakat. Atas dasar itu, kesabaran harus diwujudkan dengan
cara mempersiapkan diri menghadapi segala macam kesulitan dan derita dalam
menjalankan seluruh perintah Allah swt.
Secara umum, kesabaran dibagi menjadi 2 (dua) macam. Pertama, kesabaran
dalam menghadapi cobaan yang bersifat fisik. Kedua, kesabaran dalam menghadapi cobaan yang bersifat
non fisik. Kesabaran dalam menghadapi
cobaan yang bersifat fisik adalah tabah dalam memikul tugas-tugas yang berat, tabah dalam menghadapi kemiskinan, cacat, atau menderita rasa sakit (akibat penyakit maupun
siksaan).
Kesabaran dalam
menghadapi cobaan yang bersifat non fisik terbagi menjadi beberapa hal. Di
antaranya adalah sbb. :
a.
Sabar
dalam menahan hawa nafsu dan kecenderungan seksual. Kesabaran semacam ini disebut dengan ‘iffah.’
b.
Sabar dalam
menghadapi musibah, kesulitan, dan bencana tanpa ada keluh kesah, mengumpat, rasa kesal dan sebagainya. Kesabaran semacam ini sering dianggap sebagai bentuk kesabaran secara umum.
c.
Sabar dalam
bentuk menahan diri dari kehidupan mewah pada waktu sedang kaya.
d.
Sabar dalam
bentuk menahan diri dari sifat pengecut di medan peperangan
yang dalam akhlak Islam disebut syaja’ah (keberanian),. Lawan kata dari sifat syaja’ah adalah al-jubun
(pengecut).
e.
Sabar dalam
bentuk menahan diri dari marah dalam menghadapi musuh atau orang yang berbeda
pendapat, yang disebut tasamuh (toleran).
f.
Sabar dalam
bentuk menahan diri untuk tidak menyampaikan suatu ‘aib atau rahasia –baik rahasia diri sendiri, orang lain dan negara-- kepada pihak lain, yang disebut kitman al-sirr.
g.
Sabar dalam
bentuk menahan diri dari kenikmatan dan kesenangan dunia untuk memperoleh
kesenangan akherat, yang disebut zuhud.
h.
Sabar dalam
bentuk menahan diri dari pola hidup
yang berlebih-lebihan (berfoya-foya),
dan merasa puas dengan kehidupan yang sederhana sesuai dengan kemampuan, yang disebut qana’ah.
9.
Tawakkal. Ditinjau dari
segi bahasa, kata tawakkal berasal dari kata wakkala –
yawakkilu – taukiilan – wa tawakkalan (وكل – يوكل – توكيلا - وتوكلا) yang berarti mewakilkan. Sedangkan pengertian tawakkal
dalam ajaran agama Islam adalah; “Menyerahkan semua kejadian yang telah, sedang
dan akan terjadi pada diri kita kepada Allah SWT, karena yakin dan percaya
bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Mencipta dan Mengatur hidup dan mati manusia
dengan penuh hikmah, kebijaksanaan dan kasih saying. Sikap tawakkal ini
dilakukan sesudah melakukan usaha secara
maksimal”.
Definisi di atas menunjukkan, bahwa bertawakkal kepada Allah SWT bukan berarti bersikap pasif dan apatis tanpa
melakukan sesuatu usaha dan aktivitas apapun, melainkan tetap berusaha secara maksimal dan bekerja
dengan baik, tetapi menyerahkan hasilnya kepada Allah SWT. Dengan
demikian tidak benar asumsi sementara orang yang menyatakan, bahwa sikap tawakkal telah menjadikan
umat Islam malas belajar, bekerja dan berusaha, sehingga mereka mengalami
kebodohan kemiskinan dan keterbelakangan.
Jika ada sebagian masyarakat yang memahami
sikap tawakkal adalah menyerahkan semua persoalan kepada Allah SWT.
tanpa melakukan usaha sama sekali, maka perlu diluruskan, karena pemahaman tersebut sama sekali tidak benar dan bertentangan
dengan ajaran agama Islam yang memerintahkan pemeluknya bersungguh-sunggguh memperjuangkan
tegaknya ajaran agama Islam yang dikenal dengan istilah jihad (الجهاد); bersungguh-bersungguh dalam menggali dan mengembangkan ilmu
pengetahun dengan rajin belajar, melakukan penelitian dan analisa yang dikenal
dengan istilah ijtihad (الاجتهاد); serta berusaha dan bekerja keras untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT yang dikenal dengan istilah mujahadah (المجاهدة); Ketiga istilah tersebut berasal dari akar kata yang sama
yakni al-juhdu (الجهد); yang
berarti usaha dengan sungguh-sungguh. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat
al-Ankabut ayat 69 :
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ ࣖ
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh (mencari keridhaan) Kami, pasti (benar- benar) akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.
Jangankan mencari ilmu yang sulit, hal-hal yang mudah saja
tidak akan berhasil jika tidak diusahakan dan dikerjakan. Sebagai contoh, nasi
dan lauk pauk yang sudah dihidangkan di meja makan, tidak akan menghilangkan
rasa lapar jika tidak dimakannya. Air mineral yang sudah
dihidangkan di atas meja, tidak akan menghilangkan rasa haus dan dahaga jika
tidak diminumnya. Oleh karena itu Allah SWT memerintahkan semua manusia untuk mencari rizki di muka bumi ini,
tidak boleh berpangku tangan. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Jum’ah ayat 10 :
فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى الْاَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ وَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Apabila telah selesai menunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia (rizki) Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya, supaya kamu beruntung”.
Demikian juga Rasulullah memerintahkan umatnya yang sakit untuk
berobat agar sembuh dari sakitnya. Jika sudah berobat ternyata tidak tertolong
dan akhinya meninggal dunia, maka harus menerima kenyataan dengan penuh keimanan
bahwa Allah SWT. telah mentakdirkan kematiannya pada saat itu. Akan tetapi tidak
boleh membiarkannya tanpa berobat dengan alasan tawakkal kepada Allah.
Sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh imam Ahmad bin Hambal, al-Hakim dkk dari sahabat Usamah
sebagai berikut:
تداووا
يا عباد الله فإن الله لم يضع داء الا وضع له دواء الا الهرم
“Berobatlah
kamu sekalian wahai para hamba Allah, karena sesungguhnya Allah tidak
menurunkan penyakit, melainkan pasti menyediakan obatnya, kecuali satu penyakit
yakni penyakit pikun”.
Demikian juga Rasulullah saw memerintahkan umatnya untuk menyimpan
harta benda di tempat yang aman serta menjaganya dari kerusakan dan pencurian.
Oleh karena itu beliau memarahi seorang sahabat yang meninggalkan ontanya di
tengah jalan tanpa diikat, dengan alasan bertawakkal kepada Allah. Kemudian beliau memerintahkan sahabat
tersebut untuk mengikat ontanya, sesudah itu baru bertawakkal kepada Allah swt.
Seluruh ajaran agama Islam yang
bersumber dari Al-Qur'an dan al-Hadits, baik yang berupa perintah dan anjuran
maupun yang berupa larangan untuk mengerjakan sesuatu, pasti mengandung dampak
positif serta menghindarkan dampak negatif bagi pelakunya serta bagi orang
lain, baik di dunia maupun di akherat. Tawakkal sebagai salah satu ajaran Islam
yang diperintahkan oleh Allah SWT. kepada para hamba-Nya yang beriman pasti
mengandung dampak positif serta menghindarkan dampak negatif.
Di antara dampak positif tawakkal
adalah sbb. :
a.
Meningkatkan keimanan kepada Allah
SWT. Dengan bertawakkal kepada Allah serta menyerahkan persoalan dan
permasalahan yang kita hadapi kepada-Nya, maka berarti kita yakin dan percaya
bahwa Allah SWT adalah Dzat yang berkuasa untuk memberikan keputusan yang
terbaik kepada kita dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Allah SWT adalah
Dzat yang mencipta dan mengatur hidup serta mati manusia dengan penuh hikmah, kebijaksanaan
dan kasih sayang. Sebaliknya, jika kita tadak bertawakkal, maka berarti kita
tidak atau kurang beriman kepada-Nya. Karena salah satu ciri orang yang
benar-benar beiman adalah orang yang bertawakkal kepada Allah SWT. Sebagaimana
telah difirmankan dalam surat al-Anfal ayat 2 :
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اٰيٰتُهٗ زَادَتْهُمْ اِيْمَانًا وَّعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَۙ
“Sesungguhnya orang-orang yang benar-benar beriman ialah; mereka yang apabila disebutkan sifat-sifat Allah, maka gemetarlah hati mereka, apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka bertambahlah iman mereka, dan kepada Allah-lah mereka bertawakkal”.
Bahkan
Allah SWT. telah menjadikan tawakkal sebagai salah satu syarat beriman
kepada-Nya. Dengan demikian seseorang yang mengaku beriman tetapi tidak bertawakkal,
maka pada hakekatnya ia belum beriman, karena tawakkal merupakan salah satu
konsekuensi logis dari keimanan kita kepada AllahSWT. Sebagaimana telah
difirmankan dalam surat al-Maidah ayat 23 :
قَالَ رَجُلَانِ مِنَ الَّذِيْنَ يَخَافُوْنَ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوْا عَلَيْهِمُ الْبَابَۚ فَاِذَا دَخَلْتُمُوْهُ فَاِنَّكُمْ غٰلِبُوْنَ ەۙ وَعَلَى اللّٰهِ فَتَوَكَّلُوْٓا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”.
b.
Menumbuh-kembangkan jiwa pemberani
dan optimism. Seseorang yang bertawakkal kepada Allah SWT, maka dapat dipastikan
bahwa ia adalah seorang pemberani. Ia berani memperjuangkan kebenaran, karena tidak
merasa takut terancam kedudukannya atau menghadapi kesulitan hidup. Ia juga
tidak takut mati, jika harus berperang melawan musuh-musuh Islam, karena yakin
bahwa kematiannya tidak ditentukan oleh peperangan dan perjuangan, tetapi
semata-mata ditetapkan oleh Allah SWT. Sekalipun berada dalam benteng yang
dikelillingi pagar besi baja, kalau sudah tiba masa kematiannya, maka seseorang
tidak akan mampu menghindarinya. Sebaliknya, walaupun seseorang ikut berperang
atau naik pesawat terbang yang mengalami kecelakaan, kalau belum tiba masa
kematiannya, maka ia tidak akan mati. Oleh karena itu sebagai orang yang
beriman kita harus bertawakkal kepada Allah sehingga kita mempunyai keberanian
untuk memperjuangkan kebenaran, tanpa dibayang-bayangi rasa takut mati,
terancam kedudukan serta kesulitan hidup. Karena kita yakin bahwa nasib kita tidak
berada di tangan atasan kita dan musuh-musuh kebenaran, tatapi semata-mata berada
dalam kekuasaan Allah SWT. Sepanjang kita beriman dan bertawakkal kepada-Nya,
maka tidak perlu ada yang ditakutkan. Karena Allah telah berjanji akan
memberikan kecukupan dalam segala hal kepada orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Thalak ayat 3 :
وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗ ۗاِنَّ اللّٰهَ بَالِغُ اَمْرِهٖۗ قَدْ جَعَلَ اللّٰهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
“Barang siapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Allah akan mencukupi semua kebutuhannya”.
c. Memberikan
ketenaangan batin. Jika seseorang sudah berusaha semaksimal mungkin, bekerja secara
profesional, kemudian bertawakkal dan menyerahkan hasilnya kepada Allah SWT.,
maka batinnya akan selalu tenang dan tenteram. Demikian juga jika seseorang
telah menyimpan hartanya di tempat yang aman serta menjaganya dari kerusakan
dan pencurian, kemudian ia bertawakkal kepada Allah, maka batinnya akan selalu
tenang dan tenteram. Karena ia yakin dan percaya bahwa Allah akan menjaganya
dan memberikan sesuatu yang terbaik, bermanfaat dan penuh hikmah kepadanya.
Sebagaimana janji Allah dalam surat al-Ahdzab ayat 3 :
وَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗوَكَفٰى بِاللّٰهِ وَكِيْلًا
“Bertawakkal-lah kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai wakil”.
d. Menghilangkan
stress dan frustasi. Dengan selalu bertawakkal kepada Allah, maka seseorang yang gagal
dalam mencapai cita-cita dan keinginannya, seperti gagal dalam bercinta, gagal
dalam memperoleh kejujuran, gagal dalam menduduki suatu jabatan, gagal dalam
berbisnis dan sebagainya, atau kehilangan sesuatu yang disenanginya, atau
ditinggal mati oleh seseorang yang sangat dicintai, atau tertimpa musibah yang
lain, maka ia tidak akan stress dan frustasi. Karena ia yakin bahwa semua yang
terjadi adalah atas kehendak Allah SWT yang pasti banyak hikmah dan manfaatnya.
Sebaliknya jika ia sukses dalam mencapai sesuatu, ia tidak akan sombong dan
lupa diri, karena menyadari bahwa walaupun memiliki kecerdasan yang tinggi,
menguasai sains dan teknologi, mampu memprediksi segala sesuatu yang akan
terjadi, tapi tanpa pertolongan Allah SWT. semuanya itu tidak akan mempunyai
arti apa-apa. Oleh karena itu semua orang mukmin harus bertawakkal kepada Allah
SWT. dengan menghayati dan mengamalkan makna Kalimat Hauqalah (LA HAULA
WALA KUWWATA ILLA BILLAH AL-‘ALIYYI AL-ADZIM) yang berarti tiada daya untuk
melakukan sesuatu kebaikan, dan tiada kekuatan untuk menghindari kejahatan,
kecuali dengan pertolongan Allah Dzat Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Dengan tawakkal
tersebut maka seseorang tidak akan frustasi karena gagal dalam mencapai
sesuatu, serta tidak akan sombong jika sukses dalam meraih prestasi.
Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Hadid ayat 23 :
لِّكَيْلَا تَأْسَوْا عَلٰى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوْا بِمَآ اٰتٰىكُمْ ۗوَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۙ
“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan frustasi (berduka cita) dalam menghadapi kegagalan, serta jangan lupa diri (terlalu gembira) dalam menghadapi kesuksesan yang diberikan oleh Allah kepadamu. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”.
e. Menumbuh-kembangkan
sifat dermawan. Seseorang yang benar-benar bertawakkal kepada Allah SWT
pasti bersifat dermawan. Karena ia tidak akan takut kekurangan rizki. Ia yakin
dengan sepenuh hati, bahwa Allah tidak akan menelantarkannya. Allah akan selalu
memberikan rizki yang cukup untuk diri dan keluarganya. Allah akan mengganti
setiap harta yang disedekahkan kepada para fakir miskin dan atau untuk
kepentingan perjuangan agama Islam, dengan balasan yang berlipat ganda, baik di
dunia maupun di akherat. Oleh karena itu jika seorang mukmin bersifat pelit
hingga tidak mau bersedekah dan bahkan tidak mau membayar zakat karena takut
jatuh miskin, maka pada hakekatnya ia tidak (belum) bertawakkal kepada
Allah SWT. Jika ia bertawakkal pasti tidak akan pelit karena yakin bahwa
Allah akan menjamin hidupnya dan mengganti sedekahnya dengan balasan yang
berlipat ganda. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Baqarah ayat 261 :
مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, adalah serupa dengan sebutir benih yang meumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
Sebaliknya,
seseorang yang tidak atau kurang bertawakkal kepada Allah SWT pasti akan
merasakan dampak negatif. Antara lain adalah sbb. :
a.
Berjiwa kerdil dan penakut. Seorang
yang tidak bertawakkal kepada Allah SWT akan berjiwa kerdil dan penakut. Oleh
karena itu, ia tidak berani memperjuangkan kebenaran karena takut menghadapi
kesulitan hidup. Tidak berani berkompetinsi secara sportif karena takut kalah.
Tidak berani berdagang karena takut rugi dan sebagainya.
b.
Suka meminta bantuan kepada dukun. Sebagai
akibat dari jiwa kerdil dan penakut, maka seseorang tidak memiliki rasa percaya
diri. Akibatnya bisa terjemurus pada praktek perdukunan atau mendatangi dukun
serta meminta bantuan kepada jin dan setan utnuk menghadapi berbagai problem
kehidupan. Padahal mendatangi dukun yang meminta bantuan kepada jin dan setan
adalah haram karena dapat menjerumuskan kepada kemusyrikan.
c.
Bersifat hasad (iri hati/dengki). Jika
seseorang tidak bertawakkal dan menyerahkan semua kejadian kepada Allah SWT,
maka ia akan mudah terserang penyakit hasad ketika melihat orang lain
yang dianggap rivalnya memperoleh kesuksesan. Sehingga ia melakukan sesuatu
yang dapat merugikan rival tersebut.
d.
Bersikap takabbur dan mudah frustasi.
Jika seseorang yang tidak bertawakkal kepada Allah SWT. meraih
sukses, maka akan bersikap sombong (takabbur) dan lupa diri, karena
merasa bahwa kesuksesan tersebut semata-mata karena kehebatan dirinya.
Sebaliknya jika gagal, ia akan mudah frustasi. Sebagai pelariannya ia akan
terjerumus mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang, bahkan terkadang
sampai melakukan bunuh diri. Di samping itu, orang yang tidak bertawakkal
kepada Allah akan bersifat pelit, karena takut jatuh miskin.
AKHLAK KEPADA RASULULLAH SAW
Selain wajib berakhlak mulia kepada Allah SWT, umat Islam juga
wajib berakhkak mulia kepada Rasulullah SAW, karena beliau adalah kekasih Allah
yang diutus untuk menyampaikan risalah-Nya kepada umat manusia agar mereka
menjalani hidup dan kehidupan sesuai petunjuk-Nya sehingga meraih kebahagiaan
hidup yang hakiki, baik di dunia maupun di akhirat (السعادة
في الدارين). Beliau-lah yang mengenalkan kita kepada Allah SWT. Beliau-lah
yang mengajarkan hukum-hukum Islam kepada kita, baik hukum-hukum tentang ibadah, mu’amalah, munakahah
maupun jinayah. Beliau-lah yang mendidik kita agar berakhlak mulia, baik kepada
Allah, diri sendiri maupun kepada orang lain, bahkan flora, fauna serta alam di
sekeliling kita.
Di antara bentuk nyata akhlak mulia kepada Rasulullah SAW adalah sebagai berikut :
1.
Meyakini dengan sepenuh hati (beriman) bahwa Nabi Muhammad SAW adalah
utusan Allah SWT. kepada seluruh manusia dan jin untuk menebarkan rahmat bagi
alam semesta. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Fath ayat 29 :
مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللّٰهِ ۗوَالَّذِيْنَ مَعَهٗٓ اَشِدَّاۤءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاۤءُ بَيْنَهُمْ تَرٰىهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَّبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانًا ۖ سِيْمَاهُمْ فِيْ وُجُوْهِهِمْ مِّنْ اَثَرِ السُّجُوْدِ ۗذٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ ۖوَمَثَلُهُمْ فِى الْاِنْجِيْلِۚ كَزَرْعٍ اَخْرَجَ شَطْـَٔهٗ فَاٰزَرَهٗ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوٰى عَلٰى سُوْقِهٖ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيْظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ ۗوَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ مِنْهُمْ مَّغْفِرَةً وَّاَجْرًا عَظِيْمًا ࣖ
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras (tegas) terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka”.
Demikian
juga firman-Nya dalam surat al-Anbiya’ ayat 107 :
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”
2.
Meyakini
dengan sepenuh hati (beriman) bahwa semua informasi (al-Qur’an & al-Hadits) yang disampaikan oleh beliau adalah pasti benar, karena berasal dari wahyu Allah SWT. Sebagaimana telah
difirmankan dalam surat an-Najm ayat 3 – 4 :
$tBur ß,ÏÜZt Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd wÎ) ÖÓórur 4Óyrqã ÇÍÈ
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu
(Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
3.
Mentaati beliau dengan melaksanakan semua perintahnya, menjauhi larangan-larangannya serta mengikuti dan menghidupkan sunnah-sunnahnya. Hal ini merupakan bukti nyata keincintaan manusia kepada Allah SWT, Dzat
yang menganugerahkan berbagai macam keni’matan kepada
manusia. Sebagaimana difirmankan dalam surat Ali Imrah ayat 31 :
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Demikian
juga firman-Nya dalam surat an-Nisa’ ayat 59 :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
4.
Tidak membantah
apalagi menentang keputusan Rasulullah SAW. karena meyakini bahwa keputusan
beliau pasti benar karena beliau selalu mendapat bimbingan dan pengawasan dari
Allah SWT. Barangsiapa membantah apalagi menentang keputusan Rasulullah SAW,
kemudian tidak segera bertaubat dan kembali ke jalan yang benar, maka tempatnya
adalah di neraka Jahannam. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat an-Nisa’
ayat 115 :
وَاِنْ مِّنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ اِلَّا لَيُؤْمِنَنَّ بِهٖ قَبْلَ مَوْتِهٖ ۚوَيَوْمَ الْقِيٰمَةِ يَكُوْنُ عَلَيْهِمْ شَهِيْدًاۚ
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, maka Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
5.
Menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai contoh teladan dalam seluruh
aspek kehidupan, karena Allah SWT telah merekomendasikan kepada orang-orang
yang beriman agar mencontoh sikap dan prilaku beliau. Sebagaimana telah
difiramkan dalam surat al-Ahzab ayat 21 :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.
6.
Memperbanyak membaca shalawat
dan salam sebagai ekpsresi dari rasa cinta
(mahabbah) kepada
Rasulullah SAW. Jangankan kita umat yang sangat mengharapkan
syafaat (pertolongan) beliau pada hari kiamat kelak, Allah SWT Dzat yang
menciptakan beliau dan para malaikat yang tidak mempunyai dosa saja selalu
membaca shalawat kepada beliau. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat
al-Ahzab ayat 56 :
اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”
Bershalawat artinya: kalau dari Allah berarti memberi
rahmat: dari Malaikat berarti memintakan ampunan dan kalau dari orang-orang
mukmin berarti berdoa supaya diberi rahmat seperti dengan perkataan: Allahuma
shalli ‘ala Sayyidina Muhammad. Sedangkan mengucapkan salam, adalah ucapan seperti:
Assalamu'alaika ayyuhan Nabi artinya: semoga keselamatan tercurah
kepadamu wahai Nabi. Seseoang yang rajin bershalawat, maka akan dibalas berlipat-lipat
oleh Allah SWT, bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW mendapatkan syafa’at
7.
Tidak berbicara
dengan suara keras, melebihi suara Rasulullah SAW padahal
beliau adalah manusia yang paling halus. Jika kita berbicara dengan suara keras
apalagi berteriak-teriak di hadapan beliau atau makam beliau, maka hal itu
berpotensi menghapuskan pahala amal ibadah yang telah kita lakukan. Sebagaimana
difirmankan dalam surat al-Hujurat ayat 2 :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَرْفَعُوْٓا اَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوْا لَهٗ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ اَنْ تَحْبَطَ اَعْمَالُكُمْ وَاَنْتُمْ لَا تَشْعُرُوْنَ
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi,
dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana
kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus
(pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari”.
8.
Menghormati dan
memuliakan ahlul bait (keluarga) Nabi Muhammad SAW, baik para istri (umahat
al-mukminin), para putra dan putri maupun para cucu keturunan beliau yang
dikenal dengan sebutan habib (habaib) atau sayyid, karena mereka
adalah orang-orang yang disucikan oleh Allah SWT. Sebagaimana telah difirmankan
dalam surat al-Ahzab ayat 33 :
وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْاُوْلٰى وَاَقِمْنَ الصَّلٰوةَ وَاٰتِيْنَ الزَّكٰوةَ وَاَطِعْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ اَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا
“Sesungguhnya
Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya”.
Komentar
Posting Komentar