AKHLAK SANTRI ULAMA (Kyai/Guru) & Wali Santri










BAB 1



AKHLAK SANTRI, ULAMA (KYAI/GURU) & WALI SANTRI

 

 

 

 

 

 

 

 

Oleh :

 

DR. H. M. Hamdan Rasyid, MA

Khadim al-Ma’had BAITUL HIKMAH Depok

  

PONDOK PESANTREN BAITUL HIKMAH

jL. Curug Taufiq 90 curug bojongsari

depok

 




DAFTAR ISI


                                                                                                                                                                                                             Halaman 

MUQODDIMAH …………………………………………………

URGENSI  AKHLAK  DALAM  ISLAM

 

A.  Pengertian  Akhlak

B.  Akhlak, Etika dan Moral

C.  Akhlak Santri, Ulama (Kyai/Guru) dan Wali Santri 

D.  Karakteristik Akhlak dalam Islam

E.  Kedudukan Akhlak dalam Islam

F. Tujuan Mempelajari & Mengamalkan Ilmu Akhlak

 

AKHLAK SANTRI

 

A.   Akhlak Kepada Diri Sendiri

B.   Akhlak Kepada Allah SWT

C.    Akhlak Kepada Rasulullah SAW

D.   Akhlak Kepada Orang Tua

E.   Akhlak Kepada Guru

F.    Akhlak dalam Pergaulan dengan Sesama Teman

G.   Akhlak dalam Menuntut Ilmu

H.   Akhlak Ketika Berada di Dalam Masjid

I.    Akhlak dalam Mengkomsumsi Makanan dan Minuman

J.    Akhlak dalam Memelihara Barang-barang Miliknya dan Milik Pihak Lain

K.   Akhlak dalam Perjalanan, Berolah raga dan Berlomba

 

AKHLAK ULAMA (KYAI/GURU)

 

AKHLAK WALI SANTRI

 

 

 



MUQODDIMAH

 

Segala puji bagi Allah SWT yang telah menganugerahkan berbagai keunggulan kepada manusia atas makhluk lainnya dengan ilmu dan amal. Semoga shalawat dan salam semoga tersanjung kepada Rasulullah SAW, Nabi terakhir yang telah membebaskan umat manusia dari kegelapan kufur menuju cahaya iman. Juga kepada para keluarga dan sahabat yang menjadi sumber ilmu dan hikmah (kebijakan/wisdom).

Pada dasarnya, setiap pemeluk agama Islam, baik laki-laki maupun perempuan (muslim dan muslimah) wajib mempelajari ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan merupakan anugerah Allah SWT yang hanya diberikan kepada manusia. Kalau sifat kasih sayang, keberanian, kekuatan dsb. dimiliki oleh manusia dan binatang, maka ilmu pengetahuan hanya dimiliki oleh manusia.Oleh karena itu, berkat ilmu pengetahuan ini manusia menjadi makhluk yang mulia sehingga parta malaikat pun diperintahkan oleh Allah SWT untuk sujud (menghormat) kepada Nabi Adam AS.

Di antara ilmu pengetahun yang wajib dipelajari oleh setiap muslim adalah sbb. : (1). Ilmu Aqidah, yaitu ilmu pengetahuan yang bertujuan mengenalkan manusia kepada Allah SWT dan hal-hal yang ghaib, sehingga mereka memiliki iman yang kokoh. (2). Ilmu Syari’ah yaitu ilmu pengetahuan yang mengajarkan tentang hukum-hukum dan tatacara beribadah kepada Allah SWT serta bermu’amalah (berinteraksi) dengan sesama manusia dan makhluk lainnya. (3). Ilmu Akhlak yang mengajarkan tentang nilai-nilai kebaikan yang harus diikuti dan diprektekkan, serta nilai-nilai buruk yang harus dihindari dan ditinggalkan, seperti sifat dermawan dan pelit; pemberani dan pengecut; tawadlu’ (rendah hati) dan takabbur (sombong); . Dari Ilmu Akhlak ini akan ditingkatkan menjadi Ilmu Tasawuf, yaitu suatu ilmu yang bertujuan untuk menjaga kesucian hati manusia; menghindarkan diri dari hal-hal yang mengotorinya, serta cara-cara yang harus ditempuh untuk membersihkan kembali hati yang terlanjur kotor karena perbuatan dosa dan maksiat. Seperti sifat ikhlas, tawakkal, ridla, dan zuhud, menghindari hal-hal yang syubhat dan makruh.(التحرز عن الشبهات والمكروهات). Ilmu-ilmu di atas merupakan ilmu yang paling mulia dan wajib dipelajari oleh setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan, karena ilmu-ilmu tersebut menjadi wasilah (perantara) yang akan menghantarkan pemiliknya untuk meraih derajat taqwa, suatu derajat yang akan menjamin pemiliknya medapatkan karomah (kemulian) di sisi Allah SWT serta kebahagiaan yang abadi, baik di dunia maupun akhirat.  

Dewasa  ini banyak santri yang mengkaji ilmu pengetahuan, namun tidak mampu menghayati dan mengamalkannya. Hal ini disebabkan karena mereka tidak memperhatikan syarat-syarat pencarian ilmu dan tidak menempuh metode yang telah digariskan oleh para ulama terdahulu. Pepatah Arab menyatakan :

وكل من أخطاء الطريق ضل ولا ينال المقصود قل أ و جل

“Barangsiapa salah jalan, maka akan tersesat dan tidak akan meraih tujuan, baik sedikit maupun banyak”.

 

Sehubungan dengan hal tersebut, maka buku ini akan menjelaskan tentang akhlak santri, kyai (guru) dan wali santri yang antara lain akan menjelaskan tentang metode dalam menggali ilmu pengetahuan, di samping nilai-nilai spiritual yang harus dimiliki dan diamalkan baik oleh santri, kyai (guru) maupun para wali santri sehingga membantu menghantarkan anak-anak kita meraih sukses di dunia dan akhirat.

 



URGENSI AKHLAK DALAM ISLAM

 

 

A. Pengertian  Akhlak

 

Ditinjau dari segi bahasa, kata akhlaq berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk jamak (plural) dari kata khilqun atau khuluqun, yang berarti perangai, tabiat, watak dasar, budi pekerti, kebiasaan, tingkah laku,  atau sopan santun.[1] Secara linguistik (kebahasaan), kata akhlaq merupakan isim jamid atau ghairu musytaq, yakni kata benda yang tidak mempunyai akar kata, melainkan muncul begitu saja sehingga tidak bisa ditashrif (non derivatif). Kata akhlak dapat dijumpai dalam al-Hadits, tetapi tidak disebutkan dalam al-Qur'an. Sebaliknya bentuk tunggalnya (khuluq), dapat dijumpai di dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Seperti dalam surat al-Qalam (68) ayat 4:

وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ

 “Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang luhur”.

 

Demikian juga dalam surat al-Syu’ara (26) ayat 137 :

 

اِنْ هٰذَآ اِلَّا خُلُقُ الْاَوَّلِيْنَ 

“(Agama Kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu”

 

Kata khuluq pada surat al-Qalam (68) ayat 4 di atas menunjukkan arti budi pekerti, sedangkan pada surat al-Syu’ara (26) ayat 137 menunjukkan arti adat kebiasaan. Adapun penggunaan kata akhlaq dan khuluq dalam hadits, antara lain adalah sabda Rasululah SAW yang diriwayatkan Imam Ahmad sbb. :

 

إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق 

“Sesungguhnya aku diutus Allah  untuk menyempurnakan keluhuran budi pekerti”.

 

Demikian juga sabda Rasululah SAW yang diriwayatkan Imam al-Turmudzi sbb. :

 

أكمل المؤمنين  إيما نا أحسنهم خلقا

”Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang mukmin yang paling baik budi pekertinya"

 

Sedangkan menurut istilah, para ulama merumuskan berbagai macam definisi, yang antara lain adalah sbb. :

 

1.      Menurut Ibnu Maskawih[2] dalam kitabnya Tahdzib al-Akhlaq :

 

الأخلاق هي حال النفس داعية لها إلى أفعالها من غير فكر وروية

 

"Akhlaq adalah daya kekuatan jiwa yang mendorong seseorang untuk bersikap, berprilaku dan melakukan suatu perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikirkan dan dipertimbangkan lagi”.[3]

 

2.  Menurut Imam al-Ghazali :

 

الأخلاق هي عبارة عن هيئة في النفس راسخة عنها تصدر الأفعال بسهولة ويسر من غيرحاجة إلى فكر وروية فإن كانت الهيئة بحيث  تصدر عنها الأفعال الجميلة والمحمودة عقلا وشرعا سميت تلك الهيئة خلقا حسنا وإن كان الصادر عنها الأفعال القبيحة سميت تلك الهيئة خلقا سيئا

 ”Akhlaq adalah suatu keadaan (sikap) yang mengakar di dalam jiwa yang darinya muncul berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Jika dari sikap batin tersebut lahir perbuatan yang baik dan terpuji, maka ia disebut akhlak yang baik. Dan jika yang lahir dari sikap batin tersebut perbuatan yang tercela, maka ia disebut akhlak yang buruk”.

 

Berdasarkan definisi di atas dapat dirumuskan, bahwa akhlak pada dasarnya adalah sikap batin yang melekat pada diri seseorang yang secara spontan tercermin dalam sikap, tingkah laku atau perbuatan yang tampak. Hal ini dapat terjadi karena didasarkan pada watak yang dibawa sejak lahir, atau boleh jadi karena didasarkan pada latihan dan kebiasaan.  Dalam kerangka ini, Nabi Muhammad diutus oleh Allah sebagai seorang Rasul yang bertugas untuk menyempurnakan budi pekerti manusia. Sebagaimana telah beliau sabdakan :

 

إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق

 

“Sesungguhnya aku diutus Allah  untuk menyempurnakan keluhuran budi pekerti”.

 

 

B. Akhlak, Etika dan Moral

 

Di samping  akhlak kita juga mengenal istilah etika dan moral. Etika berasal dari bahasa Yunani “Ethos” yang berarti adat istiadat, kebiasaan baik, moral, atau karakter. Etika merupakan filsafat moral untuk mendapatkan petunjuk tentang perilaku yang baik, nilai-nilai yang benar dan aturan-aturan pergaulan yang baik dalam hidup bermasyarakat dan kehidupan pribadi seseorang. Etika bertujuan agar manusia hidup bermoral baik dan berkepribadian, sesuai etika atau moral yang dianut oleh kesatuan atau lingkungan hidupnya.

Etika atau moral ini menimbulkan kaidah-kaidah atau norma-norma etika yang mencakup teori nilai tentang hakikat apa yang baik dan apa yang buruk dan teori tentang perilaku (conduct) tentang perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk.

Moral berkaitan erat dengan pandangan hidup, agama, atau kepercayaan ataupun adat kebiasaan masyarakat yang bersangkutan. Bangsa Indonesia mempunyai Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara dan sebagai pandangan hidup serta jati diri Bangsa Indonesia, sehingga nilai-nilai Pancasila harus menjadi landasan etika atau moral bangsa kita.

Menurut istilah, etika adalah suatu sistem nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Dengan demikian obyek pembahasan etika adalah kebiasaan-kebiasaan manusia yang terdapat di dalam konvensi atau kesepakatan. Misalnya  kesepakatan nilai dalam berbusana, etika dalam berbicara dan bergaul dengan orang lain. Dengan kata lain, makna etika di samping sebagai penilaian terhadap perbuatan seseorang, ia juga merupakan suatu predikat dari perbuatan-perbuatan seseorang. Oleh karena itu, etika acapkali dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang menetapkan ukuran-ukuran atau kaidah-kaidah yang mendasari pemberian tanggapan atau penilaian terhadap perbuatan-perbuatan.[4]

 

Etika seringkali dikaitkan dengan profesi tertentu sehingga disebut Etika Profesi, yaitu suatu etika moral yang secara khusus diciptakan untuk kebaikan jalannya profesi yang bersangkutan, karena setiap profesi mempunyai identitas, sifat atau ciri dan standar profesi sendiri, sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

Profesi berbeda dengan pekerja. Pekerja adalah orang yang melakukan sesuatu kegiatan, dan bertujuan mencari sumber nafkah guna mendapatkan upah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Sedangkan profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi dengan persyaratan adanya keahlian khusus, serta tersedia wadah untuk memberikan dukungan kepada penyandang profesi.

 

Sedangkan moral berasal dari bahasa latin mores bentuk jama’ dari kata mos yang berarti adat kebiasaan atau susila. Suatu perbuatan atau tindakan dinilai bermoral, jika perbuatan atau tindakan tersebut dapat diterima dengan baik dan wajar oleh kelompok sosial atau lingungan tertentu; atau sesuai dengan ide-ide atau ukuran-ukuran atau nilai-nilai yang berlaku dalam sebuah kelompok sosial atau lingkungan tertentu. Moral adalah suatu kelakuan atau tindakan yang sesuai dengan ukuran-ukuran atau nilai-nilai masyarakat, yang timbul dari hati seseorang (bukan paksaan dari luar) dan disertai oleh rasa tangung jawab atas kelakuan atau tindakan  tersebut. Dengan demikian, moral selalu dikaitkan dengan ajaran baik dan buruk yang diterima oleh masyarakat secara umum.

 

Dalam sejarah filsafat, terdapat banyak aliran tentang moral atau etika. Sebagian menyatakan bahwa etika bersandar pada Kebenaran Abadi dan ada pula yang berpendapat bahwa etika sangat erat berhubungan dengan situasi dan kondisi suatu lingkungan. Sungguh pun pengertian dan sumber akhlak, etika serta moral mempunyai perbedaan, namun ketiganya memiliki kesamaan mengenai obyek pembahasannya, yakni segala sesuatu yang berhubungan dengan nilai baik dan buruk, serta keindahan dan kejelekan.

 

Pada dasarnya, konsep akhlak dalam Islam memiliki cakupan yang sangat luas, karena akhlak berarti agama itu sendiri. Akhlak dalam pengertian ini meliputi hubungan antara manusia dengan dirinya, dengan Tuhannya, dengan orang lain dan dengan lingkungannya. Akhlak merupakan cermin dari apa yang ada di dalam jiwa seseorang. Akhlak yang baik merupakan dorongan keimanan seseorang, karena keimanan harus ditampilkan dalam perilaku nyata sehari-hari. Oleh karena itu, akhlak bersifat universal dan abadi, sedangkan moral dan etika bersifat local dan temporal.

 

Dalam perkembangannya, akhlak sering dipahami sebagai tabiat atau sifat manusia serta sopan santun dalam kehidupan sehari-hari, seperti akhlak kepada orang tua, kepada orang yang lebih muda, kepada guru dan lain-lain. Akhlak dalam pengertian ini sama dengan moral dan etika pergaulan hidup yang  kemudian berkembang menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri.

 

Sebagai sebuah disiplin tersendiri, ilmu akhlak mempelajari tentang prilaku hidup yang seharusnya dan  tidak seharusnya dijalankan oleh manusia. Ilmu akhlak kemudian membagi prilaku manusia kepada dua kelompok besar, yakni prilaku yang terpuji (al-akhlaq al-mahmudah) dan prilaku yang tercela (al-akhlaq al-madzmumah). Baik atau buruknya suatu akhlak dalam Islam, diukur dengan nilai-nilai yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadist, sebagai pedoman hidup umat manusia.

 

C. Akhlak Santri, Ulama (Kyai/Guru) dan Wali Santri :

 

Ditinjau dari segi bahasa, kata ”santri” berasal dari bahasa Tamil  (India) ”shastri” yang berarti guru mengaji atau orang yang paham tentang buku-buku suci, karena kata  shastri merupakan turunan dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku ilmu pengetahuan.[5] Dalam perkembangannya di Indonesia, kata santri bermakna orang yang mempelajari ilmu-ilmu agama, khususnya yang bermukin di lembaga pendidikan pondok pesantren, sementara sang guru disebut kyai. Santri juga berarti sekelompok masyarakat muslim yang taat menjalankan ajaran-ajaran agama Islam, baik dalam bidang aqidah, syari’ah maupun al-akhlak al-karimah, khususnya dalam beribadah kepada Allah SWT. Lawan katanya adalah “abangan” (kelompok merah), yaitu sekelompok masyarakat yang beragama Islam, tetapi tidak atau kurang taat dalam menjalankan ajaran agama Islam.

 

Sebagian ulama berpendapat, bahwa kata “santri” adalah sebuah akronim yang terdiri dari 5 (lima) huruf yang merupakan singkatan dari kalimat sbb. :

 

1.     Sin (س) adalah kepanjangan dari الخَيْرِ سابق  yang berarti pelopor kebaikan.

2.     Nun (ن) adalah kepanjangan dari العُلَمَاءِ   نَائبُ yang berarti (calon)  pengganti atau penerus ulama.

3.     Ta (ت) adalah kepanjangan dari الْمَعَاصِى   تَارِكُ yang berarti orang yang meninggalkan kemaksiatan.

4.     Ra(ر)  adalah kepanjangan dari  اللهِ رِضَى yang berarti (orang yang mencari) ridho Allah.

5.     Ya (ي) adalah kepanjangan dari اَلْيَقِيْنُ yang berarti (orang yang memiliki) keyakinan (keimanan).

 

Sementara itu sebagian ulama yang lain berpendapat, bahwa kata “santri” adalah sebuah akronim yang terdiri dari 5 (lima) huruf yang merupakan singkatan dari kalimat sbb. :

 

1.       Sin (س) adalah kepanjangan dari  الاخَرةِ سالك الى  yang berarti orang yang berjalan menuju akhirat sehingga semua aktivitasnya berorientasi untuk meraih ridla Allah SWT  dan kebahagiaan hidup di dunia serta akhirat.

2.       Nun (ن) adalah kepanjangan dari العُلَمَاءِ نَائبُ عن yang berarti calon  pengganti atau penerus ulama. Oleh karena itu, santri adalah orang yang siap menggantikan kedudukan para ulama yang sholih dan cintai Allah SWT, terutama sesudah para ulama wafat. 

3.       Ta (ت) adalah kepanjangan dari الْمَعَاصِى   تَائب من yang berarti orang yang bertaubat dari kemaksiatan. Yakni santri adalah orang yang ketika terlanjur berbuat dosa, segera menyadari kesalahannya kemudian segera bertaubat untuk membersihkan diri dari berbagai kotoran dosa yang dapat menjadi penghalang dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT.

4.       Ra(ر)  adalah kepanjangan dari   راغب في الخيراتyang berarti orang yang senang berbuat baik dengan beribadah kepada Allah SWT dan membantu sesama manusia.

5.       Ya (ي) adalah kepanjangan dari   يرجو رضاالله والسعادة في الدارينyang berarti orang yang mengharapkan ridla Allah SWT  dan kebahagiaan hidup di dunia serta akhirat.

 

Sementara itu sebagian ulama yang lain berpendapat, bahwa kata “santri” adalah sebuah akronim yang terdiri dari 5 (lima) huruf yang merupakan singkatan dari kalimat sbb. :

 

1.       Sin (س) adalah kepanjangan dari  سا فر  الى المعهد لطلب العلم yang berarti (orang yang) pergi ke pondok pesantren dengan tujuan untuk mencari ilmu.

2.       Nun (ن) adalah kepanjangan dari نَال كثيرا من العلم والحكمة yang berarti (orang yang) meraih ilmu dan hukmah yang banyak.

3.       Ta (ت) adalah kepanjangan dari  على منهج اهل السنة والجماعة  تمسك دين الاسلام yang berarti (orang yang) berpegang teguh terhadap ajaran-ajaran agama Islam menurut faham Ahlus Sunnah wal Jamaah.

4.       Ra(ر)  adalah kepanjangan dari   رجع الى بلده للدعوة yang berarti (orang yang) kembali ke daerahnya untuk melaksanakan kegiatan dakwah di tengah-tengah masyarakatnya.

5.       Ya (ي) adalah kepanjangan dari   يؤسس معهدا مباركا لنشر العلم وتربية كوادير العلماءyang berarti (orang yang) mendirikan pondok pesantren yang penuh berkah untuk menyebar luaskan ilmu pengetahuan dan mendidik para kader ulama dengan niat ikhlas semata-mata mengharapkan ridla Allah SWT  dan kebahagiaan hidup di dunia serta akhirat.

Berdasarkan urian di atas dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud “Akhlak Santri, Kyai (Guru) dan Wali Santri” adalah; akhlak yang seharusnya difahami, dihayati, dimiliki dan diamalkan oleh para santri, kyai (guru) dan wali santri dalam kehidupan sehari-hari, terutama para santri yang sedang dalam proses tholab al-ilmi (mencari ilmu pengetahuan) di lembaga pendidikan Islam Pondok Pesantren. Pada dasarnya Akhlak Santri, Kyai (Guru) dan Wali Santri adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Akhlak Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan al-Hadist, sebagai pedoman hidup umat manusia, khususnya dalam menentuan nilai-nilai baik dan nilai-nilai buruk terhadap prilaku manusia.   

 

 

D. Karakteristik Akhlak dalam Islam :

 

 

Pada dasarnya, konsep akhlak dalam Islam –yang menjadi rujukan akhlak santri, kyai (guru) dan wali santri-- memiliki cakupan yang sangat luas, karena akhlak berarti agama itu sendiri. Di antara ciri-ciri khas atau karakteristik akhlak Islam  yang membedakan dengan moral dan etika adalah sbb. :

 

1.      Bersumber dari wahyu al-Qur’an dan al-Sunnah. Akhlak Islam bersumber dari wahyu al-Qur’an dan al-Sunnah yang memiliki kebenaran mutlak dan berlaku sepanjang masa, dimana saja dan kapan saja. Hal ini berbeda dengan moral dan etika yang bersumber dari adat istiadat suatu masyarakat yang bersifat relatif dan boleh jadi berbeda standartnya antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.

 

2.      Berhubungan erat dengan aspek Aqidah dan Syari’ah. Akhlak dalam Islam tidak berdiri berdiri, tetapi berhubungan erat dengan aspek aqidah (keimanan) dan syari’ah (hukum-hukum Islam yang bersifat praktis, baik dalam bidang ibadah, mu’amalah, jinayah maupun lainnya).  

 

3.      Bersifat Universal. Akhlak dalam Islam, bersih dan bebas dari tendensi (kecenderungan) rasialisme. Apa yang berlaku bagi umat Islam berlaku pula bagi non muslim. Mencuri hukumnya haram, baik terhadap harta orang muslim maupun harta non muslim. Zina hukumnya haram, baik terhadap orang Islam maupun non muslim. Seorang muslim dan non muslim sama-sama berhak mendapatkan keadilan di depan pengadilan.

 

4.      Bersifat Komprehensif (menyeluruh). Akhlak dalam Islam mencakup akhlak terhadap diri sendiri; hubungan dengan Allah SWT; dengan sesama manusia dan alam lingkungan. Hal ini berbeda dengan moral dan etika yang hanya menekankan hubungan baik dengan sesama manusia dan lingkungannya. Dalam pandangan masyarakat Barat, mengkonsumsi minuman keras, berjudi dan berzina tidaklah melanggar moral dan etika, sepanjang hal itu dilakukan atas dasar suka sama suka, bukan paksaan (perkosaan). Sebaliknya, dalam pandangan Islam, perbuatan tersebut selain melanggar hukum (syari’ah), juga tidak sesuai bahkan bertentangan dengan  al-akhlak al-karimah.  

 

5.      Bersifat Tawazun (keseimbangan). Islam menghendaki agar umatnya tidak melampaui batas dalam segala hal. Keseimbangan merupakan sifat dasar ajaran Islam, baik keseimbangan antara jasmani dan rohani; keseimbangan antara hubungan dengan Allah (hablun min Allah) dan hubungan sesama manusia (hablun min al-nas); maupun keseimbangan antara urusan dunia dengan akherat. Keseimbangan mencakup hak dan kewajiban, tidak boleh memberikan kepada individu hak–hak yang berlebihan yang mengakibatkan kebebasan tanpa batas, juga tidak boleh memberikan kewajiban kepada individu yang berlebihan sehingga sangat memberatkan. Keseimbangan dan keserasian, merupakan sifat dasar akhlak dalam Islam.

 

6.      Sesuai dengan Fitrah. Islam datang dengan membawa ajaran yang sesuai dengan fitrah manusia, karena agama Islam datang dari Allah, sedangkan manusia dengan segala macam fitrahnya juga diciptakan oleh Allah SWT. Oleh karena itu, sangat mustahil jika ajaran-ajaran agama Islam bertentangan dengan fitrah manusia. Islam mengakui eksistensi manusia apa adanya dengan segala dorongan kejiwaannya, kecenderungan fitrahnya; Islam menghaluskan fitrah dan memelihara kemuliaan manusia dengan hukum–hukum dan ketentuan-ketentuannya. Jika manusia melampui hukum–hukum dan ketentuan-ketentuan Allah SWT, maka dapat dipastikan mereka akan terjerumus ke dalam lembah yang hina. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat Attin (QS. 95) : 45 :


لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ

ثُمَّ رَدَدْنٰهُ اَسْفَلَ سَافِلِيْنَۙ

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik – baiknya kemudian Kami kembalikan dia ke tempat serendah – rendahnya”.

Pada dasarnya, semua manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, yaitu bersih dan cenderung kepada hal-hal yang baik, sebagaimana diungkapkan oleh hadits Nabi SAW:

 

ما من مولود الا يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه

 

"Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan suci (Islam). Maka ibu-bapaknya lah yang menjadikannya beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi".

 

    Dalam konteks inilah, ketika Rasulullah SAW ditanya mengenai apakah kebaikan itu ? Beliau menjawab sbb. :

 

استفت قلبك البر ما اطمأنت إليه النفس واطمأن إليه القلب والإثم ما حاك فى النفس وترد د فى الصدور

 

“Tanyakanlah kepada hatimu! Kebaikan adalah sesuatu yang menentramkan jiwa dan menenangkan hati, sedang dosa (keburukan) ialah sesuatu yang mengacaukan jiwa dan menimbulkan kebimbangan di dalam hati”.

 

Kecenderungan manusia kepada kebaikan ini terbukti dengan adanya persamaan konsep-konsep pokok moral pada setiap peradaban. Misalnya, semua peradaban manusia sejak zaman dahulu menganggap hubungan seks dengan sesama anggota keluarga (incest) adalah sesuatu yang buruk. Demikian pula mengenai kebohongan, kesombongan, sikap pengecut, iri hati, dan lain-lain. Sebaliknya, semua peradaban dunia memandang kejujuran,  sikap tawadlu’ (low profile), dan ksatria sebagai suatu sikap yang baik. Akan tetapi, ketika berhubungan dengan lingkungan, norma-norma moral kemudian berinteraksi dengan ruang dan waktunya masing-masing. Masyarakat di Eropa dewasa ini mungkin memandang bahwa hubungan seks di luar nikah adalah sesuatu yang lumrah adanya. Demikian pula hubungan antara orang tua dengan anak. Oleh sebab itu, moral atau akhlak harus memiliki suatu rujukan yang bersifat universal dan abadi. Rujukan yang universal dan abadi tersebut adalah agama Islam yang sesuai dengan fitrah manusia. Sebagaimana difirmankan dalam surat ar-Rum ayat 30 :

فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَۙ

  

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.

 

 Yang dimaksud Fitrah Allah adalah ciptaan Allah. Manusia diciptakan oleh Allah SWT memiliki naluri beragama, yaitu agama tauhid. Oleh karena itu, kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka yang tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh lingkungan.

 

Dengan demikian, fungsi agama (Islam) dalam konteks ini adalah untuk memelihara fitrah yang telah digariskan oleh Allah SWT di dalam diri manusia supaya tidak menyimpang karena adanya interaksi dengan ruang dan waktu.

 

7.  Bersifat positif dan optimis. Islam mengajarkan, bahwa kehidupan adalah sebuah anugerah Allah yang harus diisi dengan amal shaleh. Oleh karena itu, manusia harus mengaktualisasikan dan memanfaatkan segala macam potensi yang dianugerahkan oleh Allah SWT untuk melakukan amal kebaikan yang bermanfaat bagi dirinya, keluarganya dan masyarakat luas, dengan penuh keyakinan dan optimisme, serta melawan pesimisme (keputusasaan), kemalasan dan segala bentuk penyebab kelemahan. Rasulullah SAW berpesan kepada umatnya agar bekerja keras untuk memakmurkan kehidupan sampai detik terakhir usia dunia. Beliau bersabda :  “Jika kiamat telah (hampir) terjadi sedangkan di tangan salah seorang di antara kamu sekalian ada anak pohon yang ingin ditanamnya, maka hendaklah dia menanamnya hingga  kiamat benar-benar terjadi”

 

Islam mencela sikap frustasi, pasif dan apatis. Oleh karena itu, kita harus tetap tegar dalam berjuang menghadapi kerusakan sosial, dekadansi moral dan segala bentuk ketidak adilan. Rasulullah SAW telah memberikan petunjuk kepada kita, bila kita melihat kemungkaran kita wajib memberantasnya dengan tangan (kekuasaan). Bila tidak mampu dengan tangan maka dengan lisan, jika tidak mampu dengan lisan maka dengan hati, dan ini adalah selemah–lemahnya iman. Umat Islam pantang putus asa. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat Yusuf QS. 12 : 87 :

ولا تيأسوا من رحمة الله إنا لم ييأس أحد من رحمة الله إلا الكفار.

”Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah kecuali umat kafir”.

 

E. Kedudukan Akhlak dalam Islam :

Akhlak mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam. Bahkan tujuan utama terutusnya Rasulullah SAW kepada seluruh manusia dan jin adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (al-akhlak al-karimah). Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih :

انما بعثت لاتمم مكارم الاخلاق

“Sesunguhnya aku diutus (oleh Allah SWT) untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”

Bahkan, akhlak merupakan pondasi sekaligus puncak dari keimanan dan keislaman seseorang. Hadratus Syeh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim menyatakan, bahwa pada hakikatnya, orang yang tidak beradab (berakhlak) adalah orang yang tidak beriman dan tidak bertegang teguh pada syari’at agama Islam. Beliau mengutip ucapan sebagian ulama sbb. :

وقال بعضهم التوحيد يوجب الايمان فمن لا ايمان له لاتوحيد له. والايمان يوجب الشريعة فمن لاشريعة له لا ايمان له ولا توحيد له. و الشريعة توجب الاد ب.  فمن لااد ب له لاشريعة له لا ايمان له ولا توحيد له.

“Sebagian ulama berkata; ‘Tauhid (mengesakan Allah SWT) mengharuskan adanya iman. Barangsiapa tidak beriman, maka tidak ada tauhid baginya. Iman mengharuskan adanya syari’at. Barangsiapa tidak memiliki (mengamalkan) syari’at, maka tidak ada iman dan tauhid baginya. Syari’at mengharuskan adanya adab (akhlak). Oleh karena itu, barangsiapa tidak berhias diri dengan adab (akhlak), maka pada hakikatnya ia tidak mengamalkan syari’at, juga tidak memiliki iman dan tauhid”.[6]


F. Tujuan Mempelajari & Mengamalkan Ilmu Akhlak :

Di antara tujuan mempelajari dan mengamalkan Ilmu Akhlak bagi para santri, kyai (guru) dan wali santri adalah sbb. :

1.   Agar para santri, kyai (guru) dan wali santri menjadi orang-orang yang bertaqwa kepada Allah SWT (al-muttaqin). Berbeda dengan moral dan etika yang hanya mengatur hubungan sosial antar sesama manusia, akhlak dalam Islam, selain mengatur hubungan sosial (hablun min al-nas); juga mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT (hablun min Allah), bahkan terhadap diri sendiri dan makhluk lain di sekelilingnya, termasuk flora dan fauna. Dengan mempelajari dan mengamalkan ilmu akhlak Islam secara utuh dan sempurna, maka diharapkan para santri, kyai (guru) dan wali santri menjadi orang-orang yang bertaqwa kepada Allah SWT (al-muttaqin) yang selalu berusaha melaksanakan seluruh perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-larangan-Nya, karena mereka yaqin dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT melihat dan memperhatikan hati, ucapan dan amal perbuatan setiap manusia. Dengan menjadi orang-orang yang bertaqwa kepada Allah SWT (al-muttaqin), maka dapat dipastikan para santri, kyai (guru) dan wali santri akan meraih berbagai kemudahan hidup, termasuk dalam mendapatkan ilmu pengetahuan dan meraih rizki dari jalan yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Thalaq ayat 2- 3 :

ذٰلِكُمْ يُوْعَظُ بِهٖ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ ەۗ وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا ۙ

 

”Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya”.

             Demikian juga difirmankan dalam surat al-Thalaq ayat 4 :

وَاُولَاتُ الْاَحْمَالِ اَجَلُهُنَّ اَنْ يَّضَعْنَ حَمْلَهُنَّۗ وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مِنْ اَمْرِهٖ يُسْرًا

وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ

”Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”.

2.      Agar para santri, kyai (guru) dan wali santri dapat menjalani hidup dengan damai, tenang dan harmonis. Dengan mempelajari dan mengamalkan ilmu akhlak dalam Islam secara utuh dan sempurna, maka diharapkan para santri, kyai (guru) dan wali santri berhias diri dengan al-akhlak al-karimah sehingga memiliki hati yang suci dan jiwa yang bersih yang tercermin dalam bentuk ucapan dan perbuatan yang terpuji. Kata-kata yang meluncur dari lidahnya selalu jujur dan benar serta memberikan kesejukan dan kedamaian bagi orang-orang yang ada di sekelilingnya. Mereka selalu berusaha menghindari kata-kata bohong, tidak benar dan kasar atau kata-kata yang menimbulkan ketersinggungan atau sakit hati orang lain. Mereka selalu berusaha untuk bersikap dan berprilaku yang baik dan terpuji. Mereka selalu berusaha mendamaikan orang-orang yang sedang bermusuhan, bukan sebaliknya mengompori orang-orang yang damai agar bermusuhan dengan menyebarkan fitnah dan berita hoax. Mereka saling menyayangi dan menghormati; saling tolong menolong dan bantu membantu sesuai dengan perintah Allah SWT dan Rasulullah SAW. Dengan cara demikan, dapat dipastikan para santri, kyai (guru) dan wali santri dapat menjalani hidup di dalam pondok pesantren dengan damai, tenang dan harmonis, penuh dengan kasih sayang. Mereka saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran, menahan emosi serta saling memaafkan jika terjadi kesalahan.

3.     Agar para santri meraih ilmu yang bermanfaat, para kyai (guru) meraih pahala yang mengalir dari ilmu yang ditransformasikan kepada para santrinya; dan para wali santri memiliki anak sholeh yang sealalu mendokan kepada kedua orang tuanya.  Dengan mempelajari dan mengamalkan ilmu akhlak dalam Islam secara utuh dan sempurna, maka diharapkan para santri, kyai (guru) dan wali santri meneladani akhlak Rasulullah SAW, para sahabat, tabi’in dan para al-salaf al-shalih sehingga para santri akan meraih ilmu yang bermanfaat serta meraih sukses dalam melaksanakan dakwah di tengah-tengah masyarakat. Jika para santri berhias diri dengan al-akhlak al-karimah maka kehadlirannya dapat diterima oleh masyarakat sekelilingnya. Jika masyarakat merasa senang dengan kehadliran santri, maka mereka bersedia mendengarkan dan mengamalkan ilmu yang diajarkan atau materi yang didakwahkan oleh santri tersebut, sehingga ilmunya bemanfaat bagi masyarakat sekitarnya. Sebaliknya jika santri berakhlak tercela, maka masyarakat akan bersikap anti pati sehingga tidak akan mau mendengarkan apalagi mengamalkan materi dakawah yang disampaikan oleh santri tersebut. Sebagaimana dikatakan oleh Syeh Muhammad Syakir :

 يا  بني إذا لم تزين علمك بكرم اخلاقك كان علمك اضر عليك من جهلك فان الجاهل معذور بجهله ولاعذر للعالم اذا لم يتجمل بمحاسن الشيم

”Wahai anakku. Jika engkau tidak menghiasi ilmumu dengan akhlak yang mulia, maka ilmumu lebih berbahaya bagimu dibanding dengan kebodohanmu. Karena orang yang bodoh (jika berbuat salah) masih bisa dimaklumi karena kebodohannya. Akan tetapi orang yang pandai jika tidak berhias diri dengan akhlak yang terpuji, tidak akan dimaafkan”.


     



BAB 2

AKHLAK SANTRI




AKHLAK KEPADA DIRI SENDIRI


 

                                                                     

 

 

 

 

 

AKHLAK SANTRI


 

AKHLAK KEPADA DIRI SENDIRI

 

 

Berbeda dengan etika atau moral di luar Islam yang hanya mengatur atau menekankan etika social (hubungan seseorang dengan orang lain dalam kehidupan bermasyarakat), akhlak dalam Islam memiliki spektrum )ruang lingkup pembahasan) yang sangat luas. Selain mengatur hubungan antar sesama manusia dalam kehidupan masyarakat (علاقة الانسان للغير في الحياة الاجتماعية ), akhlak dalam Islam juga mengatur hubungan manusia kepada Allah SWT, Dzat Yang Maha Pencipta dan Pengatur kehidupan manusia dan alam semesta(علاقة الانسان لله)  serta hubungan manusia dengan dirinya sendiri  (علاقة الانسان لنفسه).

Pada dasarnya, akhlak manusia  terhadap diri sendiri adalah sifat yang melekat dalam diri seseorang yang mencerminkan komitmen dan tanggung jawabnya terhadap keselamatan, kebaikan, dan kemuliaan dirinya yang bertujuan untuk mewujudkan hal-hal sbb. :

1.      Memelihara  agama (حفظ الدين), yaitu komitmen seseorang untuk melaksanakan seluruh ajaran agama Islam yang diyakini kebenarannya, baik dalam bidang aqidah, syari’ah maupun akhlak dan tasawuf. Hal ini dapat terjadi, jika dalam dirinya telah tertanam kewajiban untuk melaksanakan shalat, berpuasa, membayar zakat, menunaikan ibadah haji dsb serta meninggalkan perbuatan dosa seperti ghibah, namimah dan menebar fitnah. Dengan demikian dia akan merasa bersalah atau merasa berdosa jika meninggalkan perintah agama atau melakukan perbuatan maksiat yang dilarang oleh agama, karena menyadari bahwa hal itu akan mendatangkan murka dan ‘adzab Allah SWT. Sebagaimana difirmankan dalam surat An-Nisa’ ayat 59 :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu

 

2.      Memelihara jiwa  (حفظ النفس), yaitu komitmen seseorang untuk melindungi jiwanya dari hal-hal yang membahayakan (ضرر)  dengan mencampakkan dirinya pada kerusakan (kebinasaan), melukai diri sendiri, usaha pembunuhan atau bunuh diri. Sebagaimana difirmankan dalam surat al-Baqarah ayat 195 :

وَاَنْفِقُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَاَحْسِنُوْا ۛ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

 

         Juga firman-Nya dalam surat al-Nisa’ ayat 29 :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا

Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

 

3.      Memelihara akal  (حفظ العقل), yaitu komitmen seseorang untuk memanfaatkan akal yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT untuk berpikir logic dan ilmiah; mengali dan mengembangkan ilmu pengetahuan setinggi mungkin serta melindunginya dari hal-hal yang membahayakan (ضرر) seperti minuman keras, narkoba dan zat-zat adiktif lainnya. Sebagaimana difirmankan dalam surat al-Maidah ayat 90 - 91 :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ(90)إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ(91)   

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”.

4.      Memelihara keturunan  (حفظ النسل), yaitu komitmen seseorang untuk memelihara keturunan dengan cara menghindari pezinaan. Karena, selain merupakan perbuatan keji yang dimurkai Allah SWT dan menimbulkan berbagai macam penyakit kelamin seperti HIV AIDS, zina juga menjadi penyebab lahirnya anak-anak atau keturunan yang lahir dengan cara haram, meskipun mereka tidak ikut memikul beben dosa akibat perbuatan orang tuanya. Oleh karena itu, Allah SWT secara tegas mengharamkan perbuatan zina sehingga wajib dihindari. Sebagaimana difirmankan dalam surat al-Isra’ ayat 32 :

 

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”.

5.     Memelihara harta atau properti  (حفظ المال), yaitu komitmen seseorang untuk memelihara harta atau properti yang telah dianugerahkan Allah SWT kepadanya dengan cara membelanjakan atau memanfaat harta benda di jalan yang benar sesuai dengan petunjuk-Nya, tidak merusaknya, juga tidak tabdzir atau berfoya-foya. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Furqon ayat 67 :

وَالَّذِيْنَ اِذَآ اَنْفَقُوْا لَمْ يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُوْا وَكَانَ بَيْنَ ذٰلِكَ قَوَامً

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.

 

 Akhlak manusia  terhadap diri sendiri  (علاقة الانسان لنفسه), tercermin pada sifat-sifat positif sbb.

1.      Shidiq, yakni jujur dan benar baik dalam pikiran, ucapan maupun perbuatan. Umat Islam khususnya para santri harus menghiasi diri dengan kejujuran, karena jujur merupakan sifat yang akan memperkokoh dan menjamin integritas kepribadian seseorang, baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial. Di antara contoh kongkret dari sifat al-shidqu adalah bersatunya ucapan dengan perbuatan sehingga perbuatan tidak berbeda apalagi bertentangan dengan ucapan. Jika berjanji maka akan dipenuhi, tidak diingkari. Seseorang yang tidak jujur, maka akan terjermus dalam kemaksiatan, kemunafikan, bahkan akan terjerumus ke dalam neraka jahannam. Na’udzu Billahi dan dzalik. Sebagaimana telah disabdakan oleh Rasululah SAW dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dari sahabat Abdullah ibn Mas’ud RA. :

 

ان الصد ق يهدي الى البر وان البر يهدي الى الجنة وان الرجل ليصد ق حتى يكتب  عند الله صد يقا وان الكذب يهدي الى الفجوروان الفجور يهدي الى النا روان الرجل ليكذب  حتى يكتب  عند الله كذابا (متفق عليه)

“Sesungguhnya kejujuran akan menunjukkan kepada kebaikan. Dan sesungguhnya kebaikan akan menunjukkan kepada surga. Jika seseorang bersikap jujur, maka akan ditulis di sisi Allah sebagai orang yang sangat  jujur. Dan sesungguhnya kebohongan akan menunjukkan kepada kejahatan. Dan sesungguhnya kejahatan akan menunjukkan kepada neraka. Jika seseorang bersikap pembohong, maka akan ditulis di sisi Allah sebagai orang yang sangat pembohong”. (Hadits disepakati oleh Imam ala-Bukhari dan Imam Muslim).[1]

2.      Amanah, yakni dapat dipercaya. Umat Islam khususnya para santri harus bersifat amanah atau memiliki integritas moral sehingga tidak menipu, tidak berkhianat, tidak menyalah-gunaan jabatan dan kekuasaan serta selalu berusaha mengemban tugas yang dibebankan kepadanya dengan sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya. Sebagaimana sifat al-shidqu (jujur), al-amanah juga merupakan sifat yang akan memperkokoh dan menjamin integritas kepribadian seseorang, baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial. Kedua sifat ini harus dimiliki oleh setiap orang yang beragama Islam karena merupakan kunci kesuksesan seseorang dalam hidup bermasyarakat. Jika sesorang menghiasi dirinya dengan kedua sifat ini, dapat dipastikan hidupnya akan sukses. Sebaliknya, jika mengabaikan kedua sifat ini, pasti hidupnya akan gagal. Sehubungan dengan itu, Allah SWT telah memerintahkan ummat Islam untuk melaksanakan amanat dengan baik. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Nisa’ ayat 58 :

 

۞ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا

 “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.

 

3.      Tawadlu’ (rendah hati). Umat Islam khususnya para santri harus bersifat tawadlu’ atau rendah hati, sehingga semakin banyak ilmunya, semakin tinggi pangkat dan kedudukannya, semakin banyak harta dan pengaruhnya akan semakin bersikap tawadlu’ karena menyadari, bahwa semua yang dimiliki adalah karunia sekaligus amanah dari Allah SWT sehingga wajib disyukuri bukan untuk disombongkan. Sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Sulaiman ketika beliau berhasil memindahkan singgasana Ratu Bilqis dari Yaman ke Palestina. Hal ini dikisahkan dalam surat an-Naml ayat 40 :

قَالَ الَّذِيْ عِنْدَهٗ عِلْمٌ مِّنَ الْكِتٰبِ اَنَا۠ اٰتِيْكَ بِهٖ قَبْلَ اَنْ يَّرْتَدَّ اِلَيْكَ طَرْفُكَۗ فَلَمَّا رَاٰهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهٗ قَالَ هٰذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّيْۗ لِيَبْلُوَنِيْٓ ءَاَشْكُرُ اَمْ اَكْفُرُۗ وَمَنْ شَكَرَ فَاِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ رَبِّيْ غَنِيٌّ كَرِيْمٌ

“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab (Taurat dan Zabur) "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk menguji aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia".

 

 

Bahkan Rasulullah SAW pun diperintahkan oleh Allah SWT agar bersikap tawadlu’ (rendah hati) kepada orang-orang beriman yang mengikuti beliau. Sebagaimana difirmankan dalam surat al-Syu’ara ayat 215 :

 

وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ ۚ

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, Yaitu orang-orang yang beriman.

 

Para santri harus bersikap rendah hati, karena sikap rendah hati merupakan cermin dari sifat-sifat orang yang bertaqwa kepada Allah SWT. Para santri tidak boleh menyombongkan diri dengan ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya, karena kesombongan merupakan watak dari syetan yang menolak perintah Allah SWT untuk bersujud (menghormati) Nabi Adam AS. Selain itu, para santri tidak boleh bersikap sombong karena mereka tidak akan tahu nasibnya di akhirat kelak, apakah termasuk orang yang beruntung dengan menjadi penghuni surga, atau termasuk orang yang celaka karena menjadi penghuni neraka, na’udzu billahi min dzalik.

 

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah ibn Abbas, Said ibn Jubair, Amr ibn Dinar, Sufyan ibn al-Humaid, Rasulullah SAW mengkisahkan bahwa pada suatu hari Nabi Musa AS berpidato di hadapan kaumnya dari Bani Israil. Nabi Musa mengajak mereka untuk mensyukuri ni’mat dan karunia Allah SWT dengan melaksanakan seluruh perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Untaian kalimat-kalimat dakwah yang disampaikan oleh Nabi Musa kepada kaumnya tersebut begitu memukau dan menyejukkan hati mereka. Sesudah menyampaikan dakwah, ada salah seorang kaum Bani Israil bertanya kepada beliau; “Wahai Nabi Musa AS, siapakah hamba Allah SWT yang paling pintar di muka bumi ini? Maka Nabi Musa pun menjawab; “Aku lah orangnya yang paling pintar di antara hamba Allah di muka bumi”.

 

Jawaban itu wajar saja.Karena pada zaman itu hanya Nabi Musa yang berhasil membawa Bani Isra’il kepada hidayah ilahi. Dialah yang telah menaklukkan Raja Fir’aun dengan segala kekuasaan dan kesombongannya.Dia juga telah menaklukkan para tukang sihir istana sehingga mereka mengikuti agama Nabi Musa.Ia juga telah dikaruniai nikmat terbesar sebagai Rasul-Nya yaitu nikmat berupa kesempatan berbicara langsung dengan Allah. Selain itu, beliau juga telah berhasil membongkar rahasia tentang pembunuhan yang kejam.

 

Baru saja Nabi Musa mengingat kelebihan dan jasa dirinya atas kaumnya itu, datanglah wahyu Allah berupa teguran atas tindakan yang tak sepatutnya dilakukannya.Allah memperingatkannya bahwa seluas apapun ilmu pengetahuannya, itu semua niscaya hanyalah karunia pemberian Allah semata. Dan, tidak menutup kemungkinan bahwa ada hamba-Nya yang lain yang dianugerahi pengetahuan melebihi apa yang diberikan pada Nabi Musa.

 

Untuk lebih menekankan peringatan-Nya ini, Allah juga memerintahkan Nabi Musa untuk menemui hamba-Nya yang lain, di suatu tempat yang dalam Al-Qur’an disebut “bertemunya dua lautan”.Mendapat perintah itu, Nabi Musa bertanya, “Ya Allah, siapakah hamba-Mu itu? Dan bagaimana aku bisa menemuinya?” Allah menjawab dengan wahyu-Nya, “bawalah seekor ikan yang kau letakkan dalam sebuah keranjang.Di mana pun ikan itu mulai menghilang, maka di sekitar situ lah tempat tinggal orang tersebut”.

 

Setelah mendapat kejelasan, Nabi Musa segera menyiapkan bekal perjalanannya. Ia juga mengajak serta salah seorang pengikutnya yang paling setia dan dipercaya, Yusya’ bin Nun. Sebagai orang yang bertugas memastikan kelengkapan dan kelancaran perjalanan Nabi Musa, Yusya’ dipesani oleh Nabi Musa, agar dia memberitahu kepada Nabi Musa begitu ikan yang dibawanya menghilang.

 

Singkat cerita, ketika keduanya beristirahat di suatu tempat di dekat batu besar, di saat itulah ikan yang tadinya sudah mati, tiba-tiba hidup, bergerak-gerak, lalu meloncat dan mengarah ke lautan.

 

Setelah Yusya’ bin Nun melaporkan kejadian ini kepada Nabi Musa, Nabi Musa pun berkata, “inilah tempat yang kita cari”. Tak lama kemudian, ia pun menyambung, “aku mencium bau manusia. Pasti di sinilah kita akan menemui hamba Allah itu.”

 

Ternyata hamba Allah itu adalah seorang laki-laki tua yang kurus badannya, tetapi wajah dan sorot matanya menampakkan cahaya kenabian yang terpancar ke hadapan Nabi Musa. Setelah mengulukkan salam, ternyata orang tersebut sudah mengetahui seluk-beluk identitas Nabi Musa, seperti namanya dan statusnya sebagai pemimpin Bani Israil. Nabi Musa mulanya heran akan hal ini. Namun ia segera menyadari bahwa orang ini mungkin memang orang yang dimaksudkan oleh Allah. Karenanya, ia segera saja mengemukakan, “tujuanku kemari adlah untuk memenuhi perintah berguru kepadamu, apakah engkau berkenan mengajariku ilmu-ilmu yang sudah dianugerahkan Allah kepadamu?

 

Lalu laki-laki yang kemudian diketahui bernama Khidir itu berkata, “Wahai Musa, sesungguhnya engkau tidak akan sanggup bersabar diri bersamaku.Allah telah mengajariku ilmu pengetahuan tentang sesuatu yang ghaib, yang engkau sendiri belum diajari oleh-Nya.Tetapi, jika engkau memang ingin belajar bersmaku, syaratnya, jangan sekali-kali menanyakan tentang sesuatu yang aku lakukan, kecuali akan aku jelaskan sendiri kepadamu”.Setelah syarat ini disepakati, Nabi Musa mulai mengikuti perjalanan dan segala gerak-gerik Khidir AS.

 

Ketika keduanya menyusuri tepi pantai, Nabi Khidir mengatakan, “wahai Musa, ketahuilah sesungguhnya perbandingan dan perumpamaan ilmu Allah dengan ilmu manusia adalah ibarat seluruh air di lautan dan sedikit air yang membasahi kakimu sebagai karunia-Nya kepada manusia.Dan kelak, manusia akan dimintai pertanggungjawaban akan ilmunya kelak”.

 

Setelah itu, Nabi Khidir naik ke atas perahu dan justru merusak dinding perahu itu. Melihat perbuatan yang janggal itu, Nabi Musa spontan menegurnya, “apakah engkau hendak merugikan orang lain dan menenggelamkan perahu ini dan awaknya?”. Nabi Khidir hanya menjawab, “bukankah sudah ku katakana bahwa jangan menanyakan sesuatu hingga aku menjelaskannya sendiri?”.

 

Setelah meminta maaf, Nabi Musa kembali mengikuti perjalanan Khidir AS. Hingga ketika mereka sampai di suatu perkampungan, lalu bertemu dengan anak kecil di kampong tersebut, Khhidir AS justru mencekik bocah itu hhingga mati di tangannya sendiri.Nabi Musa yang kaget melihat itu kontan bereaksi, “mengapa engkau membunuh anak tak berdosa ini, bukankah kau sudah melakukan kemungkaran”.Namun, Nabi Khidir hanya menjawab sebagaimana pada kesempatan sebelumnya.

 

Lalu keduanya meneruskan perjalanan sampai ketika mencapai suatu daerah yang penduduknya tak mau menghormati keduanya selayaknya tamu.Tetapi, ketika keduanya melihat suatu dinding rumah yang hamper rusak, Nabi Khidir justru memperbaikinya hingga tegak kembali.Nabi Musa yang keheranan kkembali bertanya, “kenapa engkau memperbaiki rumah itu, padahal pemiliknya sama sekali tak menghargai kita”.Nabi Khidir yang sudah merasa cukup hanya menanggapi, “sepertinya ini menjadi perpisahan antara aku dan engkau, karena engkau telah berkali-kali melanggar kesepakatan dan syarat yang sudah ditentukan tadi. Namun sebelum berpisah, akan aku jelaskan alasan-alasan kenapa aku mengerjakan hal-hal yang ku lakukan tadi.

 

Pertama, tindakanku merusak kapal, itu karena aku tahu bahwa di pulau seberang, tempat para nelayan akan berlabuh, ada seorang penguasa yang akan merampas kapal-kapal di sana. Dengan merusaknya, maka penguasa itu jadi tak berminat mengambil kapal itu, dan pemilik kapal bisa memperbaikinya kembali tanpa ia harus kehilangan kapal. Sedangkan anak kecil yang aku bunuh tadi, ia adalah anak yang ketika dewasa kelak akan menjadi seorang yang ingkar dan durhaka kepada Allah dan orang tuanya. Dengan membunuhnya, aku justru menyelamatkan nasibnya dari siksa Allah di akhirat kelak.Yang terakhir, tembok rumah yang aku perbaiki tadi, di bawahnya terdapat harta benda orang tua yang diwariskan kepada anak yatim pemilik sesungguhnya dari rumah tersebut.Kalau sampai dinding rumah itu rubuh dan lalu ketahuan di bawahnya terdapat harta peninggalan, niscaya harta itu akan diambil lebih dulu oleh walinya dan penduduk kampong itu, tanpa pernah sampai kepada si anak yang berhak mewarisinya”.

Bersikap rendah hati (tawadlu’), bukan berarti bersikap rendah diri (minder) dengan takut menyampaikan pendapat dan aspirasi; takut berpakaian yang bagus dsb.Imam Abu Hanifah mengajarkan,  sebagai orang yang berilmu, para santri harus tampil dengan pakaian yang bagus dan rapi, agar tidak direndahkan orang lain. Demikian juga, para santri harus berani menyampaikan pendapat dan aspirasi serta menghadapi siapa pun,dengan tetap menjaga sopan santun dan al-akhlak al-karimah.

4.      Menjaga kehormatan diri (al-‘iffah). Para santri harus menjaga kehormatan diri (al-‘iffah) dengan tidak bersikap thama’ terhadap harta atau kedudukan orang lain.

ومن وجد لذة العلم والعمل به قلما يرغب فيما عند الناس

“Barangsiapa merasakan kelezatan ilmu dan mengamalkannya, dapat dipastikan bahwa dia tidak akan silau atau memiliki keinginan(thama’)  terhadap harta atau jabatan orang lain”

Oleh karena itu para santri harus memiliki sikap mandiri dan menerima serta menikmati anugerah Allah SWT apa adanya (bersikap qonaah). Jangan membiasakan diri meminta-minta atau mengemis, karena agama Islam sangat mencela orang yang berprofesi sebagai pengemis, serta menghargai orang yang bekerja untuk mencari nafkah secara halal, baik dengan bertani, berdagang, menjadi karyawan, buruh dsb. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat Al-Baqarah ayat 273 :

 لِلْفُقَرَاۤءِ الَّذِيْنَ اُحْصِرُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ ضَرْبًا فِى الْاَرْضِۖ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ اَغْنِيَاۤءَ مِنَ التَّعَفُّفِۚ تَعْرِفُهُمْ بِسِيْمٰهُمْۚ لَا يَسْـَٔلُوْنَ النَّاسَ اِلْحَافًا ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ ࣖ

 “(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya. Mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui”.

 

Firman Allah SWT  di atas, memuji para sahabat Rasul yang tidak mau “menjadi pengemis”, meskipun mereka miskin karena tidak bisa berdagang lantaran sedang berperang membela agama Allah SWT melawan orang-orang kafir. Berhubung mereka tidak mau “menjadi pengemis”, maka masyarakat menyangka mereka adalah orang-orang kaya yang berkecukupan, padahal sebenarnya mereka adalah orang-orang miskin. 

 

Demikian juga sabda Rasulullah SAW dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari sahabat Hakim ibn Hizam RA. :

 

-اليد العليا خير من اليد السفلى، فاليد العليا هي المنفقة واليد السفلى هي السائلة (رواه البخاري عن حكيم بن حزام)

"Tangan di atas adalah lebih baik dari pada tangan di bawah. Tangan di atas ialah tangan yang memberi dan tangan di bawah ialah tangan yang meminta"

Demikian juga sabda Rasulullah SAW dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah RA.

-لأن يأخذ أحدكم حبله ثم يغدو فيحتطب فيبيع فيأكل ويتصدق خير له من أن يسأل الناس (رواه البخاري ومسلم عن أبي هريرة)

"Sungguh jika salah seorang di antara kamu pada waktu pagi-pagi buta mengambil tali kemudian mencari kayu bakar dan menjualnya sehingga ia memperoleh makanan secukupnya dan bersedekah, maka hal itu lebih baik baginya dari pada meminta-minta kepada manusia".

Demikian juga sabda Rasulullah SAW dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Ibnu Umar RA.

لا تزا ل المسئلة بأحدكم حتى يلقى الله وليس في وجهه مزعة لحم (رواه البخاري ومسلم عن ابن عمر)

"Mengemis (meminta-minta) itu senantiasa merupakan cacat bagi seseorang di antara kamu sehingga dia menemui Allah di hari kiamat tanpa sepotong daging yang melekat di mukanya".

Demikian juga sabda Rasulullah SAW dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dari sahabat Abdullah ibn Adi :

-أن رجلين اخبرا أنهما أتيا النبي صلى الله عليه وسلم يسألانه الصدقة فقلب فيهما البصر فرأى هما جلدين فقال: إن شئتما أعطيتكما، ولاحظ فيها لغني ولا لقوي مكتسب (رواه أحمد وأبو داود عن عبد الله بن عدي بن ألخيا)

"Ada dua orang sahabat yang datang kepada Rasulullah SAW untuk  meminta sedekah. Setelah Rasulullah SAW memperhatikan keadaan mereka, ternyata keduanya bertubuh kekar (kuat). Maka beliau  bersabda: Kalau kamu berdua meminta, saya akan memberi, tetapi ketahuliah bahwa orang-orang kaya dan mampu berusaha (kuat) tidaklah berhak menerimanya".

Pernah salah seorang penduduk Madinah (kaum Anshor) datang meminta sedekah kepada Nabi. Beliau bertanya: Apakah anda mempunyai sesuatu benda di rumah? Orang Anshor itu menjawab: Saya hanya mempunyai sehelai tikar yang sebagian saya jadikan alas dan sebagian lainnya saya jadikan selimut, serta sebuah mangkok tempat air minum. Bawalah padaku, perintah Nabi. Setelah orang Anshor itu kembali kepada Rasulullah SAW dengan membawa barang-barang yang dimiliki, beliau melelang barang-barang tersebut kepada para sahabat, dan laku dua dirham. Kemudian beliau menyerahkan uang dua dirham tersebut kepada pemiliknya sambil berkata: Pergunakanlah satu dirham untuk membeli makananmu dan satu dirham lagi belikan sebuah kampak, dan bawalah padaku!. Setelah pemuda itu menyerahkan kampaknya kepada Rasulullah, maka beliau memasang tangkainya kemudian menyerahkannya kepada pemuda itu sambil bersabda; Pergilah mencari kayu bakar, dan juallah! Dua minggu kemudian kembalilah melapor padaku!. Dengan patuh pemuda itu keluar dan demikianlah, dua minggu kemudian dia kembali menghadap Nabi melaporkan bahwa dia telah berhasil menerima keuntungan 10 dirham. Lima dirham di antaranya telah dibelikan pakaian, sedang sisanya dipergunakan untuk persediaan membeli makanan mereka sekeluarga. Mendengar laporan itu Nabi bersabda: Bukankah itu lebih baik bagimu dari pada meminta-minta yang menjadikan cacat hitam di mukamu ketika menghadap Allah di hari kiamat nanti?". Hadits Riwayat Abu Daud.

5.      Bersifat Wara’. Para santri harus bersifat wara’, yaitu bersikap hati-hati agar tidak mengkonsumsi makanan dan minuman yang haram atau diperoleh dengan cara yang tidak halal seperti mencuri, menipu, korupsi dsb. Demikian juga pakaian, kendaraan, tempat tinggal dsb. Seseorang yang bersifat wara’ insya Allah hatinya akan bersinar sehingga mudah menangkap ilmu dari Allah SWT serta doa yang dipanjatkan akan mudah diijabah oleh Allah SWT. Sebaiknya seseorang yang suka mengkomsi makanan atau minuman yang haram, atau memakai pakaian dan menggunakan barang-barang yang haram atau diperoleh secara tidak halal, maka hatinya akan gelap gulita sehingga sulit menangkap ilmu Allah SWT, bahkan doa-doanya pun tidak akan dijabah. Sebagai telah difirmankan dalam surat al-Baqarah ayat 188 :

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ࣖ

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”.

Demikian juga dijelaskan oleh hadits shahih yang diriwayatkan Imam Muslim dari sahabat Abu Hurairah :

إن الله طيب لا يقبل إلا طيبا وإن الله أمر المؤمنين بما أمر به المرسلين. فقال تعالى ياأيهاالرسل كلوا من الطيبات واعملوا صالحا وقال تعالى ياأيهاالذين آمنوا كلوا من طيبات مارزقناكم ثم ذكر الرجل يطيل السفر أشعث أغبر يمد يديه قائلا يا رب يا رب ومطعمه حرام ومشربه حرام وملبسه حرام وغدي بالحرام فأنى يستجاب

"Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Suci, yang tidak akan menerima, kecuali sesuatu yang suci. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang yang beriman dengan apa yang diperintahkan kepada para rasul-Nya. Maka Allah SWT berfirman; 'Wahai para rasul, makanlah kamu dari sesuatu yang baik dan beramallah yang baik'. Dan Allah pun berfirman; 'Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rizki yang baik yang telah Kami anugerahkan kepada kalian'. Kemudian Rasul mengkisahkan seorang laki-laki yang sudah lama sekali berdo'a memohon sesuatu kepada Allah. Begitu lamanya berdo'a sampai rambunya acak-acakan (tidak rapi), pakaiannya kotor terkena debu. Akan tetapi, bagaimana mungkin doanya dikabulkan kalau makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan sejak kecil diberi makanan yang haram".[2]

 

Makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia juga akan mempengaruhi kehidupannya di alam akhirat. Jika halal dan thayyib, maka akan mengantarkan manusia ke surga. Sebaliknya, jika bersumber dari atau diperoleh dengan cara yang haram, maka akan mengantarkannya ke dalam neraka. Sebagimana disabdakan Rasulullah dalam hadits hasan :

كل لحم نبت من حرام فالنار أولى به

"Setiap daging (manusia) yang tumbuh dari (makanan dan minuman) yang haram, maka lebih berhak untuk masuk neraka" (HR. Imam Tirmidzi dari Ka'ab ibn 'Ajazah). [3]

Para santri juga harus menghindari makanan dan minuman yang syubhat (belum jelas halal atau haram),  karena seseorang yang terjerumus dalam hal-hal yang syubhat pasti akan terjerumus dalam hal-hal yang haram. Sebagaimana telah disabdakan Rasulullah SAW dalam hadits shahih yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Abdillah Nu'man Ibnu Basyir RA.

عن أبي عبد الله النعمان بن بشير رضي الله عنهما قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : إن الحلال بين وإن الحرام بين وبينهما أمور مشتبهات لايعلمهن كثير من النا س فمن اتقى الشبهات فقد استبرأ لدينه وعرضه ومن وقع في الشبهات وقع في الحرام كالراعي يرعى حول الحمى يوشك أن يرتع فيه ألا وإن لكل ملك حمى ألا وإن حمى الله محارمه ألا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله. ألا وهي القلب. (رواه البخاري ومسلم)

"Dari sahabat Abu Abdillah Nu'man ibn al-Basyir RA. beliau berkata, bahwa beliau mendengar Rasulullah SAW bersabda; 'Sesungguhnya sesuatu yang halal itu sudah jelas. Demikian pula, sesuatu yang haram juga sudah jelas. Akan tetapi, di antara yang halal dan yang haram itu terdapat sesuatu yang samar (syubhat) yang tidak banyak diketahui oleh umat manusia. Barangsiapa menjaga diri dari hal-hal yang syubhat, maka berarti ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Sebaliknya barangsiapa terjatuh dalam sesuatu yang syubhat, maka ia pasti akan terjatuh pada sesuatu yang haram. Seperti pengembala yang mengembalakan hewan ternak di sekitar tanah larangan, maka dapat dipastikan hewan ternak tersebut memasuki tanah larangan. Ingat, bahwa sesungguhnya setiap raja mempunyai larangan. Ingat, bahwa sesungguhnya larangan Allah adalah hal-hal yang telah diharamkan. Ingat, sesungguhnya di dalam jasad manusia terdapat segumpal daging, yang jika baik maka seluruh anggota badannya menjadi baik. Sebaliknya, jika segumpal daging tersebut buruk, maka seluruh anggota badan menjadi buruk. Ingat, segumpal daging tersebut adalah hati. (H.R. Imam Bukhari dan Imam Muslim).[4]

 

 

6.      Rajin dan Bersungguh-sungguh dalam Belajar

 

Para santri harus bersungguh-sungguh dalam belajar secara istiqomah (kontinu/ terus-menerus). Hal ini antara lain dilakukan dengan mengulang-ulang pelajaran (tikrar) agar memiliki pemahaman yang lebih mantap sehingga tidak mudah melupakan ilmu pengetahuan yang telah dipelajari.  Sebagaimanadifirmankandalam surat al-Ankabut ayat 69 :

وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ 

“Dan Orang-orang yang mencari keridhaan Kami, niscaya Kami tunjukkan mereka kepada jalan-jalan Kami” (Surat 29, Al-Ankabut 69).

Pepatah Arab mengatakan :

من طلب شيئا وجد وجد، ومن قرع الباب ولج ولج.

“Barangsiapa sungguh-sungguh dalam mencari sesuatu pastilah ketemu dan barangsiapa mengetuk pintu bertubi-tubi, pasti dapat memasuki”.

Pepatah lain mengatakan :

بقدرما تتعنى تنال ما تتمنى

“Sesuai dengan kadar usahamu, engkau akan meraih cita-citamu”

Imam al-Syafi’i telah menggubah syi’ir sbb. :

تمـنيت أن تمسى فـقيها مناظـرا                بغـير عناء والجـنون فنون

وليس اكتساب المال دون مشقة                تحملها فالعلم كـيف يكون؟

Engkau mengidam-idamkan dirimu menjadi seorang ahli fiqh yang pandai berargumentasi, tetapi engkau tidak mau berpayah-payah belajar.Maka (hal itu adalah suatu kegilaan, karena) gila itu sangat banyak bentuknya.

Kalau untuk mencari harta benda saja harus berpayah-payah dan penuh derita, apalagi untuk meraih ilmu pengetahuan”

 

7.      Bersikap Sabar dan Istiqomah

 

Para santri hendaknya bersikap sabar dan istiqomah untuk belajar di sebuah lembaga pendidikan (pondok pesantren) hingga menamatkan pendidikannya. Juga istiqomah dalam mengkaji satu disiplin ilmu, sehingga tidak berpindah ke disiplin ilmu lainnya sebelum menguasai disiplin ilmu yang pertama. Dengan berpindah-pindah tempat belajar, maka akan mengganggu konsentrasi belajar, membuang-buang waktu, biaya, tenaga dan pikiran, bahkan menyakiti para guru yang ditinggalkannya.

Para santri juga harus bersikap sabar dalam menghadapi berbagai macam ujian hidup.Kesuksesan sebuah cita-cita sangat bergantung pada kesabaran dalam menghadapi ujian.

 

8.      Rajin Bangun Malam

 

Para santri hendaknya rajin bangun malam untuk melaksanakan shalat tahajjud, berdizkir dan berdo’a. Karena pada sepertiga malam terakhir Allah SWT menurunkan rahmat-Nya dan merupakan waktu yang paling mustajab untuk berdoa. Jika para santri rajin melaksanakan tahajjud, maka Allah SWT akan mengangkat derajatnya hingga meraih derajat yang terpuji. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Isra’ ayat 79 :

وَمِنَ الَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهٖ نَافِلَةً لَّكَۖ عَسٰٓى اَنْ يَّبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُوْدًا

“Dan pada sebahagian malam hari bershalat tahajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuj”i.

Imam al-Syafi’i membagi waktu malam hari menjadi tiga bagian. Sepertiga malam untuk tidur (istirahat); sepertiga malam untuk mengkaji ilmu atau mengajar; sepertiga malam untuk ibadah (tahajjud). Agar mudah bangun malam, maka hendaklah para santri mengurangi konsumsi makanan.

 

 

 

 

 

Selain itu, para santri juga harus menghindari akhlak tercela (al-akhlak al-madzmumah) yang bersemayam di dalam dirinya. Di antaranya adalah sbb. :

1.      Pembohong. Bohong adalah menyampaikan informasi yang tidak sesuai atau tidak cocok dengan kejadian yang sebenarnya. Apabila kita ingin menjadi manusia yang sukses, maka pertama-tama yang harus kita lakukan adalah menjauhi kebohongan serta berpegang teguh pada kejujuran. Jika seseorang suka berdusta maka ia akan terjerumus pada kemunafikan sehingga layak disebut sebagai orang munafik.

 

2.      Munafik. Yaitu orang yang lahiriahnya berbeda batiniahnya. Performen lahiriahnya tampak bagus tetapi hatinya busuk, sehingga banyak orang yang tertipu.  Sifat munafik sangat tercela, sehingga  Al-Qur’an menyebutkan, bahwa orang-orang munafik itu kelak berada di neraka paling bawah. Pada masa Rasulullah SAW, orang-orang munafik sangat merepotkan karena mengganggu perjuangan beliau. Secara lahiriah mereka menampakkan seperti seorang muslim yang taat kepada Nabi, tetapi pada kenyataannya mereka berusaha merusak dan menghancurkan perjuangan beliau dari dalam. Rasulullah dalam hadistnya menyebutkan bahwa di antara ciri-ciri orang munafik adalah apabila  berbicara, suka berbohong; apabila berjanji, suka menginkari, dan apabila diberi amanah (dipercaya), suka berkhianat.

 

أية المنافق ثلاث إذا حدث كذب وإذا وعد أخلف وإذا اؤتمن خان 

“Ciri-ciri orang munafiq itu ada tiga; jika berbicara bohong, jika berjanji mengingkari, dan jika diberi amanat berkhianat”.

3.      Bermuka dua. Di antara bentuk lain dari sifat munafiq adalah bermuka dua, yaitu ketika bertemu seseorang dia memujinya, tetapi di belakangnya ia menjelek-jelekkan bahkan mencaci makinya. Sebagaiman disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukahri dan Imam Muslim dari sahabat Abu Hurairah RA.

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : وتجدون شر الناس ذاالوجهين الذي يأتي هؤلاء بوجه وهؤلاء بوجه

"Dan engkau akan menjumpai sejahat-jahat manusia adalah orang yang bermuka dua. Dia menghadapi suatu kelompok dengan satu muka dan menghadapi kelompok yang lain dengan muka yang lain pula".

             Demikian juga ucapan sahabat Abdullah ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari :

وعن محمد بن زيد أن أناسا قالوا لجده عبد الله بن عمر رضي الله عنهما : إنا ندخل سلاطيننا فنقول لهم بخلاف ما نتكلم إذا خرجنا من عندهم. قال : كنا نعد هذا نفاقا على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم.

"Dari Muhammad ibn Zaid bahwa ada sekelompok orang yang bertanya kepada kakeknya, yakni sahabat Abdullah ibn Umar RA.: Sesungguhnya kami, jika  menghadap para pejabat kami akan mengatakan sesuatu yang berbeda dengan apa yang kami bicarakan ketika kami telah keluar dari ruangan mereka. Sahabat Ibnu Umar berkata; Menurut hemat kami, perbuatan tersebut pada masa Rasulullah SAW dinilai sebagai perbuatan munafiq"

4.      Egois, yaitu sifat yang hanya mementingkan diri sendiri dan sama sekali tidak memperdulikan penderitaan orang lain, terutama penderitaan yang dialami oleh umat Islam. Orang seperti ini pada hakikatnya tidak layak dikelompokkan sebagai bagian dari umat Islam. Sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah SAW :

 

من لم يهتم بأمر المسلمين فليس منهم

 “Barangsiapa tidak memperdulikan nasib ummat Islam, maka ia tidak  termasuk golongan mereka”.

5.      Konsumtif dan berlebih-lebihan  dalam mengkonsumsi makanan dan minuman, karena hal itu sangat berpotensi menambah berat badan dan kegemukan (obesitas) sehingga mudah mengantuk dan malas beribadah serta belajar, bahkan berpotensi menimbulkan berbagai macam penyakit.

 

            Demikian juga berfoya-foya dalam membelanjakan dan mempergunakan harta sehingga mubaddzir. Bentuk lain dari sifat tabdzir adalah membuang sisa-sisa makanan yang tidak habis karena terlalu banyak dalam memasak atau mengambil makanan melebihi kebutuhan. Sifat tabdzir dinilai oleh Allah SWT sebagai sifat dan prilaku syaitan. Mereka dengan gampang membuang-membuang makanan, padahal di tempat lain banyak orang yang kelaparan karena tidak memiliki bahan makanan. Sebagaimana telah difirmankan Allah dalam surat al-Isra’ ayat 26 – 27 :

وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا(26)إِنَّ ٱلْمُبَذِّرِينَ كَانُوٓا۟ إِخْوَٰنَ ٱلشَّيَٰطِينِ ۖ وَكَانَ ٱلشَّيْطَٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُورًا(27)

Referensi: https://tafsirweb.com/37728-quran-surat-al-isra-ayat-26-27.html

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya para pemboros adalah teman syetan dan syetan sangat ingkar kepada Allah”.

6.      Pelit (bakhil) dalam membayar zakat, infak dan sedekah serta dalam membantu kaum yang lemah. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat Ali Imran ayat 180:

وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ بِمَآ اٰتٰىهُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖ هُوَ خَيْرًا لَّهُمْ ۗ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَّهُمْ ۗ سَيُطَوَّقُوْنَ مَا بَخِلُوْا بِهٖ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۗ وَلِلّٰهِ مِيْرَاثُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ ࣖ 

“Janganlah sekali-kali orang-orang yang pelit (bakhil) dengan harta yang Allah telah anugerahkan kepada mereka menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya pada hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) dilangit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

7.      Takabbur (sombong), yaitu suatu sifat buruk yang bersemayam dalam diri seseorang karena merasa bahwa dirinya adalah orang hebat atau merasa memiliki keunggulan-keunggulan di atas orang lain. Sifat ini bisa muncul karena berbagai faktor. Bisa jadi karena merasa berasal dari keturunan orang-orang yang terhormat, bisa jadi karena merasa kaya, pandai, mempunyai pangkat dan kedudukan yang tinggi dsb. Takabbur atau sombong merupakan sifat buruk yang dibenci oleh Allah SWT. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat Al-Isra’ ayat 37 :

وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۚ اِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْاَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُوْلًا

 Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu tidak akan mampu menembus bumi dan tidak akan mampu mencapai puncak gunung”.

Takabbur  terbagi menjadi  3 (tiga) macam; yaitu (1). Takabbur kepada Allah SWT, yang tercermin dalam sikap menolak untuk beribadah serta tidak mau memperdulikan ajaran-ajaran-Nya. (2). Takabbur kepada Rasulullah SAW yang tercermin dalam sikap menolak untuk mematuhi ajaran-ajarannya serta mengikuti sunnah-sunnahnya. (3). Takabbur kepada sesama manusia yang tercermin dalam sikap dan prilaku yang menganggap dirinya lebih hebat dari orang lain.

Untuk menghilangkan atau mengurangi sifat takabbur (sombong) yang bersemayam di dalam hati serta menumbuh kembangkan sifat tawadlu’, dapat dilakukan dengan beberapa cara sbb. :

a.       Menanamkan kesadaran dalam dirinya bahwa manusia pada mulanya tercipta dari sperma (air mani) yang menjijikkan dan sama sekali tidak berharga, kemudian pada akhir kehidupannya, sesudah wafat akan menjadi bangkai yang lama kelamaan membusuk dan baunya sangat menyengat sehingga tidak ada seorang pun yang mau mendekati apalagi menemaninya, meskipun istri atau suami dan anak-anaknya. (الانسان اوله نطفة واخره جيفة). 

 

b.      Menanamkan kesadaran dalam dirinya, bahwa semua kelebihan yang dimilikinya, baik berupa wajah yang tampak atau cantik, harta benda yang melimpah ruah, ilmu pengetahuan dan gelar atau prestasi akademiki, pangkat, jabatan dsb. adalah karunia atau anugerah dari Allah SWT  yang wajib disyukuri, bukan untuk disombongkan; sekaligus juga  amanah yang kelak akan dimintakan pertanggung-jawaban.

 

c.       Memandang orang lain dengan kelebihannya serta memandang diri sendiri dengan kekurangannya. Di antara nasehat Sulthan al-Auliya’ al-Syeh Abdul Qadir al-Jilani kepada para muridnya adalah sbb. ”Jika engkau bertemu orang yang berilmu (ulama), maka engkau harus merasa bahwa orang tersebut lebih baik dari pada dirimu. Karena beliau beribadah didasarkan pada ilmu, sedangkan engkau beribadah hanya ikut-ikutan tanpa ilmu. Jika engkau bertemu orang yang bodoh, engkau harus merasa bahwa orang tersebut lebih baik dari pada dirimu. Dia berbuat maksiat dan dosa karena kebodohannya. Sedangkan engkau sudah berilmu, tapi masih berbuat maksiat dan dosa. Jika engkau bertemu orang yang lebih tua, maka engkau harus merasa bahwa orang tersebut lebih baik dari pada dirimu. Karena beliau sudah banyak amal ibadahnya, sedangkan engkau masih muda sehingga belum banyak beribadah. Jika engkau bertemu orang yang lebih muda, maka engkau harus merasa bahwa orang tersebut lebih baik dari pada dirimu. Karena dia masih muda sehingga belum banyak dosanya, sedangkan engkau sudah tua sehingga sudah banyak berbuat dosa dan maksiat.

 

d.      Menanamkan kesadaran dalam dirinya, bahwa sifat takabbur (sombong) dapat menyebabkan penolakan terhadap kebenaran, bahkan penolakan terhadap perintah Allah SWT. Iblis menolak perintah Allah untuk bersujud (menghormat) kepada Adam, karena sifat sombong. Iblis yang diciptakan dari api merasa lebih baik dari pada Adam yang diciptakan dari tanah. Akibatnya Allah SWT membencinya dan mengusirnya dari surga. Sebagaimana difirmankan dalam surat al-A’raf 12 – 13 :

قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ ۖ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ(12)قَالَ فَاهْبِطْ مِنْهَا فَمَا يَكُوْنُ لَكَ اَنْ تَتَكَبَّرَ فِيْهَا فَاخْرُجْ اِنَّكَ مِنَ الصّٰغِرِيْنَ(13)

0Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu aku menyuruhmu?" Iblis menjawab "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah". Allah berfirman: "Turunlah kamu dari surge, karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya. Maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina".

 

8.      Hasad (Iri Hati atau Dengki) adalah sifat atau rasa tidak senang atas kenikmatan yang diperoleh orang lain, baik berupa harta, jabatan, pangkat, kesehatan maupun yang lain, kemudian dia ingin atau berusaha menghilangkan kenikmatan tersebut dari orang lain tersebut, baik dengan maksud supaya kenikmatan itu berpindah kepadanya atau tidak. Hasad adalah termasuk akhlak yang tercela (al-akhlaq al-madzmumah), bahkan sangat berbahaya karena dapat mencelakakan orang lain. Seseorang yang hasad kepada orang lain akan berusaha menghilangkan kenikmatan yang diperoleh orang tersebut dengan berbagai cara, termasuk mencelakakan bahkan membunuhnya.

 

Pada hakikatnya, seseorang yang bersifat hasad  adalah orang yang kurang beriman karena dia tidak rela terhadap kehendak dan ketentuan Allah SWT yang menganugerahkan kenikmatan kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya. Oleh karena itu, untuk meredam sifat hasad yang bersemayam dalam diri manusia, diperlukan peningkatan dan penguatan iman sehingga dia menyadari bahwa kenikmatan adalah anugerah dari Allah SWT yang diberikan kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya. Perlu ditanamkan juga bahwa sifat hasad itu akan menggerogoti pahala amal kebaikan, bagaikan api yang melahap kayu bakar.  

 

 

 

 

 

AKHLAK KEPADA ALLAH SWT

 

Akhlak merupakan cermin dari apa yang ada di dalam jiwa seseorang. Akhlak yang baik merupakan dorongan keimanan seseorang, karena keimanan harus ditampilkan dalam perilaku nyata sehari-hari. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa pada dasarnya konsep akhlak dalam Islam memiliki cakupan yang sangat luas, karena akhlak berarti agama itu sendiri. Akhlak dalam pengertian ini meliputi berbagai dimensi sbb. : (1). Akhlak manusia kepada Allah SWT. (2). Akhlak manusia kepada diri sendiri. (3). Akhlak manusia kepada pihak lain, baik kepada sesama manusia maupun alam sesemesta, termasuk flora dan fauna yang ada di lingkungannya.

Akhlak manusia kepada Allah SWT bertitik tolak dari sebuah keimanan (keyakinan, pengakuan dan kesadaran) bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT (لااله الا الله). Dia adalah Dzat Yang Memiliki sifat-sifat yang terpuji dan maha sempurna (الصفات الكمالية), baik dalam bentuk sifat-sifat yang agung (الجلال) maupun sifat-sifat yang indah  الجمال)). Dia adalah Dzat Yang Maha Pencipta, yang menciptakan alam semesta; langit dan bumi beserta seluruh isinya. Dia-lah Dzat Yang Menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Sebagaimana difirmankan dalam surat al-Tin (95) ayat 4 :

لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya

Allah SWT telah menganugerahkan berbagai macam ni’mat kepada manusia. Di antarnya adalah fisik yang indah dan sempurna. Dia telah memberikan mata untuk memandang, lidah untuk berbicara, telinga untuk mendengar, serta berbagai organ tubuh lain yang sangat kompleks di dalam diri manusia. Dia juga telah memberikan berbagai macam daya rohaniah kepada manusia, baik dalam bentuk ruh, akal, qalbu maupun nafsu. Dengan berbagai daya jasmani dan rohani tersebut memungkinkan manusia berkemauan, berfikir, belajar dan melakukan berbagai aktivitas yang sangat diperlukan dan sangat bermanfaat bagi kehidupannya, baik di dunia maupun di akhirat. Allah SWT menganugerahkan berbagai potensi tersebut kepada manusia dimaksudkan agar mereka bersyukur kepada-Nya. Sebagaimana difirmankan dalam surat Surat al-Nahl ayat 78 :

وَاللّٰهُ اَخْرَجَكُمْ مِّنْۢ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْـًٔاۙ وَّجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.

Kata-kata “agar kamu bersyukur” yang disebutkan oleh Allah setelah Allah menjelaskan tentang penciptaan manusia dengan segala kelengkapannya itu, dapat diartikan bahwa potensi jasmani (panca indera) dan potensi rohani (hati sanubari dan naluri) tersebut harus dipergunakan dengan baik untuk menuntut ilmu serta mengolah alam dan isinya.[5] Allah SWT yang telah menganugerahkan berbagai macam tersebut sebagai bentuk kasih sayang-Nya kepada manusia, tentu sangat mampu mncabutnya jika Dia marah karena manusia tidak pandai bersyukur kepada-Nya.

Allah SWT adalah Dzat yang menghidupkan dan mematikan manusia serta makhluk lainnya. Dia-lah Dzat yang menyediakan semua bahan dan sarana kehidupan yang dibutuhkan oleh manusia, baik berupa udara, tumbuh-tumbuhan, hewan, air, pakaian, maupun berbagai material yang diperlukan untuk membangun rumah dsb. Semuanya diperuntukan bagi manusia dan tunduk kepada kemauan mereka. Sebagaimana difirmankan dalam surat al-Jasiyah ayat 13 :

وَسَخَّرَ لَكُمْ مَّا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا مِّنْهُ ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

“Dan Dia (Allah SWT) telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari pada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”.

Allah SWT juga telah memuliakan manusia dengan berbagai potensi jasmani dan rohani di atas, serta menganugerahkan berbagai kelebihan dibanding makhluk lainnya. Demikian juga Allah SWT telah memberikan berbagai alat transportasi di daratan dan lautan sehingga memudahkan mereka mengangkut berbagai bahan makanan, minuman, material bangunan serta berbagai benda yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari dari satu tempat ke tempat lainnya. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Isra’ ayat 70 :

۞ وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا ࣖ

 “Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam (manusia), dan  Kami (memudahkan bagi mereka) pengangkutan-pengangkutan mereka di daratan dan di lautan (untuk memperoleh penghidupan). Kami beri mereka rezki dari yang  baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.

Berhubung Allah SWT telah menciptakan manusia dalam bentuk yang terbaik, lengkap dengan berbagai potensi jasmani dan rohani yang sangat diperlukan dalam hidupnya; menganugerahkan berbagai kelebihan dibanding makhluk lainnya; menjamin semua kebutuhan dan rizkinya, maka manusia wajib berakhlak yang baik kepada Allah SWT dengan beriman dan bertaqwa kepada-Nya.

Pengertian taqwa adalah menjaga diri dari perbuatan dosa dengan melaksanakan semua perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya (التقوى هو امتثال اوامر الله واجتناب نواهيه). Menurut Muhammad Usman Najati, pengertian taqwa adalah; "Menjaga diri dari amarah dan adzab Allah dengan menjauhi perbuatan maksiat dan melaksanakan tata aturan yang telah digariskan al-Qur'an dan dijelaskan Rasulullah SAW." Dengan kata lain, taqwa adalah melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya.[6]

       Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan, bahwa essensi taqwa adalah pemeliharaan, penguasaan dan pengendalian diri dari nafsu-nafsu jahat (nafsu ammarah) yang bersemayam dalam diri manusia sehingga ia bersedia melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Dengan demikian, al-muttaqin adalah orang-orang yang melaksanakan nilai-nilai baik dan menjauhi nilai-nilai buruk. Seperti suka menolong, menahan amarah, suka memberi maaf kepada orang lain, menepati janji, sabar, suka kepada kebaikan dan kebenaran, benci kepada kejahatan dan kebohongan, dan sebagainya. Sebaliknya, orang-orang yang tidak taqwa adalah orang-orang yang suka berbuat buruk, berdusta, bersikap dlalim, amoral dan sebagainya.

Bentuk kongkret akhlak manusia kepada Allah SWT, terutama bagi para santri, kyai (guru) dan wali santri adalah sbb. :

1.       Beriman kepada Allah SWT dengan meyakini, mengakui dan menyadari bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Keimanan ini diekspressikan dalam bentuk mengucapkan dua kalimat syahadat  (اشهد ان لااله الا الله واشهد ان محمدا رسول الله) yang selalu diulang-ulang dalam shalat, ketika membaca tahiyyat awal dan akhir.

 

2.      Beriman kepada kitab suci al-Qur’an dengan meyakini, mengakui dan menyadari bahwa kitab suci al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW yang berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia sepanjang masa agar meraih kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

 

3.      Meyakini bahwa pada hakikatnya, kebaikan adalah sesuatu yang dipihkan oleh Allah SWT kepada kita, bukan sesuatu yang kita pilih untuk diri kita. Oleh karena itu, janganlah hawa nafsu dan syahwat kita menghalang-halangi untuk taat dan berbakti kepada Allah SWT.[7]

 

4.      Beribadah kepada-Nya, karena tujuan Allah SWT dalam menciptaan manusia adalah agar mereka mengabdi dan beribadah kepada-Nya. Sebagaimana difirmankan dalam surat al-Dzariyat (51) ayat 56 :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”

 

Beribadah kepada Allah SWT tidak terbatas dalam bentuk melaksanakan shalat, puasa, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji. Akan tetapi pengertian ibadah sangat luas sekali, meliputi seluruh ucapan, perbuatan dan pikiran yang baik yang sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan al-Sunnah, baik dalam bentuk ibadah mahdlah, ibadah social, bermu’amalah (berinteraksi) dengan sesama manusia dan makhluk lainnya dengan cara yang baik, maupun dalam bentuk melangsungkan pernikahan dan membangun keluarga sakinah mawaddah wa rahmah dengan niat melaksanakan perintah Allah SWT dan mengikuti sunnah Rasulullah SAW dsb. Sungguh pun demikian, akhlak para santri kepada Allah SWT yang paling utama adalah diekspessikan dalam bentuk sbb. :

 

a). Melaksanakan shalat fardlu tepat waktu secara berjamaah di dalam masjid dengan khusyu’ dan tadlarru’. Karena melaksanakan shalat dengan berjamaah lebih utama dari pada shalat sendirian dengan kelipatan pahala mencapai 27 (dua puluh tujuh) kali. Sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sahabat Abdullah bin Umar:

صَلاَةُ الْجَماَعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ) 

"Shalat berjamaah lebih utama dari pada shalat sendirian, dengan kelipatan pahala dua puluh tujuh derajat".[8]

      Demikian juaga sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sahabat Abu Hurairah :

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْتَطَبُ ثُمَّ آمُرَ باِلصَّلاَةِ فَيُؤْذَنُ لَهاَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً فَيَؤُمَّ النَّاسَ ثُمَّ اُخاَلِفَ إِلىَ رِجاَلٍ فَأُحْرِقَ عَلَيْهِمْ بُيُوْتَهُمْ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

"Demi Allah yang menguasai diriku, sungguh aku telah berniat menyuruh seseorang untuk mengumpulkan kayu bakar (untuk membakar rumah orang-orang mukmin yang tidak mau melaksanakan shalat berjamaah). Kemudian aku menyuruh seseorang untuk mengumandangkan adzan dan menjadi imam shalat. Setelah itu aku akan melakukan inspeksi ke rumah orang-orang pria dan membakar rumah mereka (yang tidak melaksanakan shalat berjamaah)".[9]

b.      Melaksanakan ibadah puasa pada bulan suci Ramadlan. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Baqarah (2) ayat 183 :

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.

 

 

c.       Memperbanyak ibadah sunnah seperti shalat rawatib (qobliyah & ba’diyah), shalat tahajjud, shalat dhuha, puasa pada hari Senin dan Kamis, puasa pada hari-hari terang bulan (ayyam al-bid, setiap tanggal 13&14 bulan Qomariyah). Di antara hikmah dan manfaat melaksanakan berbagai ibadah sunnah tersebut adalah sbb. (1). Menambah pahala (2). Menambal ibadah fardlu yang masih kurang atau tertinggal (3). Semakin mendekatkan diri para santri kepada Allah SWT sehingga lebih mudah meraih cinta-Nya (4). Meraih ilmu ladunny yang langsung dianugerahkan oleh Allah SWT kepada para santri. (5). Meraih derajat sebagai wali (kekasih) Allah SWT.   Sebagaimana telah disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW. dalam hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari sahabat Abu Hurairah RA. :

صحيح البخاري - (ج 20 / ص 158)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا

"Barangsiapa menyakiti wali-Ku, maka ia benar-benar menyatakan peperangan dengan-Ku. Tidak ada yang lebih mendekatkan seorang hamba kepada-Ku yang sebanding dengan menunaikan semua kewajiban yang Kuperintahkan dan senantiasa mendekati-Ku dengan perbuatan-perbuatan sunnah hingga Aku mencintainya. Dan jika Aku telah mencintainya, maka aku menjadi pendengaran, penglihatan, lidah, hati, tangan, dan kakinya. Ia mendengar melalui Aku, ia melihat melalui Aku, ia berbicara melalui Aku, dan berjalan melalui Aku".[10]

 

d.      Memperbanyak membaca al-Qur’an. Di antara hikmah dan manfaat membaca ayat-ayat suci al-Qur’an adalah mendekatkan diri kita kepada Allah SWT sehingga hati kita akan merasa tenang dan terhindar dari kegelisahan; terbukanya hati dan pikiran sehingga memudahkan untuk meraih imu yang bermanfaat; membuka pintu-pintu rizki yang halal sehingga insya Allah semua kebutuhan hidup terpenuhi; menambah pahala, karena membaca al-Qur’an merupakan salah satu bentuk amal sholeh; serta menjadikan al-Qur’an sebagai syafa’at (penolong) pada hari kiamat. Sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam hadits shahih yang diriwayatkan Imam Muslim dari sahabat Abu Umamah RA. :

اقرؤا القران فانه يأتي يوم القيامة شفيعا لأصحابه

“Bacalah al-Qur’an, karena sesungguhnya al-Qur’an akan datang pada hari kiamat untuk memberi syafa’at (pertolongan) kepada orang-orang yang membaca (dan yang mengamalkannya)”.[11]

Demikian juga sabda Rasulullah SAW dalam hadits shahih yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dari sahabat Utsman ibn ‘Affan RA. : 

           

خيركم من تعلم القران وعلمه

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar dan mengajar al-Qur’an”[12]

e.      Memperbanyak berdzikir dan berdoa kepada Allah SWT. Kata Dzikir, berasal dari bahasa Arab : ذَكَرَ - يَذْكُرُ - ذِكْرًا   yang berarti; mengingat sesuatu di dalam hati atau menyebutnya dengan lidah.[13] Dengan demikian, kata الذكر  memiliki persamaan arti dengan kata الحفظ yang berarti mengingat atau menghafal. Hanya saja, kata الحفظ  berkonotasi menyimpan ingatan, sedangkan kata الذكر  berkonotasi mengungkapkan atau menghadirkan ingatan. Menurut al-Raghib al-Asfahani, kata dzikir terkadang diartikan sebagai "suatu keadaan jiwa yang dengan keadaan tersebut memungkinkan bagi manusia untuk mengingat-ingat pengetahuan yang telah dimilikinya"; dan terkadang diartikan sebagai "hadirnya sesuatu di dalam hati atau ucapan".[14] Sedangkan pengertian "Dzikr" adalah menyebut Allah atau mengingat kebesaran dan keagungan-Nya atau mensyukuri segala ni'mat-Nya dengan penuh kesadaran disertai pengakuan terhadap kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya serta berjanji akan mematuhi segenap perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.[15] Sedangkan berdoa artinya memohon sesuatu kepada Allah SWT.

 

Para santri, kyai (guru) dan wali santri sangat dianjurkan untuk membanyak berdzikir dan berdoa kepada Allah SWT agar selalu diingat oleh Allah SWT sehingga diberikan berbagai kemudahan dalam hidup, terutama dalam meraih ilmu yang bermanfaat di dunia dan di akhirat. Sebagaimana difirmankan dalam surat al-Baqarah ayat 152 :

فَاذْكُرُوْنِيْٓ اَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا لِيْ وَلَا تَكْفُرُوْنِ ࣖ

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.

 

Demikian juga firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 186 :

 

وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”.

 

5.      Menjauhi berbagai macam perbuatan maksiat atau dosa, seperti mencuri, berzina, mengkonsumsi minuman keras dan narkoba. Berbagai perbuatan maksiat atau dosa tersebut menimbulkan murka-Nya dan menjauhkan pelakunya dari rahmat-Nya, sehingga menyebabkan hatinya gelap gulita dan tidak mampu menangkap ilmu dari-Nya, karena ilmu adalah cahaya Allah yang tidak akan diberikan kepada orang yang durhaka kepada-Nya. Sebagaimana telah difirmankan al-Muthaffifin ayat 14 :

كَلَّا بَلْ ۜرَانَ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ مَّا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

“Sekali-kali tidak (demikian). Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka”.

Demikian juga ucapan Imam Syafi’i yang sangat terkenal di kalangan para santri pondok pesantren salafiyah :

 شكوت  الى وكيع سوء حفظي : فأرشد ني الى ترك المعاصي

وأخبرني بأن العلم نور : ونور الله لا يعطى لعاصي

”(Suatu ketika) aku mengeluhkan keburukan hafalanku kepada guruku, Syeh Waki’. Kemudian beliau memberikan petunjuk kepadaku agar aku meninggalkan perbuatan maksiat. Beliau juga menginformasikan kepadaku, bahwa ilmu adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang suka berbuat maksiat”.  

6.      Ikhlas, baik dalam melaksanakan ibadah mahdlah kepada Allah SWT maupun dalam membantu sesama umat manusia (kerja sosial). Karena ikhlas merupakan syarat mutlak diterimanya suatu ibadah atau amal perbuatan seseorang. Sebagaimana telah dijelaskan oleh hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari sahabat Umar Ibn Khatab :

 

إنما اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.

“Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu (akan dibalas oleh Allah SWT) sesuai dengan niat, dan setiap manusia akan memperoleh balasan amal perbuatan sesuai dengan niatnya masing-masing. Barangsiapa berhijrah (dari Makkah ke Madinah) semata-mata bertujuan untuk mencari ridha Allah dan Rasul-Nya, maka akan diterima (sebagai amal ibadah kepada Allah dan Rasul). Tetapi barangsiapa berhijrah semata-mata untuk memperoleh harta atau menikahi wanita, maka ia tidak memperoleh pahala apa-apa (karena hijrahnya tidak bernilai ibadah)”.

7.      Syukur dalam memperoleh anugerah nikmat dari Allah SWT. Umat Islam, khususnya para santri wajib bersyukur atas nikmat yang dianugerahkan oleh Allah SWT.       Seorang hamba  yang  tidak  pandai  bersyukur, alias mengkufuri nikmat, sejatinya adalah orang-orang sombong yang pantas dimasukkan ke dalam api neraka, karena Allah SWT telah memerintahkan para hambaNya  untuk  mengingat-Nya  dan  bersyukur  atas  nikmat-nikmatNya. Sebagaimana difirmankan dalam surat al-Baqarah ayat 152 :

فَاذْكُرُوْنِيْٓ اَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا لِيْ وَلَا تَكْفُرُوْنِ ࣖ

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.

 

Prof. Dr. Syaih Mohammad Ali Ash-Shabuni dalam menafsirkan ayat di atas menyatakan; Ingatlah kalian kepada-Ku dengan ibadah dan taat, niscaya Aku akan mengingat kalian dengan cara memberi pahala dan ampunan.    Sedangkan maksud firman Allah SWT,” bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah  kamu mengingkari nikmat-Ku”, bermakna: “Bersyukurlah kalian atas nikmat-nikmat yang telah Aku berikan kepadamu dan jangan mengingkarinya dengan melakukan dosa dan maksiyat.

 

Berdasarkan ayat di atas,  mak bersyukur  atas  nikmat  Allah  merupakan  kewajiban setiap muslim.      Namun, seorang muslim harus memahami bagaimana cara merefleksikan rasa syukur secara benar. Betapa banyak orang merefleksikan rasa syukurnya dengan cara-cara yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syukur itu sendiri. Misalnya, ada orang yang mewujudkan rasa syukurnya dengan cara mabuk-mabukkan, pesta pora, pergi ke tempat-tempat maksiyat, bernyanyi-nyanyi hingga melupakan kewajibannya, dan seterusnya. Adapula yang merefleksikan rasa syukurnya dengan cara menyediakan sesaji dan persembahan kepada pohon dan tempat-tempat keramat. Refleksi syukur seperti ini jelas-jelas bertentangan dengan prinsip Islam.

 

Imam Ibnu Katsir menyatakan bahwa syukur harus direfleksikan dengan cara beribadah dan memupuk ketaatan kepada Allah SWT serta meninggalkan perbuatan maksiyat.           Pendapat senada juga dikemukakan oleh Imam ‘Ali Al-Shabuni. Ibadah dan taat kepada Allah SWT serta meninggalkan larangan-larangan-Nya adalah perwujudan rasa syukur yang sebenarnya. Seseorang yang selalu taat kepada Allah SWT dengan menjalankan seluruh aturan-aturanNya dan sunnah Nabinya pada hakekatnya adalah orang-orang yang senantiasa bersyukur kepada-Ny. Sebaliknya, orang yang menolak melaksanakan syari’at Islam, adalah termasuk orang-orang yang ingkar terhadap nikmat yang dianugerahkan Allah kepadanya.

 


8.      Sabar ketika tertimpa musibah (cobaan/ujian). Secara literal, sabar adalah habsu al-nafs ‘an al-jaza’ (menahan diri dari keluh kesah (ketidak sabaran).[16] Setiap orang pasti akan diuji oleh Allah SWT dengan berbagai macam ujian. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Baqarah ayat 155 – 156 :

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ(155)اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ ۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ(156)


“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun"

 

 

Apabila seseorang mampu menahan diri dari keluh kesah, kegelisahan, dan kegundahan akibat berbagai macam ujian dan cobaan, maka ia tergolong orang-orang yang sabar. Sebaliknya, tatkala seseorang suka mengeluh, mengaduh, dan selalu merasa jengah serta khawatir atas berbagai macam musibah, maka ia bukanlah termasuk bagian orang-orang yang sabar. Jamaluddin al-Qasimi menyatakan, Barangsiapa yang tetap tegak bertahan sehingga dapat menundukkan hawa nafsunya secara terus-menerus, orang tersebut termasuk golongan orang yang sabar.”[Al-Qasimi, Mau’idlaat al- Mukminiiin].

 

Kesabaran merupakan perhiasan hati yang sangat agung dan mulia. Kesabaran akan menjadikan seseorang bersifat qana’ah, mulia dan dihormati oleh siapapun.  Selain itu, kesabaran juga merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh seseorang agar mendapatkan keberhasilan dan kemenangan. Sebaliknya, sifat tergesa-gesa, gelisah dan berlebihan akan menjatuhkan seseorang ke dalam kegagalan dan kemurkaan Allah SWT. Sebagaimana difirmankan dalam surat Hud ayat 115 :

وَاصْبِرْ فَاِنَّ اللّٰهَ لَا يُضِيْعُ اَجْرَ الْمُحْسِنِيْنَ

“Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik”.

Demikian juga firman-Nya dalam surat Ali Imran ayat 200 :

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اصْبِرُوْا وَصَابِرُوْا وَرَابِطُوْاۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ࣖ

 “Hai orang-orang yang beriman, berlakulah sabar dan perkuat kesabaran diantara  sesama  kalian,  dan  bersiagalah  kalian  serta  bertaqwalah  kepada Allah, supaya kalian memperoleh kemenangan.”[Ali Imran:200]

 

Kesabaran yang dimaksud pada ayat di atas adalah kesabaran dalam menghadapi segala bentuk kesulitan dan penderitaan tatkala menjalankan perintah Allah SWT. Kesabaran dalam menunut ilmu harus diwujudkan dengan cara menjalankan seluruh proses, dimulai dengan niat yang ikhlas, semangat yang kuat, kemudian mempersiapkan strategi belajar yang tepat, melengkapi diri dengan berbagai sarana dan prasarana yang memadai, serta mentaati instruksi-instruksi para pendidik. Selanjutnya, ia menyerahkan hasilnya kepada Allah SWT.

 

Kesabaran dalam  bekerja harus    direfleksikan   dengan cara mengorganisasikan segala sesuatu yang bisa menunjang keberhasilan pekerjaannya. Ia mempersiapkan seluruh potensi dirinya untuk meraih rizki yang halal, dan berserah diri kepada Allah atas semua hasil yang diterimanya. Kesabaran  dalam  berdakwah  harus  diwujudkan  dengan  cara berjalan  sesuai  dengan  manhaj  dakwah  Rasulullah SAW  walaupun  jalan  itu terasa  sulit,  panjang,  berliku  dan  penuh  dengan  cobaan  dan  musibah. Selanjutnya, ia membuat rencana-rencana program yang terarah, realistis, dan jelas. Seorang da’i juga harus kreatif dalam menciptakan uslub-uslub yang sesuai dengan kondisi dan fakta yang ada, yang secara logis akan mengantarkan kepada keberhasilan. Ia juga selalu mencari dan menciptakan cara-cara baru yang bisa mempermudah akses dakwahnya di tengah-tengah masyarakat. Atas dasar itu, kesabaran harus diwujudkan dengan cara mempersiapkan diri menghadapi segala macam kesulitan dan derita dalam menjalankan seluruh perintah Allah swt.

 

Secara umum, kesabaran dibagi  menjadi  2 (dua) macam. Pertama,  kesabaran

dalam menghadapi cobaan yang bersifat  fisik. Kedua, kesabaran  dalam menghadapi cobaan yang bersifat non fisik. Kesabaran dalam menghadapi cobaan yang bersifat fisik adalah tabah dalam memikul tugas-tugas yang berat, tabah dalam menghadapi kemiskinan, cacat, atau menderita rasa sakit (akibat penyakit maupun siksaan).

 

Kesabaran dalam menghadapi cobaan yang bersifat non fisik terbagi menjadi beberapa hal. Di antaranya adalah sbb. :

 

a.       Sabar dalam menahan hawa nafsu dan kecenderungan seksual. Kesabaran semacam ini disebut dengan ‘iffah.’

b.      Sabar dalam menghadapi musibah, kesulitan, dan bencana tanpa ada keluh kesah, mengumpat, rasa kesal dan sebagainya. Kesabaran semacam ini sering dianggap sebagai bentuk kesabaran secara umum.

c.       Sabar dalam bentuk menahan diri dari kehidupan mewah pada waktu sedang kaya.

d.      Sabar dalam bentuk menahan diri dari sifat pengecut di medan peperangan yang dalam akhlak Islam disebut syaja’ah (keberanian),.           Lawan kata dari sifat syaja’ah adalah al-jubun (pengecut).

e.       Sabar dalam bentuk menahan diri dari marah dalam menghadapi musuh atau orang yang berbeda pendapat, yang disebut tasamuh (toleran).

f.        Sabar dalam bentuk menahan diri untuk tidak menyampaikan suatu ‘aib atau rahasia –baik rahasia diri sendiri, orang lain dan negara-- kepada pihak lain, yang disebut kitman al-sirr.

g.      Sabar dalam bentuk menahan diri dari kenikmatan dan kesenangan dunia untuk memperoleh kesenangan akherat, yang disebut zuhud.

h.      Sabar dalam bentuk menahan diri dari pola hidup yang berlebih-lebihan (berfoya-foya), dan merasa puas dengan kehidupan yang sederhana sesuai dengan kemampuan, yang disebut qana’ah.

 

 

 


9.      Tawakkal. Ditinjau dari segi bahasa, kata tawakkal berasal dari kata wakkala – yawakkilu – taukiilan – wa tawakkalan (وكل – يوكل – توكيلا - وتوكلا) yang berarti mewakilkan. Sedangkan pengertian tawakkal dalam ajaran agama Islam adalah; “Menyerahkan semua kejadian yang telah, sedang dan akan terjadi pada diri kita kepada Allah SWT, karena yakin dan percaya bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Mencipta dan Mengatur hidup dan mati manusia dengan penuh hikmah, kebijaksanaan dan kasih saying. Sikap tawakkal ini dilakukan sesudah melakukan usaha secara maksimal”.

Definisi di atas menunjukkan, bahwa bertawakkal kepada Allah SWT  bukan berarti bersikap pasif dan apatis tanpa melakukan sesuatu usaha dan aktivitas apapun, melainkan tetap berusaha secara maksimal dan bekerja dengan baik, tetapi menyerahkan hasilnya kepada Allah SWT. Dengan demikian tidak benar asumsi sementara orang yang menyatakan, bahwa sikap tawakkal telah menjadikan umat Islam malas belajar, bekerja dan berusaha, sehingga mereka mengalami kebodohan kemiskinan dan keterbelakangan.

Jika ada sebagian masyarakat yang memahami sikap tawakkal adalah menyerahkan semua persoalan kepada Allah SWT. tanpa melakukan usaha sama sekali, maka perlu diluruskan, karena pemahaman  tersebut sama sekali tidak benar dan bertentangan dengan ajaran agama Islam yang memerintahkan pemeluknya bersungguh-sunggguh memperjuangkan tegaknya ajaran agama Islam yang dikenal dengan istilah jihad (الجهاد); bersungguh-bersungguh dalam menggali dan mengembangkan ilmu pengetahun dengan rajin belajar, melakukan penelitian dan analisa yang dikenal dengan istilah ijtihad (الاجتهاد); serta berusaha dan bekerja keras untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT yang dikenal dengan istilah mujahadah (المجاهدة); Ketiga istilah tersebut berasal dari akar kata yang sama yakni al-juhdu (الجهد); yang berarti usaha dengan sungguh-sungguh. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Ankabut ayat 69  :

وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ ࣖ

“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh (mencari keridhaan) Kami, pasti (benar- benar) akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.

Jangankan mencari ilmu yang sulit, hal-hal yang mudah saja tidak akan berhasil jika tidak diusahakan dan dikerjakan. Sebagai contoh, nasi dan lauk pauk yang sudah dihidangkan di meja makan, tidak akan menghilangkan rasa lapar jika tidak dimakannya. Air mineral yang sudah dihidangkan di atas meja, tidak akan menghilangkan rasa haus dan dahaga jika tidak diminumnya. Oleh karena itu Allah SWT memerintahkan semua manusia untuk mencari rizki di muka bumi ini, tidak boleh berpangku tangan. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Jum’ah ayat 10  :

فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى الْاَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ وَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

 “Apabila telah selesai menunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia (rizki) Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya, supaya kamu beruntung”.

 

Demikian juga Rasulullah memerintahkan umatnya yang sakit untuk berobat agar sembuh dari sakitnya. Jika sudah berobat ternyata tidak tertolong dan akhinya meninggal dunia, maka harus menerima kenyataan dengan penuh keimanan bahwa Allah SWT. telah mentakdirkan kematiannya pada saat itu. Akan tetapi tidak boleh membiarkannya tanpa berobat dengan alasan tawakkal kepada Allah. Sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad bin Hambal, al-Hakim dkk dari sahabat Usamah sebagai berikut:

تداووا يا عباد الله فإن الله لم يضع داء الا وضع له دواء الا الهرم

“Berobatlah kamu sekalian wahai para hamba Allah, karena sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit, melainkan pasti menyediakan obatnya, kecuali satu penyakit yakni penyakit pikun”.

Demikian juga Rasulullah saw memerintahkan umatnya untuk menyimpan harta benda di tempat yang aman serta menjaganya dari kerusakan dan pencurian. Oleh karena itu beliau memarahi seorang sahabat yang meninggalkan ontanya di tengah jalan tanpa diikat, dengan alasan bertawakkal kepada Allah. Kemudian beliau memerintahkan sahabat tersebut untuk mengikat ontanya, sesudah itu baru bertawakkal kepada Allah swt.

Seluruh ajaran agama Islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan al-Hadits, baik yang berupa perintah dan anjuran maupun yang berupa larangan untuk mengerjakan sesuatu, pasti mengandung dampak positif serta menghindarkan dampak negatif bagi pelakunya serta bagi orang lain, baik di dunia maupun di akherat. Tawakkal sebagai salah satu ajaran Islam yang diperintahkan oleh Allah SWT. kepada para hamba-Nya yang beriman pasti mengandung dampak positif serta menghindarkan dampak negatif.

Di antara dampak positif tawakkal adalah sbb. :

a.       Meningkatkan keimanan kepada Allah SWT. Dengan bertawakkal kepada Allah serta menyerahkan persoalan dan permasalahan yang kita hadapi kepada-Nya, maka berarti kita yakin dan percaya bahwa Allah SWT adalah Dzat yang berkuasa untuk memberikan keputusan yang terbaik kepada kita dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Allah SWT adalah Dzat yang mencipta dan mengatur hidup serta mati manusia dengan penuh hikmah, kebijaksanaan dan kasih sayang. Sebaliknya, jika kita tadak bertawakkal, maka berarti kita tidak atau kurang beriman kepada-Nya. Karena salah satu ciri orang yang benar-benar beiman adalah orang yang bertawakkal kepada Allah SWT. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Anfal ayat 2 :

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اٰيٰتُهٗ زَادَتْهُمْ اِيْمَانًا وَّعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَۙ

“Sesungguhnya orang-orang yang benar-benar beriman ialah; mereka yang apabila disebutkan sifat-sifat Allah, maka gemetarlah hati mereka, apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka bertambahlah iman mereka, dan kepada Allah-lah mereka bertawakkal”.

Bahkan Allah SWT. telah menjadikan tawakkal sebagai salah satu syarat beriman kepada-Nya. Dengan demikian seseorang yang mengaku beriman tetapi tidak bertawakkal, maka pada hakekatnya ia belum beriman, karena tawakkal merupakan salah satu konsekuensi logis dari keimanan kita kepada AllahSWT. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Maidah ayat 23 :

قَالَ رَجُلَانِ مِنَ الَّذِيْنَ يَخَافُوْنَ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوْا عَلَيْهِمُ الْبَابَۚ فَاِذَا دَخَلْتُمُوْهُ فَاِنَّكُمْ غٰلِبُوْنَ ەۙ وَعَلَى اللّٰهِ فَتَوَكَّلُوْٓا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ

“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”.

b.      Menumbuh-kembangkan jiwa pemberani dan optimism. Seseorang yang bertawakkal kepada Allah SWT, maka dapat dipastikan bahwa ia adalah seorang pemberani. Ia berani memperjuangkan kebenaran, karena tidak merasa takut terancam kedudukannya atau menghadapi kesulitan hidup. Ia juga tidak takut mati, jika harus berperang melawan musuh-musuh Islam, karena yakin bahwa kematiannya tidak ditentukan oleh peperangan dan perjuangan, tetapi semata-mata ditetapkan oleh Allah SWT. Sekalipun berada dalam benteng yang dikelillingi pagar besi baja, kalau sudah tiba masa kematiannya, maka seseorang tidak akan mampu menghindarinya. Sebaliknya, walaupun seseorang ikut berperang atau naik pesawat terbang yang mengalami kecelakaan, kalau belum tiba masa kematiannya, maka ia tidak akan mati. Oleh karena itu sebagai orang yang beriman kita harus bertawakkal kepada Allah sehingga kita mempunyai keberanian untuk memperjuangkan kebenaran, tanpa dibayang-bayangi rasa takut mati, terancam kedudukan serta kesulitan hidup. Karena kita yakin bahwa nasib kita tidak berada di tangan atasan kita dan musuh-musuh kebenaran, tatapi semata-mata berada dalam kekuasaan Allah SWT. Sepanjang kita beriman dan bertawakkal kepada-Nya, maka tidak perlu ada yang ditakutkan. Karena Allah telah berjanji akan memberikan kecukupan dalam segala hal kepada orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Thalak ayat 3 :

وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗ ۗاِنَّ اللّٰهَ بَالِغُ اَمْرِهٖۗ قَدْ جَعَلَ اللّٰهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا

“Barang siapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Allah akan mencukupi semua kebutuhannya”.

 

c.       Memberikan ketenaangan batin. Jika seseorang sudah berusaha semaksimal mungkin, bekerja secara profesional, kemudian bertawakkal dan menyerahkan hasilnya kepada Allah SWT., maka batinnya akan selalu tenang dan tenteram. Demikian juga jika seseorang telah menyimpan hartanya di tempat yang aman serta menjaganya dari kerusakan dan pencurian, kemudian ia bertawakkal kepada Allah, maka batinnya akan selalu tenang dan tenteram. Karena ia yakin dan percaya bahwa Allah akan menjaganya dan memberikan sesuatu yang terbaik, bermanfaat dan penuh hikmah kepadanya. Sebagaimana janji Allah dalam surat al-Ahdzab ayat 3 :

وَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗوَكَفٰى بِاللّٰهِ وَكِيْلًا

“Bertawakkal-lah kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai wakil”.

d.      Menghilangkan stress dan frustasi. Dengan selalu bertawakkal kepada Allah, maka seseorang yang gagal dalam mencapai cita-cita dan keinginannya, seperti gagal dalam bercinta, gagal dalam memperoleh kejujuran, gagal dalam menduduki suatu jabatan, gagal dalam berbisnis dan sebagainya, atau kehilangan sesuatu yang disenanginya, atau ditinggal mati oleh seseorang yang sangat dicintai, atau tertimpa musibah yang lain, maka ia tidak akan stress dan frustasi. Karena ia yakin bahwa semua yang terjadi adalah atas kehendak Allah SWT yang pasti banyak hikmah dan manfaatnya. Sebaliknya jika ia sukses dalam mencapai sesuatu, ia tidak akan sombong dan lupa diri, karena menyadari bahwa walaupun memiliki kecerdasan yang tinggi, menguasai sains dan teknologi, mampu memprediksi segala sesuatu yang akan terjadi, tapi tanpa pertolongan Allah SWT. semuanya itu tidak akan mempunyai arti apa-apa. Oleh karena itu semua orang mukmin harus bertawakkal kepada Allah SWT. dengan menghayati dan mengamalkan makna Kalimat Hauqalah (LA HAULA WALA KUWWATA ILLA BILLAH AL-‘ALIYYI AL-ADZIM) yang berarti tiada daya untuk melakukan sesuatu kebaikan, dan tiada kekuatan untuk menghindari kejahatan, kecuali dengan pertolongan Allah Dzat Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Dengan tawakkal tersebut maka seseorang tidak akan frustasi karena gagal dalam mencapai sesuatu, serta tidak akan sombong jika sukses dalam meraih prestasi. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Hadid ayat 23 :

لِّكَيْلَا تَأْسَوْا عَلٰى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوْا بِمَآ اٰتٰىكُمْ ۗوَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۙ

“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan frustasi (berduka cita) dalam menghadapi kegagalan, serta jangan lupa diri (terlalu gembira) dalam menghadapi kesuksesan yang diberikan oleh Allah kepadamu. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”.

e.       Menumbuh-kembangkan sifat dermawan. Seseorang yang benar-benar bertawakkal kepada Allah SWT pasti bersifat dermawan. Karena ia tidak akan takut kekurangan rizki. Ia yakin dengan sepenuh hati, bahwa Allah tidak akan menelantarkannya. Allah akan selalu memberikan rizki yang cukup untuk diri dan keluarganya. Allah akan mengganti setiap harta yang disedekahkan kepada para fakir miskin dan atau untuk kepentingan perjuangan agama Islam, dengan balasan yang berlipat ganda, baik di dunia maupun di akherat. Oleh karena itu jika seorang mukmin bersifat pelit hingga tidak mau bersedekah dan bahkan tidak mau membayar zakat karena takut jatuh miskin, maka pada hakekatnya ia tidak (belum) bertawakkal kepada Allah SWT. Jika ia bertawakkal pasti tidak akan pelit karena yakin bahwa Allah akan menjamin hidupnya dan mengganti sedekahnya dengan balasan yang berlipat ganda. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Baqarah ayat 261 :

مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, adalah serupa dengan sebutir benih yang meumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui”.

Sebaliknya, seseorang yang tidak atau kurang bertawakkal kepada Allah SWT pasti akan merasakan dampak negatif. Antara lain adalah sbb. :

a.      Berjiwa kerdil dan penakut. Seorang yang tidak bertawakkal kepada Allah SWT akan berjiwa kerdil dan penakut. Oleh karena itu, ia tidak berani memperjuangkan kebenaran karena takut menghadapi kesulitan hidup. Tidak berani berkompetinsi secara sportif karena takut kalah. Tidak berani berdagang karena takut rugi dan sebagainya.

b.      Suka meminta bantuan kepada dukun. Sebagai akibat dari jiwa kerdil dan penakut, maka seseorang tidak memiliki rasa percaya diri. Akibatnya bisa terjemurus pada praktek perdukunan atau mendatangi dukun serta meminta bantuan kepada jin dan setan utnuk menghadapi berbagai problem kehidupan. Padahal mendatangi dukun yang meminta bantuan kepada jin dan setan adalah haram karena dapat menjerumuskan kepada kemusyrikan.

c.       Bersifat hasad (iri hati/dengki). Jika seseorang tidak bertawakkal dan menyerahkan semua kejadian kepada Allah SWT, maka ia akan mudah terserang penyakit hasad ketika melihat orang lain yang dianggap rivalnya memperoleh kesuksesan. Sehingga ia melakukan sesuatu yang dapat merugikan rival tersebut.

d.      Bersikap takabbur dan mudah frustasi. Jika seseorang yang tidak bertawakkal kepada Allah SWT. meraih sukses, maka akan bersikap sombong (takabbur) dan lupa diri, karena merasa bahwa kesuksesan tersebut semata-mata karena kehebatan dirinya. Sebaliknya jika gagal, ia akan mudah frustasi. Sebagai pelariannya ia akan terjerumus mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang, bahkan terkadang sampai melakukan bunuh diri. Di samping itu, orang yang tidak bertawakkal kepada Allah akan bersifat pelit, karena takut jatuh miskin.

AKHLAK KEPADA RASULULLAH SAW

 

Selain wajib berakhlak mulia kepada Allah SWT, umat Islam juga wajib berakhkak mulia kepada Rasulullah SAW, karena beliau adalah kekasih Allah yang diutus untuk menyampaikan risalah-Nya kepada umat manusia agar mereka menjalani hidup dan kehidupan sesuai petunjuk-Nya sehingga meraih kebahagiaan hidup yang hakiki, baik di dunia maupun di akhirat (السعادة في الدارين). Beliau-lah yang mengenalkan kita kepada Allah SWT. Beliau-lah yang mengajarkan hukum-hukum Islam kepada kita, baik hukum-hukum tentang ibadah, mu’amalah, munakahah maupun jinayah. Beliau-lah yang mendidik kita agar berakhlak mulia, baik kepada Allah, diri sendiri maupun kepada orang lain, bahkan flora, fauna serta alam di sekeliling kita. 

Di antara bentuk nyata akhlak mulia kepada Rasulullah SAW  adalah sebagai berikut :

1.      Meyakini dengan sepenuh hati (beriman) bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT. kepada seluruh manusia dan jin untuk menebarkan rahmat bagi alam semesta. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Fath ayat 29 :

مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللّٰهِ ۗوَالَّذِيْنَ مَعَهٗٓ اَشِدَّاۤءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاۤءُ بَيْنَهُمْ تَرٰىهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَّبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانًا ۖ سِيْمَاهُمْ فِيْ وُجُوْهِهِمْ مِّنْ اَثَرِ السُّجُوْدِ ۗذٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ ۖوَمَثَلُهُمْ فِى الْاِنْجِيْلِۚ كَزَرْعٍ اَخْرَجَ شَطْـَٔهٗ فَاٰزَرَهٗ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوٰى عَلٰى سُوْقِهٖ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيْظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ ۗوَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ مِنْهُمْ مَّغْفِرَةً وَّاَجْرًا عَظِيْمًا ࣖ

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras (tegas) terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka”.

 

Demikian juga firman-Nya dalam surat al-Anbiya’ ayat 107 :

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”

 

2.       Meyakini dengan sepenuh hati (beriman) bahwa semua informasi (al-Qur’an & al-Hadits) yang disampaikan oleh beliau adalah pasti benar, karena berasal dari wahyu Allah SWT. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat an-Najm ayat 3 – 4 :

$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ   ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).

 

3.      Mentaati beliau dengan melaksanakan semua perintahnya, menjauhi larangan-larangannya serta mengikuti dan menghidupkan sunnah-sunnahnya. Hal ini merupakan bukti nyata keincintaan manusia kepada Allah SWT, Dzat yang menganugerahkan berbagai macam keni’matan kepada manusia. Sebagaimana difirmankan dalam surat Ali Imrah ayat 31 :

قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

 

           Demikian juga firman-Nya dalam surat an-Nisa’ ayat 59 :

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

 

 

4.      Tidak membantah apalagi menentang keputusan Rasulullah SAW. karena meyakini bahwa keputusan beliau pasti benar karena beliau selalu mendapat bimbingan dan pengawasan dari Allah SWT. Barangsiapa membantah apalagi menentang keputusan Rasulullah SAW, kemudian tidak segera bertaubat dan kembali ke jalan yang benar, maka tempatnya adalah di neraka Jahannam. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat an-Nisa’ ayat 115 :

وَاِنْ مِّنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ اِلَّا لَيُؤْمِنَنَّ بِهٖ قَبْلَ مَوْتِهٖ ۚوَيَوْمَ الْقِيٰمَةِ يَكُوْنُ عَلَيْهِمْ شَهِيْدًاۚ

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, maka Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.

 

5.      Menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai contoh teladan dalam seluruh aspek kehidupan, karena Allah SWT telah merekomendasikan kepada orang-orang yang beriman agar mencontoh sikap dan prilaku beliau. Sebagaimana telah difiramkan dalam surat al-Ahzab ayat 21 :

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.

 

6.      Memperbanyak membaca shalawat dan salam sebagai ekpsresi dari rasa cinta (mahabbah) kepada Rasulullah SAW. Jangankan kita umat yang sangat mengharapkan syafaat (pertolongan) beliau pada hari kiamat kelak, Allah SWT Dzat yang menciptakan beliau dan para malaikat yang tidak mempunyai dosa saja selalu membaca shalawat kepada beliau. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Ahzab ayat 56 :

اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”

 

Bershalawat artinya: kalau dari Allah berarti memberi rahmat: dari Malaikat berarti memintakan ampunan dan kalau dari orang-orang mukmin berarti berdoa supaya diberi rahmat seperti dengan perkataan: Allahuma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad. Sedangkan mengucapkan salam, adalah ucapan seperti: Assalamu'alaika ayyuhan Nabi artinya: semoga keselamatan tercurah kepadamu wahai Nabi. Seseoang yang rajin bershalawat, maka akan dibalas berlipat-lipat oleh Allah SWT, bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW mendapatkan syafa’at

 

7.      Tidak berbicara dengan suara keras, melebihi suara Rasulullah SAW padahal beliau adalah manusia yang paling halus. Jika kita berbicara dengan suara keras apalagi berteriak-teriak di hadapan beliau atau makam beliau, maka hal itu berpotensi menghapuskan pahala amal ibadah yang telah kita lakukan. Sebagaimana difirmankan dalam surat al-Hujurat ayat 2 :


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَرْفَعُوْٓا اَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوْا لَهٗ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ اَنْ تَحْبَطَ اَعْمَالُكُمْ وَاَنْتُمْ لَا تَشْعُرُوْنَ


“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.

 

8.      Menghormati dan memuliakan ahlul bait (keluarga) Nabi Muhammad SAW, baik para istri (umahat al-mukminin), para putra dan putri maupun para cucu keturunan beliau yang dikenal dengan sebutan habib (habaib) atau sayyid, karena mereka adalah orang-orang yang disucikan oleh Allah SWT. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Ahzab ayat 33 :


وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْاُوْلٰى وَاَقِمْنَ الصَّلٰوةَ وَاٰتِيْنَ الزَّكٰوةَ وَاَطِعْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ اَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا


Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.


 

 

 

    














Komentar

Postingan populer dari blog ini

Visi & Misi Baitul Hikmah

PROFIL PENGASUH PESANTREN BAITUL HIKMAH DEPOK